THE SECRET II (Temptation of Island) Part 13

THE SECRET II

(Temptation of Island)

Part 13

kala segalanya jelas setelah pengintegrasian itu, ada kerenggangan diantara hubungan mereka. Anthoine merasakan kesepian yang tertahan, Charlie lebih murung, lebih suka tidur di kamar bayi bersama Sabrina. Peraduan yang selama ini hangat semakin mendingin, tanpa charlie dan sabrina yang selalu tertidur di tengah~tengah mereka. Sungguh pria ini begitu merindu. Sang istri tinggal di satu atap, namun dia tak berani mendekat.

Dari Stacy,Anthoine tahu jika ada kebingungan di benak Charlie. Charlie bingung dengan perasaannya, terlebih identitasnya, jika dia sebenarnya adalah Charlotte Whitely padahal semua kartu identitasnya bernama Charlie Adams. tengoklah kartu penduduk, pasport, akta nikah, bahkan yang tercantum di akta kelahiran anak-anak mereka. ‘Apakah pernikahan kami tidak sah?’ selalu itu yang dipertanyakan Charlie pada Dr.Rae, Stacy bahkan ibunya. Anthoine mendengarkan obrolan mereka di balik pintu kamar bayi Sabrina waktu itu. Ibu dan anak itu berbincang tanpa mengetahui keberadaannya. Charlie mengamati Sabrina yang menyusu padanya, begitu kehausan dengan matanya yang menatap jenaka.Mata Sabrina semakin ekspresif, mata coklat kemerahan seperti Nathan dan Chamile juga mata Anthoine. Kenapa gen lelaki itu begitu kuat.
‘Pernikahanmu syah,Sayang. Walau pun dengan nama lain.Dan kau pikir, berapa orang di Kanada ini yang mengganti namanya setiap tahun? Banyak sekali. Mereka melakukan itu dengan alasan yang kurang lebih sama denganmu, menghapus masa lalu,’ tanggapan dari ibu Charlie.
‘Ibu, sebenarnya… jika saya masih mengingat perihal Charlote, apakah aku bisa jatuh cinta pada Anthoine?’
‘Entahlah,’ sang ibu menggedikkan bahu,’Banyak kemungkinan. Tapi tidaklah sulit jatuh cinta pada pria sebaik Anthoine.’ lalu wanita tua itu menggelengkan kepala sambil menutup mata, membayangkan kemungkinan terburuk. Seketika kedua tangannya terulur, menekan kedua pundak Charlie.’Hal terburuk yang bisa terjadi adalah… kau masih terkukung dengan dendam kesumatmu pada Tuan Rothman.’

Charlie sesaat mengernyit mendengar nama itu. kegusaran nampak saat dia merubah posisi duduk lebih menyandar. Sabrina mulai tertidur. Bayi montok itu begitu nyaman di pelukan ibunya, degup jantung Charlie seakan simphoni yang menenangkan baginya. ‘Ibu…, menurut Ibu, pantaskah aku menerima cintanya?Kenapa dia mau menikahiku. Apalagi jika dilihat dari masa laluku, aku janda, sudah tidak virgin, sangat kontras dengan dirinya. Aku yang tidak pantas.’

‘Ah, kau tahu, Charlie. untuk hal itu, sebaiknya kau pikirkan sendiri. Tapi Ibu harap, pikiranmu bukan pemikiran egois seperti si ‘Bouwens’. Ingatlah masih ada anak-anak. Ibu harap… jika ibu boleh berharap… kalian seperti dulu lagi. Ibu mohon… demi cucu-cucu ibu.’ Sang Ibu menepuk-nepuk pungung tangan Charlie lalu keluar ruangan setelah memberi kecupan singkat pada Charlie dan Sabrina. Di pintu, dia berpapasan dengan Anthoine, sejenak beliau menoleh pada charlie lalu bertanya pada Anthoine,’kau ingin menemuinya?’

Charlie menoleh sebentar pada Anthoine lalu beringsut, masih duduk di sofa tapi kali ini memunggungi Anthoine. Anthoine tahu setelah itu Charlie menangis. ‘Tidak,Ibu. Aku belum berani.’ Sang ibu menghela nafas. Pintu di belakangnya menutup. Anthoine masih memandangi pintu yang tertutup itu walau sang mertua melenggang menuju kamarnya sendiri. Pintu itu….ataukah ketakutan mereka…. kini membatasi antara Anthoine yang gundah dan Charlie yang terisak lirih sambil memeluk erat Sabrina.

 

—oOo—

Tak ada kata yang bisa diungkapkan saat kaki Chamille mendarat di geladak kapal ‘Bouwens 117’.  Kwang menurunkannya dari gendongan dan beralih mengambil Il Hwan dari Yun So. Kapten Jin He mulai memberikan perintah-perintah pada anak buahnya. Mereka tertegun sesaat melihat Chamille, sebelum akhirnya omelan Jin He membubarkan. Mata Chamille mengerjap, kapal itu sungguh mirip dengan kapal yang membuatnya tenggelam. Seketika mimpi buruk itu berkelebat. Kwang yang berusaha menolongnya, sementara ombak mengombang-ambingkan segalanya dan saat-saat di mana dia tenggelam. Chamille memejam, nafasnya mendadak sesak. Seakan dia merasakannya kembali, dia ambruk. Samar-samar dia mendengar Kwang meneriakkan namanya. Pria itu berhasil memegangi tubuhnya, sebelum kepalanya membentur lantai.

Tangisan Il Hwan-lah yang menyadarkannya. Bayi itu merengek, Ayahnya berusaha menenangkan dengan menepuk-nepuk pantatnya. “Cup cup, Sayang. Ibu sedang tidak bisa menyusuimu sekarang.” Chamille tersenyum mendengar suara Kwang di antara tangisan Il Hwan. Perlahan dia membuka mata, menoleh kepada Kwang yang berdiri membelakanginya.

“Kang.” Panggilan itu membuat Kwang menoleh padanya. Pria itu tersenyum dan dia terpana. Kwang jauh lebih rapi sekarang. Jenggotnya sudah dicukur, dia juga merapikan rambutnya. Dan baju yang Kwang kenakan sekarang…. seragam ABK?

“Kau sudah sadar?”

Il Hwan berhenti menangis saat Kwang mendekati Chamille. Sepertinya bayi itu mengenali keberadaan Ibunya. Chamille mengulurkan tangannya, meminta Il Hwan, tapi Kwang menidurkan Il Hwan di sampingnya untuk  memudahkannya menyusui.

Saat menatap Kwang yang duduk di tepi ranjang, Chamille menyadari kalau penampilan pria itu sudah berubah. Bau bersih sabun tercium di udara, Kwang tersenyum padanya lalu menunduk demi mengecup keningnya dan Il Hwan yang menyusu rakus di dadanya.

“Kau tampan sekali, Kang.” Chamille mengangkat tangannya, menelusuri dagu Kwang yang licin tanpa jengggot. Kwang mengecup tangan Chamille yang berada di pipinya. “Kau juga. Sudah sangat bersih.”

Chamille mengernyit. Perlahan, dia mengangkat selimut di dadanya. Tidak ada lagi pakaian primitive di tubuh Chamille. Kini dia memakai piyama pria… atau bisa disebut atasan piyama pria karena Chamille yakin piyama itu kedodoran untuknya. “Kau yang memandikanku?”

Kwang mengangguk. Chamille menghela nafas lega.”Oh, syukurlah. Aku pikir orang lain.”

“Kau pikir aku rela orang lain melakukan itu?”

Chamille tersenyum. Il Hwan sedikit merengek sehingga Chamille mengelus-elus kepala bayi itu agar tenang. “Kau pasti sangat repot sekali. Mengurusku… menenangkan Il Hwan.”

Kwang mengelus lembut punggung Il Hwan. Bayi itu semakin tenang, merasakan kasih sayang kedua orang tuanya lewat sentuhan. “Aku senang melakukan ini,” ujar Kwang. “Aku merasa sudah terikat dengan kalian.”

Chamille tersenyum. Namun dia teringat hal yang dia takutkan selama ini, kemarahan keluarganya. Akankah mereka menerima kehadiran Kwang dan bayi mereka? Chamille senang karena telah ditemukan, namun di sisi lain, kemurkaan Anthoine menjadi momok yang semakin lama kian mendekat.

Seakan merasakan ketakutan istrinya, tentu saja Kwang merasakan ketakutan Chamille karena wajah wanita itu berubah pucat.”Apa yang kau pikirkan, Sayang? Jangan berpikir terlalu keras?”

“Kwang…,” air mata mengalir di pipi Chamille.

“Ada yang sakit?”

Chamille menutup matanya, menggeleng demi menjawab pertanyan Kwang. “Bagaimana jika kita sudah sampai di daratan, kita melarikan diri?” ucapan Chamille begitu mengejutkan Kwang.

“Apa maksudmu?” pria ini bahkan menarik tangannya dari punggung si bayi. Mata Kwang menatap Chamille tajam.

“Kita melarikan diri dari Ayahku,” terdengar keparauan di suara CHamille. Kwang berpikir sebentar. Melarikan diri? Tidak! Kwang menggeleng cepat.

“Kwang, Kau tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh Ayahku,” suara Chamille hampir menjerit, membuat Il Hwan yang hampir tertidur jadi terusik. Bayi itu menjerit keras. Dengan cekatan, Kwang mengangkat bayi itu di gendongan lalu menepuk-nepuk pantatnya dengan lembut.

“Kwang…” Chamille bangkit dari rebahnya.

“Tidak!” tegas Kwang. “Aku akan menghadapi keluargamu. Apa pun yang terjadi aku akan menikahimu secara resmi!”

“Tapi…

Hampir saja mereka bertengkar, suara ketukan di pintu membuyarkan. Tanpa diperintah, pintu sudah terbuka dan Yun So masuk dengan nampan berisi makanan di tangannya. Kwang masih sibuk menenangkan Il Hwan saat Yun So mendekati pasutri itu untuk meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang. “Anda sudah sadar rupanya,” kata Yun So sambil menatap Chamille. Dia bisa melihat kesembaban di mata Chamille dan saat menoleh pada Kwang, walau pun Kwan berusaha mendatarkan ekspresinya, Yun So menyadari kalau dia memasuki kamar dalam waktu yang tidak tepat.

“Saya hanya disuruh Kapten mengantarkan ini,” Yun So menunjuk pada nampan. “Kami rasa kalian memerlukannya. Teh hangat akan memulihkan kesehatanmu, Nyonya.”

“Kapten Jin He…,” Kwang tersenyum mengingat pria yang hampir dia celakai di pondoknya. “Katakan di mana dia? Aku ingin bertemu.”

Yun So mengangkat bahu. “Seperti biasa di ruang navigasi. Memerintah dan berlagak seperti bos.”

Il Hwan sudah berhenti menangis. Kwang menyerahkannya pada Chamille. Wanita itu menggigit bibirnya, menahan untuk tidak melanjutkan pertengkaran mereka. “Aku akan menemuinya. Ada hal yang harus aku bicarakan,” Kwang tidak tahu kepada siapa dia bicara. Chamille melihat mata Kwang menatapnya waktu mengucapkan hal itu. Dia yakin Kwang sedang marah. Perlahan, Chamille menunduk, menatap Il Hwan yang terlelap. Bayi itu cepat tertidur jika di dekapan Kwang. Justru memperparah ketakutan Chamille.

Kwang keluar dari kamar. Yun So mengikutinya setelah membungkuk hormat pada Chamille. Chamille masih sibuk dengan pikirannya.

 

—oOo—

“She was found?” pekik Charlie.

Nathan mengangguk cepat. Senyum sumringah menghiasi wajahnya. “Yes, Mom. They found Chamille last night. Dad will go to Korea soon.”

“Hah!” Charlie menghela nafas. Lalu tertawa dengan kelegaan hati. “Chamille found. My home was found.” Tangan Charlie terulur. Nathan menyambut uluran tangan Ibunya. “Oh, Nathan. I am so happy. It’s a miracle. We miss her for a year and…,” ucapan Charlie terputus, sekali lagi dia tertawa lalu merasakan matanya pedih. Charlie menangis haru.

“Yes, Mom. It’s a miracle.”

Charlie mendadak seperti kebingungan. Dia berjalan tergesa ke kamar Sabrina. “I will pick her up. Yes. I will go to Korea.” Hampir saja kakinya menendang daun pintu, Charlie berhenti, berpikir ulang. Korea? Ketakutan terpendam itu datang lagi. Kebimbangan melanda. “Why must Korea?” tanya Charlie sambil berbalik pada Nathan.

“Because most of the crue is Korean,” jawab Nathan. Mata Charlie bergerak gusar. Korea adalah momok baginya. Di sana dia kehilangan segalanya. Akankah Korea merenggut sekali lagi miliknya. “Mom, what happened?” Nathan menangkap tubuh Charlie yang mendadak oleng.

Charlie berusaha menenangkan diri. Dia menepuk-nepuk lengan Nathan yang memegangi tubuhnya. “It’s oke. I just…,” Charlie menimbang-nimbang sesuatu lagi. Dia merasa perlu bicara dengan Anthoine. Ya, Anthoine dan… Ah, padahal hubungan mereka belum membaik sejak pengintegrasian itu.

“Mom?” Nathan merasa kalau Charlie seperti orang ling-lung. Charlie memaksakan diri untuk tersenyum. “I will see your Dad,” ujar Charlie sambil keluar dari perpustakaan. Nathan merasa senang. Kemunculan Chamille bisa membuat kedua orang tuanya rukun kembali.

Langkah Charlie terhenti saat sampai di depan pintu kamar yang selama ini dia tempati bersama Anthoine. Charlie bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kali memasuki kamar ini. Charlie mengatur nafas, menghimpun kekuatan untuk menemui Anthoine. Dengan keberanian yang lemah, dia mengetuk pintu di depannya.

“Masuk!” suara Anthoine terdengar dari dalam. Charlie merasakan keberaniannya menghilang. Dia berbalik, bermaksud mengurungkan niat. Tapi… bagaimana masalah Chamille? Sekali lagi Charlie bimbang. Charlie mengetuk pintu lagi.

“Aku bilang masuk!” suara Anthoine memelan saat dia membuka pintu dan melihat Charlie berdiri di depannya.

“Hai, Aku… .”

Oh, jadi sekarang mereka adalah orang asing satu sama lain?

“Ya?” Anthoine menunggu Charlie meneruskan ucapannya.

Charlie menunduk. Anthoine melihat ada rasa malu di wajah istrinya. “Kita harus bicara,” Charlie tiba-tiba mengangkat wajahnya.

“Eh,” dan giliran Anthoine yang salah tingkah. “Masuklah,” Anthoine mundur, memberi jalan bagi Charlie untuk memasuki kamar. Charlie melihat kalau Anthoine memang sedang bersiap-siap untuk perjalanannya. Travel bag terbuka di atas ranjang, begitu juga dengan celana, kemeja, apa pun yang mungkin dipersiapkan Anthoine di Korea nanti. Charlie merasa kalau dirianya bukan istri yang baik. Perlahan dia duduk di tepi ranjang, merapikan pakaian-pakaian itu lalu menatanya satu per satu ke dalam travel bag. Anthoine tidak pintar berbenah. Selama ini, jika pria itu bepergian, Charlie lah yang mendata apa saja yang diperlukannya dan menatanya dengan rapi di travel bag. Anthoine menatap Charlie dalam diam. Akhir-akhir ini dia memang pendiam, menunggu sang istri mendekat. Menunggu kemesraan yang dulu pernah ada. Namun lihatlah kini, mereka berdiri dalam jarak.

“Kenapa harus Korea?” tanya Charlie lirih.

Akhirnya… . Chamille adalah alasan Charlie menemui Anthoine. “Untuk lebih memudahkan proses evakuasi. Kapten kapal adalah orang Korea jadi… . Kau mau ikut?”

Charlie menggeleng. “Aku takut.”

“Takut?” selangkah Anthoine mendekat pada Charlie.

Charlie mengangguk. “Takut kehilangan lagi. Negara itu merampas segalanya dariku.”

Anthoine menutup mata, merasakan sejenak keheningan. “Kau akan membawanya untukku, kan?” tanya Charlie. Anthoine mengangguk. “Dan jika aku berhasil membawanya?”

Charlie mengangkat wajahnya. Pertanyaan Anthoine bernada tawar-menawar. Anthoine berjongkok di depannya, meremas kedua tangan Charlie demi meyakinkan cinta mereka. “Jika aku berhasil membawanya, akankah kau tetap bersikap seperti ini?”

“Anthoine…, aku… .”

“Aku mencintaimu.”

Kepala Anthoine semakin maju. Perlu keberanian saat dia melakukan ini. Bisa saja Charlie menghindar. Bisa saja Charlie menolaknya, marah dan hancurlah penantian penuh kesabaran yang selama ini dia lakukan. Namun sebaliknya, wanita itu terdiam, menanti ciumannya dengan hati berdebar. Hingga sentuhan kecil di antara bibir mereka, membuahkan sengatan kerinduan tiba-tiba meletup. Keduanya tersadar jika telah lama saling merindukan. Anthoine menatap mata Charlie, tidak ada amarah di sana. Pandangan memohon-lah yang ada. Perlahan, Anthoine menarik kepala Charlie.

Perlahan, ciuman itu menjalarkan kehangatan di aliran darah mereka. Charlie menyadari cinta Anthoine-lah yang selama ini membuatnya nyaman. Anthoine berkali-kali jatuh cinta padanya dan kali ini… dial ah yang jatuh cinta, mendambakan lelaki itu. Saat pembatas telah terhapus, Anthoine menggapai kerinduannya dan cintanya.

Tanpa pembatas lagi. Menghangatkan kembali ranjang besar mereka yang selama ini dingin. Anthoine merengguk hasrat yang menyala dalam setiap sentuhan mereka. Hingga keduanya tersadar hari menginjak senja, dengan mata mengantuk, Anthoine menatap wajah istrinya. Rona kebahagiaan terpancar, Charlie semakin cantik di mata Anthoine.

“Terima kasih,” Anthoine mengelus sepanjang lengan atas Charlie dengan telunjuknya. Charlie tersenyum. Diciumnya bibir Anthoine lagi. “Bawa Chamille untukku, Sayang. Berjanjilah.”

Kini  ganti Anthoine yang tersenyum. “Tentu. Dia pasti terkejut melihat Sabrina.”

Mereka berdua tertawa. Menyadari betapa sederhananya mereka rukun kembali, Charlie merasa kalau selama ini dialah yang terlalu membesarkan masalah. Dalam hati Charlie berjanji, akan lebih bijak lagi dalam menilai kehidupannya.

—oOo—

“Apa yang dikatakan Tuan Shin padamu?” tanya Yun So. Saat ini dia sedang berada di ruang navigasi bersama Jin Hee. Pembicaraan Jin Hee dengan Hyun Kwang sore tadi sepertinya serius dan Yun So tidak berani mendekat waktu itu.

Jin Hee menyesap kopi dari mug – nya. Udara serasa dingin, dia berharap tidak terjadi badai. Setelah meletakkan mug di meja, dia menjawab pertanyaan Yun So. “Dia berkata akan menjadi ABK selama pelayaran ini.”

Yun Soo mengangkat bahu. “Ya, dia adalah ABK di Bouwens Inc. Lalu apa lagi?”

“Hanya…,” Uap dingin menyembul dari lubang hidung Jin Hee. “Bertanya bagaimana karakter Anthoine d’ Varney.”

Yun Soo terkekeh. “Apa yang terjadi saat orang Kanada itu mengetahui kalau dia sudah bercucu.”

Jin Hee menduduki meja, “Apa yang dikatakan Brian Rothman mengenai hal ini?”

Yun Soo terkesiap. “Kau memberitahunya?”

Jin Hee mengangguk.

“Pria itu yang paling berambisi menemukan Chamille. Pria itu mencintai Chamille. Seharusnya kau tidak mengatakan padanya tentang keadaan Chamille.”

Jin Hee mengkerutkan kening. Kenapa juga tiba-tiba Yun Soo begitu perduli. “Brian Rothman adalah komando utama ekspedisi ini. Tentu saja aku harus melaporkan selengkap-lengkapnya.”

“Akan ada perang setelah ini.”

Jin Hee menghembuskan nafas. “Jangan berlebihan. Itu bukan urusan kita. Setelah gadis itu kembali ke tangan keluarganya, tugas kita selesai.”

Yun So ingin membantah. Selama ini Jin Hee bekerja dengan penuh profesionalitas. Apa yang dikatakan kaptennya itu benar. Namun entah kenapa, Yun So merasakan kalau nantinya akan ada hal yang menyedihkan. Mungkin kisah klasik tentang si papa yang mencintai putri raja. Ditambah pangeran licik, tentu saja. Ah, Yun So membuang pikiran itu jauh-jauh. Malahan dia mulai meyakini kata-kata Jin Hee barusan, “ITU BUKAN URUSAN KITA!”

 

BERSAMBUNG

THE SECRET II (Temptation of Island — Part 12)

THE SECRET II

(Temptation of Island)

Part 12

Hujan  di pulau, serasa lain bagi Kwang hari ini. Pria ini duduk di dekat jendela, mengamati suasana luar yang berkabut, sementara itu Chamille kerepotan menenangkan tangis bayi mereka. Chamille sudah mengganti kain popoknya, bahkan sudah menyusuinya, tapi bayi itu masih saja menangis. Sempat kawatir, dipegangnya kening sang bayi, tidak demam. Putus asa, dia mencoba menyusuinya lagi, bayi itu menolak menyesap asinya, malahan semakin memperkeras tangisannya. Tangisan yang mampu mengalahkan suara deras hujan di luar dan membuat sang Ayah menoleh.

Kwang berjalan ke arah Ibu dan bayinya itu lalu duduk bersila di depannya. “Kenapa dia?”

Chamille menggeleng. Dia masih berusaha menenangkan bayi itu dengan menepuk-nepuk pantatnya. “Entahlah, dia sudah sangat kenyang. Suhu tubuhnya normal. Aku juga tidak tahu kenapa,” terdengar nada penyesalan di suara Chamille. Tak terasa matanya perih, merasa gagal menjadi Ibu dan menangis.

“Berikan dia padaku,” Kwang menyodorkan kedua tangannya. Chamille menatapnya ragu. Dia menggerakkan kedua tangannya lebih mendekat, Chamille pun perlahan mengulurkan sang bayi, meletakkannya dengan penuh kelembutan di gendongan Kwang.

Bayi itu masih menangis. Kwang mendekatkan bibirnya di telinga sang bayi, menyanyikan lagu rakyat lembut sambil menepuk-nepuk pantatnya. Perlahan, tangisan sang bayi semakin lirih, hingga terhenti dan tinggal satu-dua isakan kecil. Bayi itu menatap tepat di wajah Kwang dengan mata bening yang masih menyisakan air mata. Kwang terpesona kembali dengan bayinya.

Chamille menggeser duduknya hingga mendekati mereka. Senyuman tersungging di bibirnya dan dia meminta bayinya kembali. “Dia sudah tenang, berikan lagi padaku.”

Kwang semakin mempererat gendongannya. “Tidak, dia pasti menangis lagi kalau kau gendong.”

“Kang! Aku Ibunya.”

“Tapi kau tidak bisa menenangkannya.”

Chamille bersedekap, membuang muka dengan sewot. Kwang tidak menghiraukannya. Pria ini tetap menyanyikan lagu rakyat di telinga putranya. Chamille merasa dianak-tirikan. Dia berbaring di tempat tidur, menyelimuti tubuh sampai kepala secara kasar.

“Hai, kau kenapa?” Agak geli Kwang menanyakan itu. Tidak ada respon, Chamille benar-benar ngambek. Kwang mencium kening putranya. “Ibu ngambek, Il Hwan.”

Di balik selimut, telinga Chamille berjengit mendengar panggilan itu. Il Hwan?

Chamille bangun dan membuka selimut yang menutupi wajahnya. “Kau panggil siapa dia tadi?”

“Il Hwan,” Kwang menyebutkan nama itu tepat di telinga bayinya.

“Ya, siapa yang menyuruhmu memberi nama Korea!”

“Aku ayahnya. Aku orang Korea. Aku ingin dia bernama seperti itu. Il Hwan, tulus dan bersinar. Iya  kan, Sayang.” Kwang menepuk-nepuk lagi pantat Il Hwan.

“Aduh,” Chamille menggelengkan kepala,”Menyebut namamu saja susahnya minta ampun. Dia harus punya nama barat. Aku akan memberikan nama kakeknya padanya. Ya, namanya Anthoine… Anthoine Shin.”

“Tidak bisa!” Kwang menggeleng tegas.”Namanya Shin Il Hwan. Shin nama margaku, artinya kepercayaan. Il Hwan, tulus dan bersinar. Aku berharap dia bisa menjadi orang yang terpercaya, tulus dan dengan masa depan yang bersinar. Anthoine Shin terdengar seperti berarti….,” Kwang berhenti sebentar untuk berpikir “ ‘Anthoine yang pemalu’. Cih!” Kwang mencibir.

Masih dalam posisi duduk, Chamille berkacak pinggang. “Kau menghina nama ayahku?”

“Tidak! Hanya saja kata ‘Shin’ terdengar seperti ‘Sin’ kalau kamu yang mengucapkan, apalagi ditambah nama Anthoine di depannya. Anthoine yang pemalu atau Anthoine yang berdosa.”

“Hah!” Mata Chamille terbelalak lebar, dengan mengatur emosi, dia berargumen. “Itu karena nama Korea susah di sebut! Makanya jangan memberinya nama Korea!”

“Ayahnya orang Korea, jadi dia harus bernama Halyu. Lihat, bagaimana dia tenang kalau aku memanggilnya begitu,” lalu Kwang menimang bayinya lagi. “Il Hwan…, tidurlah, Il Hwan.. .”

Kwang benar, mata bayi itu semakin meredup, seolah menyetujui nama itu melekat padanya. Chamille mendengus lalu berbaring kembali. Kwang tersenyum geli melihatnya. Semakin lama dia tidak tega. Ditidurkannya Il Hwan di samping Chamille. Bayi itu membuka mata, merengek sebentar sebelum Kwang mengelus-elus lembut keningnya. Chamille memandang wajah Kwang. IL Hwan tertidur lagi, pandangan Chamille beralih pada Il Hwan.

“Mulai sekarang…,” Kwang berkata lembut pada Chamille masih dengan mengelus kening Il Hwan. “Kau harus lebih bisa mengucapkan namanya dengan benar. Ayo, coba ucapkan namanya, Chamille! Shin … .”

“Sin.”

Kwang membimbing Chamille. Masih terdengar seperti ‘Sin’, Kwang mengulanginya lagi. “Shin!”

“Sin!”

Kwang memutar bola matanya. Lupakan tentang Shin, yang penting bagaimana Chamille mengucapkan nama bayinya. “Il…,” Kwang membimbing lagi.

“Ill.”

Gubrak! Kenapa terdengar seperti ‘Ill’?

“Il, Sayang. Il dengan satu huruf L bukan dua huruf L!”

“Tuh, kan… artinya jadi buruk kalau diucapkan dalam bahasa Inggris,” Chamille terkikik. Kwang mendelik. Chamille membungkam mulut dengan tangan untuk menghentikan tawanya.

“Oke.. oke … ‘Ill’ !” Chamille sudah berusaha mengucapkan kata itu dengan benar tapi tetap saja terdengar seperti ‘Ill’. Kwang menggeleng.

“Ill?”

Kwang masih menggeleng.

Chamille berdehem lagi dengan menutup mata, dia berucap, “Il?” Chamille membuka matanya perlahan demi melihat reaksi Kwang. Suaminya tersenyum sekarang. “Sudah benar?”

Kwang mengangguk.

“Sekarang, nama belakangnya. Hwan!”

 “Hwan!”

Senyum Kwang semakin lebar. “Shin Il Hwan!” Kwang menyuruh Chamille mengulang nama putranya secara keseluruhan.

“Sin Ill Hwan!”

Gubrak!

Dosa dan sakit? Oh, No!

“Shin… Il… Hwan,” ulang Kwang perlahan-lahan.

“Shin… Ill…,” mimik wajah Kwang berubah kecewa, Chamille mengulangi lagi ucapannya. Kali ini lebih hati-hati. “Shin… Il…,” dan melihat senyuman Kwang, Chamille meneruskan bicaranya, “…Hwan.”

“Iya,” Kwang mengangguk. “Shin Il Hwan.”

“Shin Il Hwan,” Chamille menyebutkan nama itu lagi di dekat telinga sang bayi lalu mengecup pipinya.

“Nama putramu adalah Shin Il Hwan. Dan nama suamimu adalah Shin Hyun Kwang. Ingatlah itu, Sayang,” Kwang mencium kening Chamille. Chamille teringat pada Ibu dan Ayahnya. Dulu, sering kali Ayahnya juga mengatakan hal itu pada Ibunya. Seolah-olah Ibunya akan melupakan semua itu esok hari. “Nama putramu adalah Jonathan Louis d’Varney. Putrimu adalah Chamille Louis d’Varney  dan nama Suamimu adalah Anthoine Louis d’ Varney. Ingatlah itu, Sayang.”

Mata Chamille mengerjap. Dia semakin ingat kalau Ibunya adalah mantan pasien sang Ayah. Anthoine pernah bercerita kalau Charlie mempunyai memory yang buruk. Karena kenakalannya, Chamille bahkan bisa memasuki ruang rahasia Anthoine tanpa diketahui oleh Ayahnya itu. di ruangan itu tersimpan dokumen, tentang siapa sang Ibu dan apa yang dilakukan Ayahnya sebagai dokter.

“Kang,” Sebelum wajah Kang menjauh, Chamille menangkup kedua belah pipi Kwang. “Kenapa kau berkata begitu? Seolah aku akan melupakanmu?”

“Aku? Aku tidak bermaksud seperti itu?” Kwang menggedikkan pundaknya.

“Kang…, kau tidak tahu apa yang bisa dilakukan ayahku.”

Masih dengan kedua telapak tangan Chamille yang menempel di kedua belah pipinya, alis Kwang menaik. “Memangnya apa yang bisa dia lakukan?”

Chamille semakin sedih memikirkan kemungkinan itu. Tapi dia merasa tidak baik jika membeberkan rahasia keluarganya pada Kwang. Hanya saja… entahlah… jika Anthoine melakukan hal itu lagi untuk memisahkan mereka. Melakukan padanya atau mungkin pada Kwang…, pada Kang? Chamille merasa kalau dia perlu mengatakan ini pada Kwang, “Nama putramu adalah Shin Il Hwan. Dan nama istrimu adalah Chamille Louis d’ Varney. Ingatlah itu, Kang.”

Mata Chamille berkaca-kaca. Dia bangun dan memeluk Kwang erat-erat. “Ingatlah itu… Ingatlah selalu,” Chamille berucap diantara senggukan tangisnya. Kwang bingung, namun saat ini, dia hanya bisa mengelus rambut istrinya, menenangkannya.

“Ingatlah selalu, Kang… Ingatlah selalu.”

—oOo—

Hujan hampir reda saat kapal motor Bouwens 117 yang dikomandoi Jin He hampir mendekati pulau. Ombak sangat tidak bersahabat, sementara Bill memperkirakan kalau pantai terlalu landai, dipagari karang-karang  untuk bisa mendarat.

“Kita harus berhenti atau kapal ini hancur menabrak pulau. Bukannya mencari orang terdampar, kitanya malah yang terdampar,” keluh Yun So.

 Sekali lagi Jin He mengarahkan teropongnya ke pulau. Ada ketidaksabaran di benaknya untuk segera sampai, dia yakin Chamille d’Varney ada di situ. Entah dari mana munculnya keyakinan itu. “Berhentika kapal. Turunkan sekoci,” katanya pada dua orang  anak buah dengan dua perintah yang berbeda. Mereka segera melaksanakan perintahnya.

“Apa?” Yun So kelihatan tidak setuju dengan pikiran Jin He.

Sambil membenahi perlengkapan yang melekat di tubuhnya, sekali lagi Jin He memerintah,“Kalian menjaga kapal. Pastikan kontak tetap terjaga dengan komando di darat. Aku akan ke pulau itu dengan sekoci.”

Yun So semakin kaget. “Kau gila! Kau kapten di sini! Bagaimana kalau di pulau itu ada suku kanibal, dan… .”

“Kau terlalu banyak menonton film bajak laut,” potong Jin He sambil meloncat ke sekoci.

“Tunggu! Aku ikut!” Yun So mengikuti Jin He melompat ke sekoci setelah mengulangi perintah Jin He pada para anak buah, “Jaga kapal!”

Jin He mendiamkan keputusan Yun So walau pun dalam hatinya tidak setuju. Dia malas berdebat dengan Yun So saat ini. Semakin tak sabar rasanya menjelajah pulau itu. Mereka mendayung membelah gelombang yang mengombang-ambingkan sekoci, melawan angin yang seolah melarang untuk mendekati pulau. Hingga saat sekoci masih tiga puluh langkah menuju dataran, Jin He tiba-tiba meloncat.

“Hai!” Yun So yang mendayung di belakangnya berteriak kaget. Jin He berenang menuju daratan saking tidak sabarnya dan Yun So hanya bisa pasrah mendayung sendirian. “Damn! Jika kau mati, aku akan mengutukmu!” ancam Yun So.

Namun Yun So lega saat melihat kemunculan Jin He dari air. Jin He terlihat berlari, dengan air masih menggenang sampai pahanya. Sekuat tenaga, dia melawan dan saat sampai di daratan, dia meloncat girang, bagaikan anak kecil yang mendapatkan mainan baru.

Yun So menyusul dengan sekocinya kemudian. Jin He sudah mulai mengamati keadaan pantai, tanpa memperdulikan Yun So yang kerepotan merapatkan sekoci. “Dasar! Huft!” Yun So mendengus. Sekoci itu terasa berat ditarik dengan tali tambang menuju darat.

Ketika melihat bendera yang terbuat dari ranting dan janur kering, apalagi susunan bendera itu yang berbaris membentuk huruf SOS, Jin He semakin yakin kalau ada orang yang terdampar di sini. “Isyarat yang tepat!” pikir Jin He.

“Fuh!” Selesai sudah, Yun So menarik sekoci ke daratan yang agak jauh dari pantai, dia juga sudah memastikan kalau ombak tidak bakal menyeret sekoci ke lautan. Tingkah Yun So tidak diperhatikan oleh Jin He, pria itu mendekati bendera-bendera yang berjajar, mengelusnya. Yun So berkacak pinggang melihat sahabatnya dan juga bendera itu, hingga mampu menyimpulkan jalan pikiran Jin He.

“Kau pikir Chamille Louis d’Varney bisa memikirkan hal seperti itu?” tanya Yun So.

“Entahlah,” Jin He menoleh pada Yun So.”Setidaknya ada orang lain yang terdampar, kalau pun itu bukan Chamille d’ Varney.”

Yun  So mendengus kesal. “Kalau itu bukan Chamille, apa gunanya?”

“Ssshhh! Diam kau!”

Jin He mengamati sekeliling pantai kemudian. “Kita berpencar,” usul Jin He. “Kau ke kanan, aku ke kiri.”

“Untuk apa?”

“Bodoh!” kata Jin He sambil memukul kepala Yun So. Yang dipukul meringis kesakitan. “Tentu saja mengelilingi pulau.”

Dan anehnya, nyali Yun So langsung mengkerut, “Tidak! Aku tetap di belakangmu!”

Mata Jin He bergerak sebal. Sebenarnya Yun So bukanlah pelaut, bisa dibilang dia pecundang yang mengikuti pelayaran untuk menghindari para preman yang menagih hutangnya kepada rentenir. Jin He mencabut pisau kecil yang terselib di pinggangnya. Dia harus berjaga-jaga. Angin masih sangat kencang menerbangkan pasir-pasir di sekitar mereka saat mengelilingi pantai. Jin He berjalan di muka, menantang angin, dan Yun So mengekor bagaikan anjing pudel yang setia.

“Aku rasa, kita harus memasuki hutan.” Puas dengan pantai, Jin He mengutarakan niatannya pada Yun So. “Kita tidak akan menemukan apa-apa jika tetap di sini. Orang itu pasti masuk ke hutan untuk bertahan hidup.”

Yun So bergidik mendengar Jin He tapi melihat pisau yang dipegang Jin He, dia yakin kalau Jin He mampu mengantisipasi bahaya yang ada. Termasuk bahaya binatang buas atau suku kanibal yang menghantui Yun So. “Terserah, kau yang kapten.”

 Jin He mendengus. Dia mulai melangkah mendekati hutan. Yun So berjalan semakin mendempet Jin He, bahkan tangannya memegangi pundak Jin He sehingga sang kapten merasa bagaikan membimbing anak kecil memasuki wahana  goa hantu. “Ya! Jauhkan tanganmu dari pundakku!” Jin He menggedikkan bahunya untuk menghalau tangan Yun So.

Rimbun pepohonan menyapa penglihatan mereka kemudian. Suasana berkabut, mereka semakin tenggelam dalam hutan dan anehnya hujan mereda. Bau tanah berhumus tercium, segera melenakan mereka. Bahkan Yun So yang tadinya takut, mulai berani berjalan sendiri. Di antara rimbunnya pepohonan itu, Jin He bisa melihat jalur-jalur yang sering dilewati manusia. Dia jadi berpikir ulang. Dia menyimpulkan kalau mungkin saja pulau ini berpenghuni. Tapi jika memang demikian, kenapa keberadaannya tidak tercantum di atlas dunia? Apa pula maksud tanda bendera di pinggir pantai tadi?

Ada banyak jalur. Jin He bingung mau memilih yang mana. Dia memejamkan mata. Berusaha memilah-milah suara alam di antara suara berisik Yun Ho mengomentari keindahan hutan. Dan sayup-sayup pertanda terdengar. Jin He mengangkat tangannya, lalu memberi isyarat agar Yun So diam dengan menempatkan telunjuk ke mulut. “Ssst…, dengar! Suara air.”

“Ya, belakang kita kan pantai, tentu saja itu suara air.”

Merasa bagai berkomunikasi dengan anak autis, Jin He meninggalkan Yun So menuju sumber suara. Yun So mengikutinya lagi. Dan berakhirlah mereka di air terjun.

“Bukan main!” sorak Yun So. Tanpa pikir panjang lagi, dia terjun ke air.

“Hai!” teriakan yang sia-sia dari Jin He karena Yun So sudah berada di dalam air.

“Ayolah! Ini segar sekali!”

“Bodoh!” cibir Jin He.

Setidaknya mereka menemukan air sebagai persediaan kapal. Begitulah pikir Jin He. Yun So sepertinya sudah tidak ketakutan lagi. Saat menunduk, Jin He melihat bekas telapak kaki. Dia yakin kalau itu bukan telapak kaki mereka, tanda itu adalah tanda telapak kaki telanjang, sedangkan mereka memakai sepatu.

Tanpa menghiraukan Yun So yang masih asyik berenang, ditambah keyakinan kalau sahabatnya sudah merasa nyaman dengan pulau, Jin He mengikuti jejak demi jejak telapak kaki. Keberadaannya semakin jauh dari Yun So.

Jejak itu membimbingnya menuju sebuah pondok. Mata Jin He terbelalak. Konstruksi pondok itu begitu mengagumkan, akar gantung dari pohon, justru memperkokoh keberadaan pondok dengan melilit setiap bingkai bambunya, sementara dinding anyaman janur, semakin mempertegas adanya keberadaan manusia dalam pondok. Sekali lagi Jin He memikirkan maksud tanda bendera SOS, langkahnya semakin mendekati pondok. Lalu berhenti saat melihat bekas perapian tepat di depan pondok. Jin He berjongkok, menyentuh abu perapian itu. Pagi ini rupanya perapian tidak menyala. Mungkin disebabkan hujan deras tadi.

Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi. Jin He mendongak, menatap pintu pondok. Dia berdiri, perlahan mendekati pondok. Satu langkah menaiki tangga pondok. Bambu yang dia pijak bergemeretak, menimbulkan suara. Satu langkah lagi dan…

“Kang, itu kau? Il Hwan menangis lagi. Aku tidak tahu kenapa.”

Kening Jin He berkerut. Seorang wanita? Berbahasa Halyu? Hati Jin He diliputi tanda tanya. Tangisan bayi masih terdengar, rupanya wanita itu kerepotan menenangkan bayinya. Apalagi saat pintu pomdok terbuka lebar, dan wanita dengan bayi di pangkuannya itu, mendadak panik melihat kehadiran Jin He yang dianggap orang asing. Wanita itu meringsut mundur, merapat ke pojok dengan mendekap bayinya erat-erat tanpa memperdulikan bayi itu semakin menjerit..

Jin He bisa merasakan kepanikan Ibu di depannya. Dia berjalan perlahan, mendekati wanita itu, tanpa menyadari kalau pisau di tangannya masih teracung. Pisau itulah yang membuat wanita itu ketakutan. “Tenang, Nyonya,” perkataannya sangat absurb, berlawanan dengan tingkahnya yang masih menodongkan pisau tanpa sadar.

“Jangan bergerak!” seorang lelaki, entah kenapa tiba-tiba bisa berada di belakangnya. Sesuatu yang dingin dan runcing sudah menempel di punggungnya.”Percayalah, alat ini lebih tajam dari pisau yang ada di tanganmu,” ancam lelaki itu lagi. Jin He menjatuhkan pisaunya lalu melipat kedua tangan di kepala. Lelaki itu menendang siku kakinya. Jin He terjerembab. Lantai pondok berdetum, anehnya tidak ambrol. Siku lelaki itu segera menekan kepalanya di lantai.

“Kang!” wanita itu berteriak, lega akan kehadiran lelaki itu.

“Tenanglah, Chamille… Pria ini tidak mungkin macam-macam lagi.”

Chamille? Mata Jin He melebar.

“Tu… tunggu!” Susah payah Jin He berkata. “Anda… anda Chamille … Chamille Louis d’ Varney?”

Lelaki yang mengancamnya masih berada di atasnya. Jin He berusaha melihat wanita dengan bayinya yang masih menangis itu walau berat. “Anda putri keluarga d’ Varney?” Jin He berusaha meyakinkan. Bagaimana tidak, penampilan Chamille sekarang ini sangat jauh berbeda dengan foto yang selama ini ada di sakunya. Berantakan, mirip suku primitif. Jin He memicingkan mata, bersikeras melihat mata wanita itu.

Matanya coklat kemerahan!. Ya! Itu Chamille Louis d’ Varney!

Wanita itu memandangnya. Ragu-ragu, lalu memandang lelaki yang menguncinya di lantai. “Apa urusanmu, Pak tua!” kata lelaki itu, semakin menekan kunciannya atas Jin He.

Tapi Jin He pantang menyerah. “Nona d’Varney…,” dia masih bicara dengan nafas sesak. “Saya… saya Han Jin He. Ibu anda… menugasi kami mencari anda.”

Wanita itu memandangnya lagi. “Kang… .” Tangisan sang bayi telah mereda.

“Lalu kenapa kau mengancamnya dengan pisau?” lelaki itu yang bertanya. Jin He menyadari kekeliruannya. Pisau itu ternyata sumber masalahnya. Mereka mengira kalau dia akan membunuh Chamille.

“Saya minta maaf. .. saya tidak sadar kalau… kalau itu membuat … anda takut.” Jin He batuk-batuk. Lengan lelaki yang dipanggil Kang itu semakin mencekik. “Believe me… Charlie d’ Varney said me,’Pleasse.., find my home’, Jin He menirukan perkataan Charlie ketika pertama kali dia menemui wanita itu.

Seakan kata itu adalah kata kunci, Chamille menoleh pada Kwang. “Dia benar, Kang. Ibuku memang mengirimnya.”

“Kau yakin?”

“Iya, Ibuku menganggap suami dan anak-anaknya adalah ‘home’nya.”

Cekikan Kwang pun melonggar. Namun keadaan berbalik kemudian. Seseorang gantian menyerang Kwang dari belakang. Sesaat Kwang-lah yang menggantikan posisi Jin He, telungkup di lantai dengan seseorang mengunci di atasnya.

“Jangan!” Chamille dan Jin He berteriak bersamaan.

“Kau baik-baik saja, Kapten!” lelaki itu menyeringai. Tubuh bahkan bajunya masih basah kuyup akibat berenang tanpa melepas pakaian di sungai, Yun So.

“Kau menyakiti suamiku!” Chamille beringsut mendekati Kwang. Kwang meringis, menghalau rasa sakit. Bayi mereka menangis lagi.

“Lepaskan dia, Yun So!”  Jin He memerintah.

“Tapi… .”

“Aku bilang lepaskan dia!”

Yun So mendengus. Dia melepaskan Kwang walau pun ogah-ogahan. Kwang adalah lawan pertama yang berhasil dia kalahkan, tapi Jin He malah menyuruhnya melepaskan Kwang.

“Kang,” Chamille memeluk Kwang setelah pria itu berhasil duduk. Kwang mengambil alih bayinya menciumi bayi itu hingga tangisannya mereda.

“Maafkan kami, Nona d’Varney,” sesal Jin He.

“Nona d’ Varney?” Yun So sama sekali tidak mempercayai ucapan Jin He. Wanita di depannya, wanita dengan baju seadanya dan lusuh itu Chamille d’ Varney?

“Dia anak buah saya, Kim Yun So.”

Yun So pun mendekati Jin He. “Kau yakin dia Chamille d’ Varney? Penampilannya… .”

“Dia terdampar selama hampir setahun. Kau berharap dia berpenampilan seperti apa? Bergaun pesta?” bisik Jin He jengkel.

“Jadi kau benar-benar ditugasi keluarga d’Varney?” tanya Kwang.

“Secara teknis seperti itu,” Jin He masih menyembunyikan peran serta Brian.

“Kenapa lama sekali?” Chamille gentian bertanya.

“Pulau ini sama sekali tak terdeteksi radar bahkan tak tercantum di peta.”

“Seperti yang kuperkirakan,” kata Kwang. Diangsurkannya Il Hwan ke gendongan Chamille. Bayi itu langsung menyesap putting susu sang Ibu begitu disodorkan. Yun So melihat semua itu dengan mulut menganga lalu memandangi Kwang dan beralih pada Jin He dengan pandangan penuh tanya.

Jin He memberi isyarat  dengan kedipan  mata agar Yun So diam lalu meneruskan percakapannya dengan Kwang. “Ada kapal yang menunggu kita, kira-kira satu kilometer dari pantai. Kami tidak berani terlalu merapat karena ombak begitu besar dan karang-karang yang membatasi pantai.”

“Ya, aku tahu itu,” respon Kwang lalu berdiri, melangkah mendekati Jin He dan Yun So. “Anyway…, namaku Kwang. Shin Hyun Kwang.”

Jin He membalas jabat tangan Kwang. “Saya… seperti yang saya katakan tadi, Han Jin He.”

“Kim Yun So,” Yun So menyodorkan tangannya, memperkenalkan diri. Kwang menyambut jabat tangan itu. “Dia anakmu?” Yun So bertanya tanpa basa-basi, sambil menunjuk bayi di gendongan Chamille.

“Ya, dia putra kami.”

Alis Yun So bertaut, sekali lagi memberikan pandangan penuh tanya pada Jin He. Sama seperti tadi, Jin He tidak mengacuhkannya. “Kita akan berangkat setelah kapal cukup mengumpulkan persediaan. Bisa saya pastikan sore  ini.”

“Lebih cepat, lebih baik,” ujar Kwang.

—oOo—

Chamille dan Kwang memandangi pondok mereka untuk terakhir kali. Jin He memberikan waktu pada mereka untuk mengucapkan perpisahan pada segala hal di pulau ini, sementara dia dan para krunya mengumpulkan persediaan air dan makanan. Hanya tinggal Bill di dalam kapal. Kapal masih di lepas pantai, mereka akan menggunakan sekoci menuju kapal nantinya.

Kenangan demi kenangan terbersit di benak pasangan itu ketika memandangi pondok itu. pondok itu adalah saksi bisu cinta mereka. Mereka bahagia di pondok itu. Bercinta, berdiskusi bahkan bertengkar di dalamnya. Terlebih lagi, Il Hwan, putra mereka terlahir di pondok itu. Chamille terhanyut suasana, tak terasa air mata mengalir. Kwang merangkul Chamille, mencium ubun-ubunnya.

“Kang, suatu saat, akankah ada orang lain yang terdampar di sini, lalu memakai pondok ini?”

Kwang tersenyum.”Entahlah, Chamille. Biarlah pondok ini tetap seperti ini. Mungkin berguna bagi mereka yang terdampar.”

“Iya,” Chamille mengelus pipi Il Hwan, membisikkan sesuatu di telinganya,”Ucapkan selamat tinggal pada pondok kelahiranmu, Sayang.” Lalu mencium keningnya.

“Eh hm!” Yun So, yang ditugasi Jin He untuk mengawal pasutri itu, memecahkan keheningan dengan deheman. “Waktunya sudah tiba, Tuan Shin.”

Kwang tergagap. “Oh, baiklah.” Lalu beralih pada Chamille.”Kau sudah kuat buat berjalan, Sayang.”

Chamille menggeleng.”Entahlah, aku tidak yakin.”

“Baiklah,” Kwang mencium kening Chamille lalu mengangkat Chamille di gendongannya, sementara Chamille menggendong Il Hwan.

Sambil berjalan keluar hutan, Yun So berjengit melihat tingkah mereka. “Biar aku bantu menggendong bayimu, Tuan Shin,” akhirnya pria ini menawarkan bantuan.

Chamille menyanggupi. Jin He berhenti sebentar agar Yun So bisa mengambil Il Hwan dari Chamille. Mereka bertiga berjalan kembali, menuju pantai. “Apakah Nona d’Varney sakit?” tanya Yun So lagi.

“Tidak! Chamille sebenarnya masih dalam masa nifas,” jawab Kwang.

“Apa?”

“Baru semalam dia lahir, Tuan Kim,” jawab Chamille.

Yun So langsung kaget. Dia menatap bayi mungil di gendongannya lebih seksama. Bayi itu memang masih merah, dia jadi gugup dan lebih berhati-hati menggendong.

Sampailah mereka di sekoci. Kali ini ada dua sekoci. Satu sekoci untuk mengangkut persediaan air dan makanan. Satunya lagi untuk mengangkut Chamille, Kwang dan bayi mereka dengan Jin He da Yun SO sebagai pendayung.

Ombak menyulitkan sekoci-sekoci itu untuk ke tengah laut, mereka harus mendayung lebih kuat. Saat semakin ke tengah, perairan mulai tenang. Kwang mengamati pulau yang semakin mengecil di belakang mereka.

“Kapten, sebenarnya di mana kami selama ini?” tanya Kwang pada Jin He.

“Sesungguhnya, Tuan Shin? Mendekati Samudra Hindia.”

Pulau semakin mengecil namun kapal yang sedianya akan mereka tumpangi semakin tampak jelas. Hingga Kwang melihat tanda pengenal di kapal itu, ‘Bouwens 117’ . Ada sedikit kekawatiran, tapi demi melihat kembali peradaban, demi berkumpul kembali dengan keluarganya, Kwang menekan rasa kawatir itu.

 

BERSAMBUNG

THE MAESTRO — part 3

THE MAESTRO

part 3

Saat kekawatiran Mina semakin menjadi, dan menganggap tindakan Aldian terhadap Joana itu sebagai pembunuhan karakter, dia memutuskan untuk membicarakan hal ini pada Aldian. Takut-takut, Mina mengetuk ruang kerja Aldian. Mina tahu mungkin ini semua terlambat. Usia Joana bahkan sudah sembilan belas tahun minggu depan. Tapi ada kekawatiran aneh yang menyelimuti Mina, berhubungan dengan bertambahnya usia Joana.

“Masuk!” perintah Aldian dari dalam ruang kerjanya. Perlahan Mina membuka pintu besar itu dan berjalan ke depan meja kerja Aldian. Tampak di depannya, pria itu sedang menekuri layar notebooknya. Malam sudah larut dan pria ini masih saja bekerja. Saat Mina hanya terpaku, Aldian memandanginya dan menyilahkan,”Duduklah, Nany.”

Nany adalah panggilan yang diberikan Joana untuk Mina. Wanita paruh baya itu pun menurut, dia duduk, dan saat Aldian mulai memandangi dengan mimic penuh tanya, Mina mengutarakan maksud hatinya,”Miane jika hal ini kurang sopan menurutmu, Doronim.”

“Kurang sopan? Maksudnya?”

Mina berdehem, entah kenapa tenggorokannya serasa tercekat, tapi dia harus meneruskan bicaranya,”Saya merasa cara mendidik Doronim pada Joana itu salah.”

Aldian jadi mengkerutkan kening.”Apa maksudnya salah? Apa Joan tidak bahagia selama di sini?”

“Anhi, bukan begitu maksud saya, Doronim,” tukas Mina cepat-cepat.
“Dhe?”
“Joana jadi mirip dengan Alicia dan saya curiga Doronim sengaja melakukan itu?” jelas Mina sambil mengakhirinya dengan nada bertanya.”Sengaja membentuk Alicia kedua?”

Pandangan mata Aldian jadi menyipit, lalu sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih dia balik bertanya,”Jeongmal?”

Mina mengangguk mantap.

“Aku malah tidak memperhatikan hal itu,” kata Aldian.”Mungkin mereka mirip karena mereka kakak adik.”

Mina Menggeleng.”Tidak mungkin, Doronim. Bahkan saudara kembar pun punya perbedaan watak. Saya berkesimpulan didikan Doronim yang menyebabkannya. Kenapa Doronim harus ngotot membuat Joana tertarik pada music, tari dan sastra?”

“Memangnya apa salahnya? Joan menikmati semua itu dan dia semakin ahli,” ujar Aldian membela diri.

“Entahlah, Doronim. Ada perasaan aneh di hati saya, dan itu mengenai Doronim dan Joana.”

Aldian semakin bingung. Wanita di depannya itu hanya berteka-teki. Kenapa tidak langsung pada pokok masalah? Sebenarnya apa yang dikawatirkan wanita ini?

“Langsung saja katakan apa yang kau takutkan, Nany?” tanya Aldian jengkel. Mina menunduk sambil menutup mata, dia berkata,”Miane, saya… saya tidak berani.”

Aldian mendengus sebal. Lalu dengan tegas dia memutuskan,”Kalau begitu tidak usah kau katakan. Lanjutkan saja pekerjaanmu, Nany. Aku masih banyak urusan dengan laporan-laporan online ini.”

Mina berdiri takut, dia sadar sudah membuat Aldian marah, tapi sebelum meninggalkan ruangan itu, dia berpesan bijak,”Suatu saat anda akan mengerti kekawatiran saya, Doronim. Saya hanya bisa berkata, hentikan semua ini sebelum terlambat.”

Ya, hanya itu yang sanggup diucapkan Mina. Yang membuat Aldian semakin bingung. Kepalanya jadi pusing, sampai bayangan Alicia datang lagi di hadapannya. Ruangan itu bagai tertutup kabut tebal, dan hanya Alicia yang mampu dia lihat. Mengenakan pakaian serba putih dengan rambut terurai dan tersenyum manis hingga Aldian tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memeluk dan berbisik di rambutnya yang harum,”Kau datang lagi, Sayang.”

Alicia melepaskan diri dari pelukan itu, lalu mundur beberapa langkah dari Aldian dan entah angin dari mana berhembus mengibarkan rambut panjangnya, hingga si cantik itu tambah erotis saja. “Aku selalu datang jika kau perlu bantuan, Aldian,” suara si cantik itu lembut.

Ya, Alicia selalu hadir di mimpi Aldian, saat pikiran Aldian kalut. Dan akan tetap begitu entah sampai kapan.

“Kulihat Mina ajhuma menyusahkanmu?” tanya Alicia. Suara itu begitu halus dan jauh, membuat Aldian tak mampu menyembunyikan kegundahan hatinya.”Aku tidak tahu apa yang ditakutkan Nany. Apa salahnya jika Joan mirip denganmu? Bukankah kalian kakak adik?”

Alicia mengulurkan jari-jarinya yang lembut dan segera disambut dengan genggaman hangat tangan kokoh Aldian. “Aku tak dapat memastikannya sekarang, Aldian. Hanya waktu yang bisa menjawabnya, dan saat hal itu tiba, semua keputusan ada di tanganmu.”

Lalu Alicia mencium punggung tangan Aldian,”Keputusan ada di tangan ini, dan saat keputusan baik yang kau buat…

Alicia menghentikan kalimatnya, dan waktu seakan menarik Alicia kembali ke tempatnya, namun sayup-sayup suara itu masih terdengar oleh Aldian,”….. aku mungkin akan berhenti menemuimu…..”

Aldian terbangun dari tidurnya. Rupanya semalam dia tertidur di ruang kerja. Mentari pagi sudah menyambutnya, merembesi celah-celah gorden di ruangan itu.

“Yuhu….! Aku menang !” teriakan nyaring Joana terdengar. Aldian tahu kalau suara itu berasal dari lapangan tenis di belakang manshion. Gadis itu pasti bertanding lagi dengan Daniel, putra dari almarhum kakak Aldian yang seumuran dengan Joana.

Aldian segera berjalan ke pintu kaca dan keluar ke balkon hingga dapat mengamati polah Joana yang meloncat-loncat girang karena berhasil mengalahkan lawan, dan Daniel sangat kesal pada nasibnya hari ini yang dikalahkan cewek.

“Kau mujur hari ini, tapi tidak lain kali,” Daniel membela diri. Joana masih saja tertawa-tawa mengejek, setelah menjulurkan lidah, dia bersuara nyaring,”Jangan membela diri, kalau kalah ya kalah saja. Huuuuu…, masa songsaenim kalah?”

Daniel memang yang selama ini melatih Joana bermain tenis sehingga kedua pemuda ini akrab. Daniel jadi tambah kesal dengan kalimat Joana barusan. Saat keduanya sadar kalau Aldian mengamati dari balkon, mereka sama-sama melambai pada Aldian dan pria itu membalas dengan mengangkat tangan lalu masuk kembali ke ruang kerja.

“Oppa sudah bangun rupanya,” Joana jadi sumringah lalu meletakkan begitu saja raketnya dan berlari meninggalkan lapangan tenis.

“Hei! Hei, mau kemana, kau?” panggil Daniel. Protes karena ditinggal begitu saja. Joana hanya berhenti sebentar untuk menjawab panggilan itu,”Ketemu sama Oppa… Bye!” dan melangkah lagi dengan riang. Daniel hanya bisa memajukan bibir dan memunguti perlengkapan tenis.

Joana berlari riang memasuki manshion dan bertemu Aldian di dekat tangga yang menghubungkan lantai dua dan lantai dasar. Dia segera mengapit, lengan Aldian. Bersama mereka berjalan ke ruang makan setelah Aldian mengucek kepala Joana gemas.

“Oppa pasti lapar,” ujar Joana sambil meletakkan napkin di pangkuan Aldian saat keduanya telah sampai di ruang makan.

“Gumawo,” ucap Aldian dan Joana memeluknya dari belakang saat pelayanan menuangkan sup di mangkoknya.

“Oppa…,” panggil Joana manja, masih bergelayut di punggung Aldian.
“Ne?”
“Rumah ini jarang berpesta, ya?” tanya Joana. Tangan Aldian jadi urung untuk menyentuh sendok sop.”Dhe?”
“Oppa tahu, tidak hari ini tanggal berapa?” tanya Joana lagi.

“Tanggal tiga,” jawab Aldian sambil menoleh ke muka gadis manja itu. Lalu Joana terkekeh.”Kalau seminggu lagi tanggal berapa, Oppa?”

“Tanggal sembilan,” jawab Aldian, dia jadi tahu maksud Joana, apalagi kalau bukan hari ulang tahunnya, hingga pria tampan itu tertawa-tawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kau mau pesta untuk ulang tahunmu?”

“Ne, Oppa.” Joana manggut-manggut. Aldian menghela nafas panjang,”Baiklah…., akan ada pesta tapi tidak di rumah ini.”
“Mwo?”
“Bagaimana jika di JW Mariot?” tawar Aldian.

“Jinja?” Joana tidak percaya dengan kata Aldian barusan, dia jadi melepaskan pelukan dan memandang tajam Aldian dengan mata berbinar.

“Ne…, apanya yang tidak buat Joan-ku yang manis,” goda Aldian sambil mencubit pipi Joana yang memerah. Joana melonjak girang, lalu memeluk Aldian lagi sembari memberi ciuman lengket di pipi kiri dan kanan pria itu hingga menimbulkan suara. “Gumawo, Oppa.”

DEngan riang, Joana lari ke belakang manshion sambil berteriak-teriak,”Dany! Dany! Oppa bilang pestaku akan diadakan di JW Mariot.” Dan Aldian hanya geleng-geleng kepala, geli pada tingkah dan polah gadis manja itu.

BERSAMBUNG

THE SECRET II (Temptation of Island — Part 11)

THE SECRET II

(Temptation of Island)

Part 11

“Waktu itu aku melihat sosoknya di mall. Aku tidak tahu bagaimana bisa berada di mall tapi aku melihatnya.”

Sambil menyandar di sofa, Anthoine menyaksikan rekaman penghipnotisan Charlie di ruang kerja Stacy. Tangan kanan yang pada mulanya menumpu di lengan sofa, bergerak ke atas demi memijit-mijit pelipisnya. Charlie di balik layar LCD itu terdiam sebentar, meremas-remas jemarinya gusar.

“Dia… dia… aku mengikutinya dan lalu…. .”

Sekali lagi Charlie terdiam. Anthoine menahan nafas. Mata Charlie memerah dan akhirnya air mata menetes seiring suaranya yang mulai timbul tenggelam. “Ada seorang anak laki-laki yang berlari padanya. Dia memeluknya. Sepertinya dia sangat bahagia karena anak itu. Lalu aku melihat seorang perempuan, demi Tuhan… aku semakin mendekati mereka. Perempuan itu… perempuan itu adalah Ibu anak itu dan… dan…. .”

Charlie semakin menyakiti diri dengan meremas jemarinya kuat-kuat. Tangan Stacy terulur, mencegah Charlie membuat jemari lentik itu semakin memerah.

Anthoine melihat adegan itu dan merasa jengah. Namun dia harus tahu semuanya. Stacy sudah tidak memperhatikan rekaman itu lagi. Respon Anthoine lebih menarik perhatiannya sekarang.

“Nick dan perempuan itu…  Anak itu adalah anak mereka!”

Charlie menunduk, membenamkan wajah penuh tangis di kedua telapak tangannya. Bahunya bergerak seiring isakan tangisnya lalu mendongak, mengatur nafas demi mengatakan kalimat selanjutnya.

“Aku semakin mendekat. Nick melihatku. Aku meminta penjelasan padanya. Bodohnya, dia malah kebingungan, memanggilku Nyonya d’ Varney. Dia berkhianat tapi … tapi malah mengatakan kalau pernikahan kami…  sudah lama berakhir dan…. dan aku menikahi orang lain.”

Sekali lagi, Charlie tidak bisa menahan tangisnya.  Tidak bisa lagi dibayangkan raut muka Anthoine. Rasa cemburu menjalari hatinya. Di dalam diri istrinya, Charlotte Whitely masih mencintai Nick Rothman.

Stacy menghentikan laju rekaman. “We can stop it if you …

“No! I want watch it,” elak Anthoine. Stacy menjalankan rekaman kembali.

“Aku tidak kuat lagi. Aku berlari menjauhi mereka, Nick mengejarku dan  memanggil-manggil. Aku tidak perduli. Sesak rasanya. Dia penghianat. Dia penghianat! Sakit sekali! Sakit sekali!”

Charlie memukul-mukul dada.

“Kematianku akan menghukumnya, aku berpikir begitu. Dia pasti merasa bersalah. Aku akan menghantuinya dengan perasaan bersalah. Aku akan menghukumnya seperti itu. Aku mati dan dia terhukum! Aku mati dan dia terhukum!”

Stacy mematikan rekaman. Anthoine mendesah, lemas bersandar di sofa. Stacy duduk di depannya, menuangkan air mineral  ke dalam gelas lalu disodorkan pada Anthoine.

“No.” Anthoine menolak minuman itu. Stacy meletakkan kembali gelas di atas meja yang memisahkan mereka berdua. “The meeting was unplanned,”  Stacy menanggapi isi rekaman itu.

“Nick Rothman is innocent. He didn’t cause the accident.” Stacy menyilangkan kakinya. Anthoine mendongak, menghembuskan nafas berat.

“Charlotte think if she is death, Nick will suffer and she will punish Nick with her death. She thought like that while driving  then she drove brutally and the accident occurred.”

Anthoine mengangkat tangannya sebagai isyarat agar Stacy berhenti berkata-kata. Perlahan dia mengangkat punggungnya dari sofa yang nyaman  untuk bangkit. “Anthoine, how about the integration?” pertanyaan Stacy menghentikan langkah Anthoine yang akan meninggalkan ruangan itu.

“Just do it.” Anthoine menjawab tanpa menoleh lalu meneruskan niatannya untuk meninggalkan ruangan. Stacy menghela nafas panjang. Mungkin Anthoine ingin agar semua ini cepat berakhir, Stacy berpikir kalau hal ini tentu berat bagi Anthoine. Tiga pribadi dalam tubuh istrinya dan satu dari ketiga pribadi itu, mencintai pria lain.

Jadi itukah alasan yang menyebabkan kecelakaan itu? Kecelakaan yang hampir membuat mereka kehilangan Chamille? Anthoine sama sekali tidak percaya. Selama ini, dia merasa kalau Nick-lah yang paling bersalah. Tapi kenyataannya, kelabilan pribadi Charlotte yang menyebabkan semua itu. Charlotte yang labil, sialnya muncul di saat Charlie tanpa pengawasan. Itukah sebabnya Charlie ketakutan untuk menginjakkan kakinya di Korea lagi? Alam bawah sadar Charlie rupanya selalu mengingatkannya, Anthoine tahu itu sekarang.

Dan Anthoine masih memikirkan hal itu walau pun sekarang ini, laporan-laporan mengenai kondisi perusahaannya sudah berada di tangan. Tidak ada perubahan yang mengkawatirkan. Orang-orang kepercayaannya sudah bekerja dengan baik. Bukan bisnis yang perlu dia perhatikan, melainkan istrinya.

Charlie duduk di atas ranjang di dalam kamarnya. Di pangkuannya, Sabrina tertawa, memperlihatkan senyuman yang tanpa gigi. Charlie menggoda bayi itu dengan menggelitiki kakinya, respon bayi itu sungguh mengagumkan dan Charlie menikmatinya. “Oh, Sayang…ayo tertawa lagi!” Bukan hanya kaki, kini Charlie menggelitiki perut Sabrina. Kaki Sabrina menendang-nendang seiring tawanya yang tergelak. Tubuh bayi itu sudah sangat kaku saking gelinya sehingga dia merengek, memohon pada Charlie agar tidak menggelitikinya lagi dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti olehnya dan Charlie.

“Oh, sudah capek, ya tertawanya?” Charlie mendekatkan wajahnya pada Sabrina. Sabrina mengerang menjawab Charlie. “Oh, Sayang,” Charlie mengangkat Sabrina dari pangkuannya, diciumnya kening Sabrina sambil menepuk-nepuk pantatnya. “Capek? Iya?” Charlie memandangi Sabrina yang kini menggesek-gesekkan wajahnya di dada Charlie. “Dan sekarang pengen minum?” tanya Charlie.

Sabrina merengek. Charlie tertawa mendengar tangisan kesal Sabrina. “Iya, iya, Sayang,” Charlie membuka kancing dadanya lalu menyusui Sabrina.

Charlie terlalu asyik dengan Sabrina. Dia tidak menyadari kehadiran Anthoine di ruangan itu, yang sudah memperhatikannya selama lima menit. Baru setelah Sabrina tenang menyusu dan ruangan itu berubah senyap, langkah kaki Anthoine membuatnya berjengit. Charlie menyongsong Anthoine dengan senyuman manis dan pria itu mencium keningnya lalu mencium kening Sabrina.

“Aku sudah memasuki kamar ini lima menit yang lalu dan baru sekarang kau mengacuhkanku?” protes Anthoine setelah duduk di samping Charlie. Sama-sama menyandar di kepala ranjang, menyaksikan Sabrina yang sesekali mengerang, seolah berbicara sesuatu padahal mulutnya masih menyesap ASI.

“Maafkan aku, Anthoine. Aku benar-benar tidak mendengarnya.”

Anthoine mengelus kening Sabrina. Bayi itu mengerang protes. Charlie tertawa sejenak. “Dia tidak suka diganggu kalau sedang menyusu,” kata Charlie. Anthoine mendengus.”Anak ini… masih kecil saja sudah pilih kasih begitu.”

Charlie tertawa. Anthoine tersenyum lalu merangkul Charlie erat. Mata Sabrina semakin meredup tapi tangannya bergerak di atas dada Charlie, memijat-mijat. “Lihat, dia menandai apa yang dimilikinya,” ujar Anthoine. Charlie mengangguk. Suara mereka jadi lebih lirih dari sebelumnya. “Dia selalu menjawab perkataanku, Anthoine. Lucu sekali.”

“Dia mengantuk,” perkataan Anthoine diiyakan Charlie dengan anggukan. “Mungkin kecapekan karena tertawa terus tadi. Oh, ya… Bagaimana hasil pertemuanmu dengan Stacy?”

Rupanya Charlie sudah mulai menerima keadaannya. Anthoine mensyukuri hal itu. Setidaknya Charlie lebih siap menerima apa pun yang terjadi selanjutnya.

“Besok akan dilakukan pengintegrasian pertama. Kau harus benar-benar siap.”

Charlie  menatap wajah Anthoine. Rasa kawatir menjalari hatinya. Dia mengalihkan pandangannya pada Sabrina, memohon kekuatan dengan menatap kepolosan bayi itu. “Aku akan tetap kuat demi Sabrina.”

Anthoine tersenyum. Pandangannya juga tertuju pada Sabrina. Sekali lagi dia mengelus kening Sabrina. Mungkin sudah berada di alam mimpi, bayi itu tidak protes seperti sebelumnya. Memandangi Sabrina ketika tidur adalah hobi baru mereka. Bayi itu mampu menarik kedua orang tuanya ke dalam dunianya. Sesaat beban berat terlupa jika melihat ketenangan Sabrina dalam tidurnya. Kamar bayi Sabrina pun jarang digunakan karena Sabrina lebih banyak tidur di ranjang Anthoine dan Charlie.

Seperti malam-malam sebelumnya. Malam  ini pun demikian juga. Sabrina tidur di tengah-tengah mereka. Charlie belum bisa tidur. Dia menatap langit-langit memikirkan pengintegrasian besok. Anthoine melihat tangan Sabrina sedikit bergerak, mengacaukan selimutnya sehingga Anthoine harus membenahinya. Pada saat itulah, dia bisa merasakan kegundahan istrinya. Dia agak bangkit, menumpukan kepala dengan tangan kanannya. “Jangan terlalu dipikirkan,” ujar Anthoine.

“Kira-kira apa yang akan terjadi besok?” tanya Charlie lirih, masih memandang langit-langit.

“Kau akan tahu semuanya,” jawab Anthoine. Charlie menoleh perlahan,”Semuanya?”

Anhoine mengangguk, “Iya, termasuk kebusukanku.”

Mata Charlie menyipit.”Kebusukan?” Charlie bersuara terlalu keras. Sabrina terusik. Anthoine menepuk-nepuk pantat Sabrina, meninabobokannya lagi. Bayi itu meneruskan tidurnya lagi.

Charlie memperhatikan kasih sayang Anthoine pada Sabrina lalu berkata,”Kau sempurna, Anthoine. Suami pengertian, Ayah yang penyayang dan kekasih yang romantis. Aku bahkan tidak bisa menemukan letak kebusukanmu.”

“Karena kau tidak tahu. Kau akan tahu besok.”

Charlie kembali menatap langit-langit. “Kata-katamu semakin membuatku takut.”

Anthoine menjulurkan tubuhnya kepada Charlie demi mencium keningnya. “Tidurlah, Sayang. Yang terjadi besok, biarlah terjadi besok. Kau masih perlu istirahat. Jangan sampai ASI-mu tidak keluar karena stres. Sabrina pasti menangis keras jika hal itu terjadi.”

“Anthoine, aku…,” perkataan Charlie terhenti karena Anthoine mencium bibirnya ciuman yang lembut dan Charlie menjadi begitu tenang bahkan ketika Anthoine menatap tepat di matanya, Charlie sama sekali tidak protes lagi. “Tidurlah, Charlie. Kali ini perintah.”

Charlie mengangguk. Walau enggan, dia menutup mata. Anthoine masih mengamati wajahnya, memastikan kalau dia benar-benar tidur. Baru saat dia benar-benar pulas, pria itu mematikan lampu kenop di dekatnya, sesaat mengecup kening Sabrina lalu berusaha tidur.

Keesokan harinya, Charlie sudah bersiap di depan ruang praktek Stacy. Sabrina di gendongannya begitu polos, bayi itu menenangkan hati Charlie, sumber kekuatan Charlie. Nathan dan Neneknya duduk di satu sofa. Nenek itu menggenggam tangan Nathan, lebih gugup dari Charlie. Anthoine berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan luar yang bisa ditangkap penglihatannya.

Hingga pintu ruangan itu  terbuka, Stacy dan Rae melangkah masuk, Charlie tahu kalau inilah saatnya. Dia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya kembali. Anthoine mendekatinya, mengulurkan kedua tangan, meminta Sabrina. Charlie memandang wajah Sabrina yang terlelap, perlahan dia mengecup kening Sabrina, hidungnya, kedua belah pipinya yang montok, lalu bibirnya. Tak terasa air matanya menetes. Dia meletakkan Sabrina secara hati-hati ke tangan Anthoine. Pria itu merangkulnya kemudian dan menciumi wajahnya seperti dia menciumi Sabrina.

Nathan mendekati Ibunya. Charlie menciuminya seperti menciumi adik bayinya. “Everything will be oke,” janji Charlie pada Nathan. Ibu Charlie pun memeluk anaknya erat-erat. Hingga akhirnya Stacy menarik lembut tangan Charlie, memasuki ruangan prakteknya bersama Rae. Dan saat pintu ruangan itu tertutup. Keheningan membuat ketiganya menggila. Dengkuran lirih Sabrina terdengar jelas sekarang. Sementara ketiga orang dewasa di sekitarnya mengkawatirkan keadaan Ibunya, bayi itu masih saja tidur, tak terpengaruh walau gempa mengguncang sekali pun. Anthoine mengecup kening Sabrina dan berusaha tenang dengan memandangi wajahnya.

 

—oOo—

 

Chamille mengaiskan telapak kakinya perlahan di atas pasir. Ada perasaan yang aneh saat dia berjalan-jalan di pinggir pantai siang ini. Janin di perutnya menendang, dia menunduk, mengelus perutnya lalu duduk dengan hati-hati. Buih ombak menjilati kakinya. Lautan lepas terbentang sampai cakrawala dan entah kenapa dia merasakan kebebasannya  sebentar lagi tiba. Chamille menghela nafas panjang. Pemandangan pantai ini selalu membuatnya tenang. Dia seakan bisa melihat peradaban dari sini, andaikan laut itu tidak membatasi pandangannya. Hingga dia merasakan punggungnya yang semakin pegal, akhirnya dia terbaring. Sejenak dia menikmati mimpi, namun Kwang yang berdiri di dekat kepalanya, menghalangi  cahaya matahari yang terarah ke wajahnya, membuatnya membuka mata.

“Kang,” dia tersenyum. Pria itu duduk di dekatnya, menarik kepala Chamille hingga menyandar pahanya. “Ku kira hanya aku yang suka memandangi pantai,” Kwang memulai pembicaraan.

“Pantai indah hari ini,” jawab Chamille sekenanya.

“Tapi angin pantai tidak baik untuk kesehatanmu,” Kwang menggerakkan telunjuknya di atas wajah Chamile, mewanti-wanti. Chamille tersenyum,”Kau semakin protektif akhir-akhir ini.”

“Kau mengandung anakku. Ingat?”

Sekali lagi Chamille tersenyum. “Iya, aku ingat.”

Kwang mengaitkan jemarinya di antara rambut Chamille lalu menyisirnya perlahan. Chamille memejam, menikmati sentuhan itu. Angin pantai kembali bertiup, mendesir di hati Chamille yang masih terlena kasih sayang Kwang.

“Aku sudah mengganti persediaan sere dan daun sirihnya,” ucap Kwang. Chamille merespon dengan anggukan. Dan seperti tidak fokus, pembicaraan berbelok pada hal lain. “Kenapa kau tidak menyentuhku selama hamil?”

Kwang mendengus.”Aku tidak tega.” Susah payah Camille bangkit dari pangkuan Kwang. “Apakah kau akan menyentuhku lagi setelah melahirkan?” Ucapan Chamille membuat Kwang tertawa, “Kau masih ingin punya anak lagi.”

“Apa salahnya, Kang. Sebanyak-banyaknya denganmu.” Jawaban bodoh yang membuahkan getokan Kwang di keningnya. “Jangan bicara bodoh. Waktunya makan siang, ayo! Aku sudah memasakkan sesuatu untukmu?”

Perlahan, Kwang membimbing Chamille untuk berdiri. Janin di perut Chamille menendang, kali ini lebih keras. Chamille sampai meringis. “Kau tidak apa?”

Chamille menggeleng. “Dia menendang.”

“Oh,” Kwang merangkul Chamille berjalan ke pondok mereka.  Pasir tersepak, tertiup angin saat mereka berjalan. Desiran ombak membentur pantai dan mendesis saat menarik diri ke laut lepas, meninggalkan buih yang terserap di pasir. Sekali lagi Chamille menoleh pada laut, sebelum akhirnya tubuh mereka memasuki rimbunan pepohonan dan langkah kaki menuntun mereka ke depan pondok.

Kwang mendudukkan Chamille di dekat perapian. Sekali lagi menikmati makan siang yang penuh kesederhanaan. Sesekali Kwang berhenti makan, lalu mengulurkan tangannya, mengelus perut buncit Chamille sambil tersenyum. Janin itu merespon, menendang hingga Kwang bisa merasakan tendangannya dan Chamille meringis.

“Kenapa dia semakin nakal?” ujar Kwang sambil tertawa. Chamille pun menjawab,”Mencari perhatian ayahnya dan… mencari jalan keluar.”

“Oh, ya… mencari jalan keluar,” kini kedua tangan Kwang memegangi perut Chamille. Dia sudah tak berniat makan lagi. Biarlah Chamille yang menghabiskan semuanya. Chamille pun bersiap menaiki tangga pondok setelah makan. “Aku tidur siang sebentar, Kang. Bangunkan aku kalau hari mulai sore.”

Kwang mengangguk. Tangannya sibuk memberesi peralatan makan. Chamille merebahkan diri di tempat tidur rumput, meluruskan tulang punggungnya yang serasa pegal karena duduk lama. Dia ingin menikmati istirahat siangnya, tapi ternyata tidak mungkin. Bayi itu menendang lagi. Chamille terkesiap, perlahan dia menarik bajunya ke atas hingga perutnya yang buncit terekspos, dia bisa melihat gerakan-gerakan di balik kulit perutnya. Chamille mendesis, mengatupkan kedua tangannya menahan sakit lalu gerakan itu menghilang dan Chamille bisa bernafas lega.

Itu tidak lama, satu gerakan lagi, dan Chamille pun meringkuk, menekan perutnya dengan lutut, dia berusaha untuk tidur. Mungkin rasa sakit itu menghilang jika dia tertidur, tapi boro-boro tertidur, rasa sakit yang timbul tenggelam itu benar-benar menyiksa. Chamille bersyukur karena Kwang segera memasuki pondok. Pria itu segera menghampirinya setelah melihatnya meringkuk.

“Kang,” Chamille mengaitkan jemarinya di telapak tangan Kwang. “Sepertinya sudah waktunya.”

“Kau yakin?” Kwang menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Chamille. Chamille mengangguk.”Tolong  ambilkan sari kunyit itu.”

Kwang bergerak ke tempat penyimpanan, lalu menyodorkan cairan kuning kental ke mulut Chamille. Wanita itu menyesap sebentar lalu menghalau batok kelapa itu setelah dirasa cukup. Kwang meletakkan batok kelapa di dekatnya. “Aku akan merebus daun sirih dan serehnya. Kau tak apa ditinggal sendiri dulu?”

Chamille mengangguk lemah. Kwang meninggalkannya sendirian, menikmati masa delivery yang menyiksa. Sesekali dia merubah posisinya, tapi sama saja. Rasa pegal menjalar di sekitar punggungnya, sedangkan mulas melingkari rahimnya. Tubuh Chamille berkeringat. Telapak tangannya menggenggam dan dia pun menangis lirih.

Kwang masuk pondok lagi. Chamille merasa kalau tangisannya pelan tapi ternyata Kwang masih bisa mendengarnya. Pria itu duduk di sampingnya, memijat punggungnya. “Sudah merasa enak?”

“Bagaimana kau tahu?” Chamille bersuara di antara nafasnya yang terengah-engah.

“Ibuku dulu memintaku melakukan ini,” Kwang memeluk Chamille, berbisik di telinganya,”Duduklah, biar aku menyangga punggungmu.”

Chamille mendesah, Kwang menarik tangan Chamille hingga terduduk, lalu duduk di belakang Chamille, mebiarkan wanita itu menyandar di dadanya lalu meliukkan tubuhnya ke belakang.  “Sampai berapa lama … aku… aku… huft… ya, Tuhan.”

“Ibuku dulu semalam suntuk.”

Chamille menggeleng. “Ya, Tuhan! … Lama sekali… Huft!” Kwang meringis saat kuku Chamille mencengkeram lengannya. “Hosh… hosh… hosh… .”

“Maaf,” Saat kontraksi itu tenggelam, Chamille sadar kalau sudah membuat lengan Kwang memar. Kwang menggeleng lalu mencium pipinya. “Kau sendiri yang tahu kapan waktunya mengejan, Sayang.”

Chamille menjilati bibirnya yang kering. Tak terasa peluhnya juga membasahi tubuh Kwang. Dia mencopoti semua bajunya, memilih menikmati rasa sakit itu dengan telanjang bulat. Kwang bisa melihat perut Chamille yang membulat sempurna, payudara wanita itu sudah berubah dari pertama yang dilihat Kwang. Lebih penuh, siap memberikan kehidupan bagi anak mereka. Dan benar juga kata Kwang siksaan itu benar-benar terjadi semalaman. Kwang sama sekali tidak tidur. Chamille kadang menungging, kadang meringkuk atau bahkan menyandar di dada Kwang, sementara pria itu menenangkannya sambil memijat-mijat pundaknya.

Hampir tengah malam saat kontraksi semakin kuat. Chamille bisa merasakan kepala bayi itu semakin mendesak, menuju kebebasannya.  Kwang duduk di bawahnya, menunggu sambil mengelus-elus pahanya. “Semakin sakit?”

Chamille mengangguk. “Kontraksinya semakin sering.”

Kwang mengelus perut Chamille. Hatinya mendesir merasakan gerakan di dalam perut Chamille. Chamille melengguh, sekali lagi meliukkan punggung ke belakang, sementara kedua tangannya menyangga di ranjang.

Chamille sempat panik saat melihat cairan yang tumpah dari bawah tubuhnya. Kwang melihat itu dan berteriak,”Ini saat, Chamille.” Kwang mengambil sehelai kain rajutan, dan menengadahkannya di bawah Chamille lalu bergerak di belakang Chamille. “Mengejanlah jika sudah siap.”

Chamille mengangguk. Gerakan kontraksi itu mempunyai rithme sendiri. Chamille mengejan saat kontraksi datang dan berhenti untuk mengambil nafas saat kontraksi menghilang. “Oh, Ya Tuhan, Kang,” Chamille masih sempat berkata sebelum akhirnya melengguh lalu menjerit sekuatnya seiring dengan gerakannya mendorong. “Arkkkhhhh!”

Chamille mengatur nafas lagi. Kwang bisa merasakan sakit yang di alami Chamille saat tubuh wanita itu serasa kaku di pelukannya. Dan benar juga, sebentar kemudian, Chamille mendorong lagi.

“Oh, Ya Tuhan… Ya Tuhan…,” Chamille menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu sampai kapan bertahan. Aku tidak tahu,” lalu menangis. Kwang mengecup keningnya. Tidak tahu harus mengucapkan apa. Ketika kontraksi itu kembali, Chamille mendorong dengan sisa-sisa tenaga.

Akhirnya kepala bayi itu menonjol, bersamaan dengan keluarnya sedikit air ketuban. “Oh, My God!” Chamille terkejut, begitu juga Kwang.  Chamille mengelus kepala mungil yang menonjol itu dan tangisan itu berubah menjadi keharuan. “Kang… akhirnya… .”

Kwang mencium ubun-ubun Chamille lalu berbisik. “Aku akan menariknya begitu bahunya keluar, kau tidak apa mengejan sendiri?” Chamille mengangguk. Kwang beralih ke bagian bawah Chamille lalu mengelus kepala bayinya yang sudah ditumbuhi rambut lembab. Kwang tersenyum menatap Chamille. Wanita itu membalas senyumnya sejenak sebelum kontraksi itu datang lagi, dan dia meleguh,  meliukan tubun ke belakang dan mendorong sang bayi kuat-kuat.

Tangan Kwang gemetaran saat menyongsong kehadiran bayi itu. Satu dorongan lagi dan kepala si bayi berputar, bersamaan dengan itu, membebaskan tangannya hingga menyembul keluar dan Kwang menariknya saat kedua belah bahu bayi itu terbebaskan. Cairan mengucur deras dari tubuh Chamille bersamaan dengan keluarnya bayi itu.

“Ya, Tuhan. Ya Tuhan!” Chamille bernafas lega. Dia bahkan tertawa saat Kwang menyerahkan sang bayi yang masih merah ke gendongannya. Bayi itu masih kesulitan bernafas karena lendir yang menutupi lubang hidungnya. Chamille menyedot lendir dari hidung bayi dengan mulutnya. Merasakan lingkungan asing, bayi itu menangis keras.

“Dia menangis sekarang,” Chamille mendekap bayi itu erat-erat. Kwang mengusap-ngusap tubuh sang bayi dengan kain basah.

“Oh, Ya Tuhan…,” sekali lagi Chamille mendesah. “Rasa sakit yang panjang dan hasilnya tidak mengecewakan, Kang. Lihatlah!” Chamille menunjuk bayinya yang mulai menyusu. Kwang tersenyum simpul. “Oh, Kang. Aku mohon katakan sesuatu.”

Kwang memang tidak tahu harus mengucapkan apa. Semua ini benar-benar keajaiban karenanya dia hanya terpaku, menatap sang bayi sambil mengelus-elus keningnya. Chamille mengejan lagi. Kali ini ari-ari sang bayi keluar, berakhir sudah tugasnya menemani sang bayi di dalam kandungan.

“Placentanya sudah keluar,” ujar Kwang. Chamille mengangguk. “Urus aku, Kang. Sementara aku mengurus bayinya.”

Kwang menyanggupi, seperti yang mereka rencanakan sebelumnya. Kwang menyeka Chamille, sedangkan Chamille memberikan kehangatan pada bayi itu dengan dekapannya. Kwang terheran dengan daya tahan tubuh Chamille dan sang bayi. Chamille sendiri yang memotong tali pusat bayi mereka. terlebih dahulu, dia menyiramkan air daun sirih ke tali pusat, lalu mengikatnya dengan benang sampai rapat dan kemudian memotong bagian luar dari ikatan itu dengan bambu tajam yang sudah direbus dengan air daun sirih semalaman. Terakhir kali, dia menyiramkan air daun sirih dan sereh lalu menngeringkannya dan mengolesi dengan madu pada ujung ikatannya.

Kini Chamille terbaring. Sudah dalam keadaan bersih dan si bayi terlelap di sampingnya. Kwang meninggalkan keduanya untuk mencuci placenta di pantai lalu menguburkan benda itu di samping kiri pondok mereka. Sudah hampir subuh saat dia melakukan itu. Dia lalu naik ke pondok, menatap Chamille dan bayinya yang sama-sama terlelap setelah pergulatan panjang mereka.

Di saat itulah air mata Kwang menetes, mengkawatirkan masa depan mereka, terutama sang bayi. Apa jadinya jika mereka tidak juga ditemukan? demi Tuhan, akan seperti apakah sang bayi kelak dalan didikan pulau primitif ini? Kwang masih terus mengamati mereka berdua, bahkan sedikit melamun. Hingga sang bayi bergerak dan membuka mata. Kwang bisa melihat bahwa pandangan pertama bayi itu terarah padanya. Pandangan mata yang begitu jernih, penuh penyerahan jiwa kepadanya. Kwang mengangkat bayi itu dalam gendongannya. Bayi itu tidak menjerit, malahan seolah menikmati sentuhan Kwang. Pria ini sama sekali belum tahu jenis kelamin bayinya. Dia terlalu gugup hingga langsung meberikannya pada Chamille sesaat setelah bayi itu lahir. Kwang menyingkap kain penutup bayi itu. bayi itu… laki-laki. Hati Kwang mencelos, dia tersenyum bahagia, ditatapnya wajah sang bayi dengan aura berbeda. Perlahan, dia menunduk, mengecup dahi bayi itu. Sekali lagi, dengan benar-benar khusuk, Kwang berdoa, agar mereka segera ditemukan.

 

—oOo—

Udara di laut lepas semakin lembab siang ini. Jengah terasa di antara kelima awak yang berada di atas kapal motor Bouwens 117. Mereka adalah tim pencari terakhir yang bertahan dalam ekspedisi ini. Bahkan anggota mereka sudah terlepas satu persatu, mulai dari sepuluh orang dan akhirnya tinggal lima orang, termasuk sang Kapten, Han Jin He. Sudah hampir setahun mereka menyisir satu persatu pulau demi mencari Chamille d’Varney, diiringi kepesimisan yang tinggi kalau tidak karena ambisi gila Brian Rothman atau sifat melankolis Charlie d’ Varney.

Mereka hanya diberi waktu istirahat satu hari dalam satu bulan, selanjutnya melakukan pencarian lagi di laut lepas, singgah dari pulau demi pulau kecil yang tersebar di penjuru negeri yang asing, dari yang berpenghuni mau pun yang tidak berpenghuni.

Dan udara lembab itu berubah saat awan mulai menggantung. Mereka bersiap-siap menyambut hujan di tengah laut. Yun So, salah satu awak kapal, sekaligus sahabat baik Han Jin He menghampiri Jin He di ruang kemudi. Jin He sedang mempelajari situasi laut tempatnya berada. Yun So duduk asal di kursi di depan Jin He. “Aku tidak tahu sampai kapan pencarian ini,” keluhnya.

Jin He menoleh sesaat, namun menekuri lagi atlas di mejanya untuk memberikan beberapa tanda di atasnya. “Kau sudah menanyakan itu dari awal ekspedisi dan kau juga sudah tahu jawabannya, sampai Chamille d’ Varney ditemukan.”

Yun So mengubah posisi duduknya menjadi bungkuk dengan menopangkan kedua siku lengan pada lututnya. “Kalau dia tidak ditemukan, kita membusuk selamanya di sini.”

Jin He mendengus,”Siapa yang setahun lalu menyuruhmu ikut? Kau sendiri yang mau. Untuk menghindari rentenir yang menagih hutangmu, bukan?”

Yun So terkekeh. “Setidaknya bayaran dari Bouwens Inc dan d’Varney cukup untuk membayar hutangku kalau aku kembali ke Seoul. Tapi untuk saat ini, boro-boro kembali ke Seoul.” Lalu pria ini mendekati meja Jin He, merenggut mug kopi Jin He lalu menenggak isinya.  Hujan di luar sudah mulai turun. “Ayolah, kenapa kita tidak akhiri saja ekspedisi ini. Kita kembali ke Seoul seperti yang lainnya. Bilang kalau kita sudah mencari ke mana pun dan memang gadis itu sudah mati dimakan ikan.”

Jin He merebut cangkir mug-nya dari tangan Yun So. “Dan menghancurkan reputasi yang sudah kubangun bertahun-tahun? Tidak akan!”

Jin He terkenal sebagai orang yang menepati janji. Janjinya pada keluarga Chamille hanya satu, dia akan menemukan gadis itu apa pun yang terjadi dan dia tidak akan berhenti sampai bisa memenuhi janjinya.

“Dan berapa orang yang harus menyertaimu dalam memegang reputasi itu?” tantang Yun So. Jin He jadi semakin jengah. “Kalau kau memang mau pulang, sebaiknya di pelayaran berikutnya setelah masa istirahat, kau tidak usah ikut!”

Yun So tertawa-tawa menikmati kemarahan Jin He. Pada saat itu mereka dikejutkan oleh teriakan Bill Hoftman, awak mereka yang berasal dari Australia. “Island! Island!”

Yun So langsung keluar menuju deks. Jin He menekuri atlasnya lagi. “Tidak mungkin! Di peta ini sama sekali tidak ada pulau!”  Jin He menyahut mantolnya lalu  berlari ke deks, bergabung dengan rekannya yang lain.

Bill mengamati pulau yang masih sangat jauh itu tanpa teropong. Hujan semakin deras. Pandangan mata mereka mengabur. Yun  So yang tadi merebut teropong dari tangan Bill masih asyik melihat pulau itu dengan mulut menganga tak percaya. Jin He yang pandangan matanya terbatasi oleh air hujan merebut teropong itu dari Yun So dan mengarahkannya pada pulau yang kecil itu, terpencil, menyendiri di tengah perairan yang luas.

“Apakah mungkin gadis itu di pulau?” Suara Yun So harus bersaing dengan derasnya air hujan. Jin He menggeleng. “Kita tidak tahu! Kemungkinan itu sangat kecil! Tapi apa pun harus kita coba!” Jawab Jin He keras-keras.

Ya, kemungkinan sangat kecil tapi mereka harus mencobanya. Janji adalah janji. Pulau itu sudah di depan mata. Chamille d’Varney kemungkinan berada di pulau itu. Masih di antara derasnya hujan, mereka mulai mempersiapkan pendaratan.

 

BERSAMBUNG

THE SECRET II (Temptation of Island — Part 10)

THE SECRET

(Temptation of Island)

Part 10

Tingkah aneh Charlie di meja makan cukup membuat Anthoine curiga. Pria ini bisa merasakan kalau wanita itu bukanlah istrinya. Charlie tidak pernah meninggalkan meja makan sebelum memastikan bahwa semua orang sudah dilayani dengan baik, sebaliknya, wanita di sebelahnya itu terkesan cuek. Anehnya, Charlie akan cepat menyahut jika Ibunya membicarakan bisnis keluarga, alis Anthoine semakin menaik. Bahkan Charlie tidak menanyakan absennya Nathan pada makan malam ini. Anthoine memancing dengan menanyakan keberadaan Nathan, wanita itu hanya angkat bahu. Sekali lagi tingkah yang membuat kening Antoine semakin melipat. Biasanya Charlie langsung sibuk menelphon Nathan dan anak itu terdegar risih di telephon, merasa masih dianggap anak kecil.

Anthoine bahkan masih mengamati Charlie ketika istrinya itu tertidur. Lelah menduga-duga, pria ini menyalakan televise. Hal yang dia tangkap adalah berita tentang gempa di Sumatera. Gempa berkekuatan sembilan skala Richter yang berpotensi sunami. Anthoine berjengkit dari tempat duduknya, membuka gulungan atlas dunia yang selama ini digunakan Charlie jika mengomandoi pencarian Chamille. Dia baru bisa bernafas lega saat mengetahui kenyataan jarak antara perkiraan Chamille berada dengan Sumatera cukup jauh.

Mungkin Anthoine terlalu berisik saat membuka peta, Charlie terbangun. Hati-hati wanita itu menyandar di kepala ranjang, mengangkat beban dalam rahim untuk bangkit. “Ada apa?”

Anthoine menoleh pada Charlie. Mata Charlie masih sayup-sayup antara bangun dan mimpi. “Hanya mengamati jarak antara Sumatera dan Bali,” jawab Anthoine.

Charlie menguap. Setiap jam dia berhasrat untuk buang air kecil karena kehamilannya dan sekarang dia merasakannya lagi. Perlahan dia bangkit, menuju kamar mandi. Anthoine mengikutinya, secepat mungkin dia menutup pintu kamar mandi sebelum Anthoine masuk.

“Sejak kapan kau mengunci kamar mandi?” suara Anthoine terdengar dari balik pintu. Charlie mendengus. Setelah memenuhi panggilan alam, dia keluar dari kamar mandi, menyongsong pandangan mata Anthoine yang menyipit, penuh selidik.

“Ada yang salah di sini?” pertanyaan Charlie membuat Anthoine berbalik, mencari sesuatu di laci dekat televise sementara Charlie duduk di pinggir ranjang.

Setelah menemukan yang dicarinya, Anthoine mengulurkannya pada Charlie. “Bisa kau bantu aku mengkoreksi ini?” ujarnya. Charlie menatap ragu benda yang berada tepat di matanya, sebuah berkas. Agak ragu dia menarik berkas itu dari tangan Anthoine tapi akhirnya dibacanya juga. “Jadi ada yang menawarimu saham ini?” tanya Charlie.

“Berapa tahun kira-kira kau akan melakukan investasi?” Kenapa tiba-tiba Charlie menjadi pialang saham yang ulung? Anthoine menjawab asal,”Enam tahu.” Padahal dia sudah tidak berminat dengan saham itu, penasehat keuangan sudah mendeklair bahwa keuntungannya tipis sekali.

“Kau yakin? Karena jika di sini kau membeli saham itu dengan nilai empat puluh lima  dolar perlembar, dengan tingkat pembayaran dividen dari saham tersebut yang diproyeksi akan tumbuh konstan sebesar empat persen per tahun dan return yang diminta dari saham ini adalah dua belas persen. Maka nilai saham ini untuk enam tahun yang akan datang hanya sekitar…,” Charlie sedikit berpikir, ”enam puluh dolar perlembar, tentu saja kau harus membandingkan perolehan ini dengan nilai mata uang sekarang.”

Anthoine hanya bisa menganga. Merasa diatas angin, Charlie menambahkan, “Jangan kawatir, kau bisa menjualnya jika harga lebih tinggi dari perkiraan. Pialang sahammu harus aktif mengontrol pergerakannya.”

Dan saat itulah Antoine bertepuk tangan lambat. “Hebat! Selamat datang, Charlie Bouwens!”

Berkas itu terlepas dari tangannya, jatuh melayang di atas karpet. Charlie mendongak, menatap Anthoine dengan rona tak gentar.

“Katakan aku tidak salah orang,” sambung Anthoine. “Karena Charlie, istriku tidak tahu sama sekali tentang perhitungan deviden apalagi risk and return.”

“Kau mengujiku, dokter,” Charlie berkata ketus. “Kau kira siapa yang membantumu ketika pertama kali menginjakkan kaki di bisnis keluarga D’Varney? Hah! Aku masih ingat saat itu, dewan direksi bahkan menyangsikan kemampuanmu. Bayangkan! Seorang yang selama ini malang melintang di dunia medis, tiba-tiba mengurus bisnis hanya karena kehilangan hak praktek.”

“Jadi kau sudah muncul selama ini?” Kenyataan itu sungguh mengejutkan Anthoine. Selama ini Anthoine menunggu kemunculan Charlie Bouwens, tak disangka kalau ‘Charlie’ berkali-kali muncul bahkan menyamar menjadi istrinya. Berarti benar, pribadi asli terkadang tidak menyadari keberadaan pribadi lain, tapi pribadi lain menyadari keberadaan pribadi asli.

“Ya, Dokter. Aku membantumu ketika Doley Inc menipumu. Aku membantumu ketika perusahaanmu kolaps. Aku selalu ada, tapi aku cukup bisa bersembunyi agar kau tidak curiga. Kau pikir bagaimana aku bisa begitu yakin untuk menyuruhmu mengambil saham yang ditawarkan Bouwens Inc jika aku tidak menghitungnya terlebih dahulu?”

Dan Anthoine pun melorot kebawah. Lunglai menghadapi kenyataan yang sungguh menyedihkan. Wanita itu adalah Ibu dari anak-anaknya, dan sedang mengandung anaknya yang ketiga. Dalam kegamangan, Anthoine bertanya, bahkan suaranya nyaris tak terdengar, “Charlie, kau sadar dengan keadaanmu?”

Charlie menatap Antoine yang kini terduduk di lantai, meratapi entah apa. Sambil mengelus perutnya dia menjawab, “Bahwa aku mengandung anakmu?”

Anthoine harus menahan air matanya. Dia tidak boleh terlihat lemah. “Apakah… waktu kita…,” Anthoine tidak tahu bagaimana menyusun kata yang tepat.

“Waktu kalian bercinta?” tebak Charlie. Antoine menunduk lesu. “Tidak, Dokter. Kau bercinta dengan istrimu.”

Anthoine mendongak. Perlahan dia berdiri, duduk di samping Charlie dan memeluknya. Charlie sedikit menarik tubuhnya ke belakang, menghindari pelukan itu, namun kungkungan tubuh Anthoine sudah menguncinya. Anthoine bisa merasakan tubuh Charlie yang kaku di pelukannya. “Siapa sebenarnya pribadi aslimu?” Anthoine bertanya parau.

“Kau akan terkejut, dokter. Dia adalah orang yang selama ini ingin kita lupakan, si bodoh, Charlotte Whitely.”

Pipi Anthoine serasa ditampar. Pagi-pagi benar, Anthoine membuat janji temu dengan Stacy di kantornya, memberikan kabar perihal Charlie secara uring-uringan. “She appeared!”

“Who?” Stacy masih terkejut karena kehadiran Anthoine pagi-pagi. Dia harus menunda visite paginya karena lelaki itu dan sekarang dikejutkan oleh tingkahnya.

“Charlie Bouwens.” Anthoine menyeka dahinya frustasi. “Oh, my God! She appeared so far and I was not aware of it.”

Alis Stacy menaik.”She realizes the situation and posing as your wife. Charlie Bouwens is the most intelligent character between them. Does she know about Charlotte?”

“Yes, She knows all,” Anthoine menumpukan kedua kepalan tangan di meja Stacy. “She said that Charlotte is her original personality.”

“That’s reallity, isn’t it?”

Anthoine terduduk lemah di kursi. Meja kerja Stacy memisahkan mereka. Anthoine mengusap-usap wajahnya, lalu mengelap keringat yang keluar di dahi dengan punggung tangan.

“Anthoine,” panggil Stacy kemudian. “She should have realized who she was for a long time.”

“She told me not to say it,” kata Anthoine menerawang. Stacy menghela nafas, menyandar pada punggung kursi kerja dan berusaha untuk relaks. “Charlie Bouwens hasn’t appear when she hypnotized.”

Anthoine menyeringai tipis, “Confronted her with the stock exchange index or anything about the business.”

Stacy menghembuskan nafas yang menandakan perasaan jengah. “If she begins to remember who she was?”

“She’s still my wife,” jawab Anthoine yakin. Kemudian lelaki ini menunjuk pada Stacy dan berkata lantang,” Don’t integrate them before she gives birth.”

“Of course, Anthoine. I’m not stupid. After all, the tests are still very long. This process does not run easily, because after the unification of these individuals will usually be felt again the things experienced by other personalities, such as the experience of being hurt, abused, and also attempted suicide.” Anthoine menggerakkan mata gusar saat Stacy mengucapkan hal itu.

“Charlie will suffer greatly, and it’s not good for pregnancy,” bisik Anthoine.

Jadinya selama beberapa bulan, terus dilakukan hipnotis pada diri Charlie. Semakin lama Charlie semakin pasrah. Terkadang dia menaruh curiga pada Stacy, menganggap pengobatan yang Stacy lakukan padanya tidak pada tempatnya. Tapi karena Stacy bekerja sama dengan dokter Rae, dan Charlie percaya pada dokter Rae, hal itulah yang membuat Charlie pasrah. Pada saat terhipnosis dan Charlie masuk ke dalam kondisi ambang, Stacy  dapat memanggil/ bertemu dengan kepribadian-kepribadian lainnya. Stacy akan berusaha untuk membangun hubungan yang baik dan efektif dengan setiap kepribadian dan berusaha untuk menjadi sosok yang dapat dipercaya dan memberikan perlindungan. Setelah mengetahui, memahami, dan memiliki hubungan yang baik dengan setiap kepribadian, proses selanjutnya adalah membuat kepribadian aslinya untuk bisa menerima dan membuka diri kepada kepribadian lainnya. Prosesnya berlangsung dengan menghipnosis individu untuk bisa menerima dan bersatu kembali dengan kepribadian lainnya. Proses ini tidak berjalan dengan mudah, karena setelah penyatuan tersebut individu biasanya akan merasakan kembali hal-hal yang dialami kepribadian lainnya, seperti pengalaman disakiti, dilecehkan, dan juga percobaan bunuh diri. Dan karena itulah Anthoine meminta penundaan pengintegrasian  setelah Charlie melahirkan.

Suatu proses yang rumit. Bukan hanya Anthoine dan Stacy yang lelah, Anthoine yakin kalau Charlie juga lelah. Untungnya kelelahan itu tidak mengganggu kesehatan janinnya. Bayi itu sehat, terkadang menyakiti Charlie dengan tendangan di dinding rahim, seakan tidak sabar melihat dunia. Di saat itulah Charlie selalu tertawa bahagia, dan Anthoine menikmati tawanya, terkadang ikut bergabung, menikmati tendangan itu ketika meletakkan tangan di atas perut Charlie.

“Dia bayi perempuan yang sehat,” ujar Anthoine. Charlie mengangguk. “Sehat dan besar.”

Anthoine menatap wajah Charlie. Wanita itu membalas tatapannya, Anthoine harus mengenyahkan kekawatiran dari matanya saat merangkul Charlie. “Kau yakin masih kuat mendorongnya keluar?”

Charlie menggeleng,”Aku tidak yakin. Kakinya terlihat panjang.”

Anthoine mencium kening Charlie. Menenangkan istrinya dengan kata-kata lembut. “Kau bisa melahirkan secara Caesar, Sayang. Kemodernan dunia medis bisa membantu kita.”

Charlie mengangguk. Dengan senyuman, dia merebahkan kepalanya di dada Anthoine.

Dan memang benar apa yang dikatakan Anthoine. Dokter Rae pun menyarankan hal yang sama. Dia tidak bisa menanggung resiko akan keadaan Charlie. Saat Anthoine dan Charlie memeriksakan kandungan Charlie di minggu ke tiga puluh enam, dokter Rae berkata dengan jelas,”Kau akan melahirkan secara caessar Charlie. Aku perkirakan nafasmu tidak kuat untuk mengejan, lihat saja, untuk berjalan dari ruang USG ke sini saja kau sudah ngos-ngosan begitu.”

Charlie tertawa, dalam keadaan seperti ini, bahkan wanita ini masih bisa tertawa,”Iya, dokter Rae. Anthoine sudah mengatakannya padaku.”

Anthoine menyentuh lengan Charlie. Charlie meremas tangan Anthoine yang menempel di lengannya.

“Jangan menunggu sampai merasa mulas. Aku akan mengeluarkannya sebelum hari H, jadi kau tidak merasakan sakit double, sakit karena pembedahan dan sakit karena kontraksi.”

“Bisakah seperti itu?”

“Tentu saja bisa, Sayang,” Anthoine yang menjawab keraguan istrinya.

“Jadi aku bisa bertemu dengannya lebih cepat?”

“Tentu saja,” Dokter Rae mengangguk.

“Bagaimana kalau minggu depan?” Charlie sungguh tidak sabar melihat bayinya lahir.

Anthoine menoleh padanya, dokter Rae malah menyetujui, “Bisa,  aku perkirakan berat badannya juga sudah mencukupi.” Lalu dokter Rae menoleh pada Anthoine, “Bagaimana, Anthoine? Kau setuju?”

“Terserah saja. Kau yang dokter.”

Charlie bertepuk tangan sejenak lalu memeluk Anthoine dengan kebahagiaan yang membuncah.

Dalam seminggu Charlie semakin sibuk mempersiapkan kelahiran bayinya. Perhatian Anthoine sejenak teralihkan karena bayi itu. Nathan selalu tersenyum menantikan kebahagiaan di rumah itu. Bayi yang akan lahir itu bagaikan peri penyelamat pernikahan mereka. Nathan mengagumi pribadi sang Ayah yang sangat mencintai Ibunya, dalam hati dia juga ingin menemukan cinta tanpa pamrih seperti Anthoine. Tapi untuk saat ini, Nathan masih terlalu sibuk dengan kuliahnya. Lagi pula, Nathan tidak menyukai  cewek kulit putih. Sejak remaja, pria ini menunjukkan ketertarikannya pada cewek Asia. Rupanya selera sang Ayah mengalir dalam darahnya. Namun kapan pria ini menemukan yang benar-benar pas, hanya tinggal menunggu waktu.

Seperti halnya Anthoine dan Charlie yang menunggu waktu operasi di kamar Charlie di rumah sakit. Pada akhirnya seminggu terasa begitu cepat dan akhirnya di sinilah mereka. Di kamar rumah sakit, Charlie sudah siap dengan baju pasien. Anthoine menggenggam tangannya, membisikkan kata-kata menguatkan dan dia tersenyum. Nathan juga demikian di sisinya yang lain.

“Good luck, Mom. She will be beautifull baby. I am sure about it,” ucap Nathan dengan mata yang ramah.

Sekali lagi Charlie tersenyum. “Will you love her like you love Chamille?” Dan Charlie pun menangis mengingat Chamille. “Oh, Chamille. Andaikan kau di sini, Nak.”

Anthoine mendesis, mengingatkan agar Charlie tidak bersedih. “Kau tahu, Sayang. Di mana pun Chamille berada, dia pasti mendoakanmu.” Lalu Anthoine mengelus perut Charlie. “Anak ini akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Chamille.”

“Oh, Jangan berkata begitu, Sayang. Chamille belum meninggal. Tidak ada kekosongan di sini,” sambar Charlie agak emosi.

“Wow, Mom was sad and angry right now?” goda Nathan.

“Hm, just like this, Nathan. The changes of her emotions absolutely out of control,” Nathan meneguk ludah kering saat Anthoine mengucapkan hal itu. Kondisi kejiwaan Ibunya memang tak terkontrol. Entah kenapa Charlie masih bisa bercanda, “But you’re still crazy about me.”

Nathan menjadi lega. Anthoine memeluk Charlie sambil tertawa,”Of course, Ma Femme. You are the one.”

Pada saat itulah para perawat mulai memasuki ruangan, bersiap-siap memindahkan Charlie ke kamar operasi. Mereka bertiga menoleh pada para perawat itu. “Inikah waktunya?”tanya Charlie.

Anthoine mengulangi apa yang dikatakan Charlie dalam bahasa Inggris, “Is it the time?”

“Yes, doctor,” salah satu dari perawat itu masih saja memanggilnya dokter.

“Good luck, mom!” sekali lagi Nathan menyemangati Ibunya saat perawat-perawat itu mendorong tempat tidur Charlie menuju kamar operasi. Charlie menjawab dengan senyuman.  Anthoine berjalan di samping tempat tidur itu, masih menggenggam tangan Charlie.

Kenyataan kalau Anthoine tetap mendampinginya di dalam kamar operasi, membuat perasaan Charlie sedikit tenang. Sungguh ajaib dunia medis modern. Charlie masih bisa mendengarkan bisikan demi bisikan Anthoine, masih bisa menatap mata coklat kemerahan pria itu yang terkadang sok tenang  namun menyimpan kekawatiran yang sangat. Rupanya dokter Rae hanya melakukan bius lokal di operasi ini. Kain menutupi pandangan Charlie terhadap apa yang dilakukan dokter itu pada perutnya tapi Charlie yakin, Rae pasti melakukan irisan melintang di bawah pusarnya, mungkin saat ini sedang memasukkan jemarinya ke dalam rahimnya, seperti yang pernah Charlie lihat di video medical edukasi koleksi Anthoine.

“Oke! Here She is!” teriak dokter Rae sambil mengangkat bayi itu. Rae memegang kakinya, dan sang bayi menangis dengan posisi kepala di bawah seperti itu.

“Oh, Tuhan!” Charlie hampir menjerit. Bayi itu terlihat sangat merah dan Rae meletakkannya di atas dada Charlie. Tali pusat bayi itu masih menghubungkannya dengan placenta. “Oh, ya, Tuhan.”Charlie mengelus lembut dan mengecup hati-hati kepalanya. Lalu memandang Anthoine. “Demi Tuhan, Anthoine.”

Anthoine menitikkan air mata. Lelaki itu mengangguk-angguk seolah mengerti apa yang dirasakan istrinya. “Iya, Sayang. Iya.” Rae sudah kembali ke kulit rahim Charlie yang terbuka, melakukan proses selanjutnya.

“Oh, Sayang. Ini Ibu, Sayang. Jangan menangis.” Charlie bahkan membantu perawat yang mengelap tubuh bayi itu dengan handuk lembut, sementara bayi itu mulai mencari puting susu Charlie. Rupanya penciuman makhluk mungil tersebut sangat peka dengan aroma colustrum yang muncul di tubuh Charlie. Tanggap akan hal itu, Charlie menyingkap kancing di dadanya, hingga bayinya menemukan putingnya, dan mulai menyesap. Mata Charlie berkaca-kaca merasakan gerakan mulut bayi itu di kulit payudaranya. Bayi itu mulai tenang saat perawat menyedot cairan hidungnya dan meneteskan obat ke matanya.

“Kau tidak apa-apa, Charlie?” tanya Rae di balik kain pembatas, masih sibuk dengan tubuh bagian bawah Charlie.

“Oh, tentu saja, Rae. Lakukan saja tugasmu.”

Anthoine tertawa. “Dia baik-baik saja, Rae. Cuma terharu, memandang bayinya yang menyusu.” Anthoine mencium belakang kepala bayi itu yang masih lunak, lalu mencium bibir Ibunya lama, intim dan kasar. Para perawat yang notabene bergaya hidup western tidak memperdulikan masalah itu. Lagian kejadian itu sering mereka lihat pada pasangan setelah kelahiran anak mereka.

“Ini keajaiban, Anthoine. Oh, lihatlah, Sayang. Bayi ini berat sekali.” Charlie menarik selimut sampai ke atas kepala sang bayi.

Antoine terkekeh.”Kita akan tahu beratnya setelah ditimbang nanti. Tapi aku yakin tiga koma tujuh kilogram.”

Charlie menggeleng,”Ehm, tidak, Sayang. Dia pasti lebih dari empat kilogram. Mantap sekali beratnya di dadaku.” Lalu dia menunduk, menatap bayi itu yang masih menyesap ASInya. Suara desahan terkadang keluar dari bayi itu, menambah nuansa gemas di hati sang Ibu. “Hai, gadis montok,” Charlie mencubit lembut pipinya.”Siapa namamu, Sayang?”

“Sabrina,” kata Anthoine. Charlie mengalihkan pandangan padanya. “Dia bernama Sabrina,” tekan Anthoine.

“Nama nenekmu?”

Anthoine mengangguk. “Sabrina Anne d’Varney. Kau suka?”

“Kelihatannya cantik. Oke…,” dan Charlie menoleh lagi pada bayinya, kali ini agak menepuk-nepuk pantatnya.”Hai, Sabrina… . Selamat datang, Sayang… .”

Anthoine memandang puas pada istri dan anaknya. Sementara Rae melakukan tugasnya dengan senyuman. Satu masalah Charlie sudah teratasi. Sabrina telah lahir dengan selamat. Tinggal masalah kepribadian ganda Charlie. Namun saat ini, baik Anthoine, Rae mau pun Stacy, tidak ingin hal itu menjadi penghalang untuk membahagiakan Charlie atas kelahiran Sabrina. Mereka bersyukur atas itu dan itu cukup untuk hari ini.

Operasi berhasil. Lampu ruang bedah dimatikan. Charlie kembali ke kamarnya. Nathan menyambut mereka. Wajah Charlie menunjukkan kepuasan. Lebih cantik dari sebelum melahirkan. Anthoine membantu perawat memindahkan tubuh Charlie di ranjang dan Nathan menggantung botol infuse Charlie pada tempatnya.

“Everything was oke, mom?” tanya Nathan sambil merapikan selimut Charlie.

“He eh,” Charlie menganguk. Nathan menoleh pada Anthoine. “Congratulation, Dad.”

“She’s so cute,” Anthoine tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

Nathan melihat arlojinya. “Oke, I think you need private time. I will see the cute baby and go to college.”

“Sabrina,” kata Anthoine saat Nathan mulai bergegas menuju pintu. Nathan berhenti dan memandang aneh. “The baby’s name is Sabrina,” Anthoine menjawab kebingungan Nathan.

“Wow, your grandma’s name! Beautifull name.”

Anthoine dan Charlie tersenyum. Nathan memberikan pelukan pada Charlie sejenak lalu keluar ruangan. Setelah itu hanya ada mereka berdua, Anthoine mengelus dahi Charlie. “Kau baik-baik saja, Sayang.”

Charlie mengangguk. “Kapan aku bertemu Sabrina lagi?”

“Dia terlalu berat untuk bayi yang dilahirkan di minggu ke tiga puluh tujuh, jadi harus menjalani perawatan khusus.”

“Apakah perawatan itu menyakitinya?” Charlie langsung kawatir. Anthoine menggeleng.”Tidak. Justru semakin memperkuat ketahanan tubuhnya.”

Charlie menghela nafas penuh syukur. “Dia sehat, Anthoine. Dia bahkan menghisap ASI dengan kuat. Aku bisa merasakannya. Oh, Anthoine, aku mohon. Aku sangat merindukannya. Tempatnya di sini, di dekatku. Dia pasti menangis kalau kelaparan. Kasihan, dia.”

Anthoine tersenyum tabah. Charlie merengek, wanita itu benar-benar istrinya. “Perawat akan membawanya ke sini jika waktunya menyusui.”

Charlie mendengus. “Oh, aku sebal dengan peraturan itu! Kenapa harus memisahkan bayi yang baru lahir dengan Ibunya?” Charlie melipat tangannya di dada. Anthoine terkekeh dan menyentuhkan keningnya di kening Charlie. “Hanya dipisahkan malam ini, Sayang. Aku janji.”

“Benarkah?”

Anthoine mengangguk di kening Charlie. “Ini waktunya kau istirahat. Kau pasti sangat capek.”

“Tidak sama sekali,” Charlie menggeleng. “Kebahagiaan ini menghilangkan semua rasa capek. Jika Sabrina di sini, aku akan merawatnya sendiri.”

“Dan kau tidak mengijinkanku menyentuhnya?” Anthoine mencolek hidung Charlie. Wanita itu tertawa-tawa. “Kau masih saja melakukan itu, mencolek hidungku seperti anak kecil. Dan ya, aku tidak akan mengijinkanmu menyentuh Sabrina.”

“Itu karena aku menyukai hidung mungilmu. Kau jahat sekali, aku juga ikut andil akan kelahiran bayi cantik itu. Andil satu sel sperma, mungkin.”

Charlie langsung tergelak. Ya, Anthoine menyumbangkan satu sel sperma dan Charlie satu sel telur. Ada-ada saja, pikir Charlie dalam hati.

“Bayi itu adalah buah karya kita,” Charlie menambahkan. Anthoine mengangguk. “Tapi lebih mirip denganmu. Akhirnya aku mempunyai putri yang mirip denganmu.”

Charlie menepuk-nepuk punggung tangan Anthoine.”Dia masih bayi. Wajahnya bisa saja berubah.”

Anthoine menggeleng. “Tidak, aku yakin dia mirip denganmu. Nathan adalah perpaduan kita berdua, Chamille adalah wujud perempuan dariku dan Sabrina adalah dirimu. Aku yakin itu.”

Anthoine berbaring di sisi Charlie, memeluk istrinya.

“Oh, Anthoine. Aku sangat mencintaimu. Terima kasih telah mencintaiku, Sayang.” Charlie mendesah dalam dekapan Anthoine.

“Tidurlah,” Anthoine menyapukan tangannya di wajah Charlie, menutup matanya. Charlie sedikit terkekeh lalu  mencoba tidur.

Setelah bangun keesokan harinya, efek anaestesi di sekitar perutnya sudah hilang. Charlie merasakan sakit yang menyebar dan mendesis-desis. “Oh, Anthoine,” Wanita itu mencengkeram kuat lengan Anthoine. Sepertinya dia tidak memperdulikan Anthoine yang juga ikut-ikutan meringis kesakitan.

“Ini lebih buruk dari pada melahirkan normal. Rasa sakitnya otomatis hilang kalau normal,” rengeknya.

“Tenang, Sayang. Tenanglah.”

Charlie menghela nafas. Berusaha menyesuaikan diri dengan rasa sakit itu bahkan menikmatinya. “Aku akan mati kalau Sabrina tidak segera di bawa ke sini.”

Tepat  saat itulah pintu kamar terbuka. Perawat masuk sambil menggendong Sabrina. “Time to breast, Madam.” Namun perawat itu terkejut melihat Charlie yang merintih. “What happened?”

“Nothing,” jawab Charlie, masih menahan sakit. “Just take her here!”

“But.. .”

Anthoine memerintahkan perawat itu untuk menyerahkan Sabrina pada Charlie. “Give her. It will decrease the suffer.”

Perawat itu mengangguk lalu meletakkan Sabrina secara hati-hati di gendongan Charlie. Dengan pandangan penuh kasih, Charlie menerima bayinya. Dia tidak memperdulikan rasa sakit lagi saat melihat wajah tanpa dosa Sabrina. Bayi itu memandang padanya, mulut mungilnya bergerak-gerak, meminta  makanan yang hanya dikhususkan untuknya, ASI Charlie. “Hallo, Sayang. Ini Ibu,” Charlie membuka kancing lalu menyodorkan dadanya ke mulut Sabrina. Gerakan mulut Sabrina di dadanya membuat rasa nyeri di rahim Charlie berangsur-angsur menghilang.

“See,” Anthoine meyakinkan perawat itu kalau perkiraannya benar. Kehadiran Sabrina membuat Charlie tenang.

“I will bring her box here,” kata perawat itu. Anthoine mengangguk. Perawat itu keluar dan Anthoine menikmati suasana intim bersama Charlie dan Sabrina yang menyusu pada Charlie.

“Dia tidak akan terpisah lagi darimu, Sayang.”

Charlie menitikkan air mata memandangi wajah bayinya. “Sabrina…, kau anak hebat, Sayang. Ibu akan melakukan apa saja untukmu. Apa saja.” Dia tertawa lalu menatap Anthoine. “Sumbangkan sesuatu pada fakir miskin, Anthoine. Tuhan telah penuh kasih memberikan Sabrina pada kita. Gantian kita yang harus mengasihi orang-orang yang lebih tidak beruntung dari kita.”

“Iya, Sayang. Tentu.” Anthoine mengecup kening Charlie.

“Hai, Sayang… . Minummu kuat sekali, ya… Lapar sekali, ya?”

Charlie masih menggoda bayinya. Nafas Sabrina mendengus-dengus seiring gerakan mulutnya menyesap ASI, terkadang mengeluarkan suara rengekan yang membuat Charlie tersenyum. Dielusnya dahi Sabrina, dikecupnya Sabrina bahkan memberikan cubitan lembut di pipinya yang montok. Anthoine menikmati suasana itu, penuh rasa kebahagiaan memenuhi dada dan begitu yakin, bahwa Sabrina akan menguatkan Charlie di saat pengintegrasian itu tiba.

 

—oOo—

“Ibu,” Chamille membuka matanya. Mimpi yang aneh. Kwang terbangun mendengar desahannya, menumpukan tubuh di lengan kiri untuk mengamati Chamille. Masih dini hari, udara semakin dingin.

“Kau bermimpi, Sayang.”

Chamille mengangguk. Dia merasakan tenggorokannya yang kering, mulutnya bergerak-gerak, menjilati bibir bawahnya. Kwang mengambil air di sisi kanannya dan mengangsurkannya ke mulut Chamille. “Hati-hati minumnya, Sayang.”

Chamille mengangguk. Saat merasa cukup, dia menarik kepalanya dari batok kelapa. Kwang meletakkannya lagi di tempat sebelumnya. “Mimpi tentang Ibumu.”

Chamille menarik selimutnya sampai ke pundak. “Iya, Kang. Ibu terlihat cantik sekali.”

“Kau merindukannya?” Kwang mengelus kening Chamille.

“Iya,” Chamille mengangguk. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku bermimpi, Ibu, Ayah dan Nathan sangat bahagia menyambut seseorang. Tidak jelas siapa seseorang itu di mimpi.”

“Mungkin orang itu adalah kau. Kau memimpikan saat kita ditemukan,” tebak Kwang. Chamille mengelus perutnya,”Mungkin saja.”

“Kau semakin melankolis menjelang kelahiran bayi kita.”

Chamille terisak, setelah sekian lama, akhirnya Chamille menangis. “Kang, aku takut. Kau benar. Ini salah. Seharusnya aku tidak mengandung di saat seperti ini. Bagaimana kalau aku mati? Bagaimana kalau bayi ini tidak selamat?”

“Sssstt,” Kwang menempelkan telunjuknya di hidung Chamille. “Kau selama ini meyakinkanku. Jangan membuatku panik, Sayang.”

Dan Chamille pun susah payah menenangkan tangisannya, saat Kwang memeluknya. “Dan kau mulai menilai kalau cinta kita salah?” tanya Kwang.

Chamille menggeleng,”Tidak, Kang. Bukan begitu.”

“Karena kalau kau berpikir begitu. Aku tidak tahu apakah masih bisa hidup.”

Chamille menciumi wajah Kwang. “Aku mencintaimu. Jangan ragukan itu.”

“Makanya jangan bicara yang tidak-tidak,” ancam Kwang. Chamille mengangguk. “Janji?”

Sekali lagi Chamille mengangguk.

“Tidurlah lagi, masih terlalu pagi untuk bangun.” Kwang melingkarkan lengannya di atas perut Chamille lalu membenamkan wajahnya di tengkuk leher wanita itu. Nafas hangat Kwang membuat Chamille tertidur kembali. Sekali lagi Chamille memimpikan Charlie. Chamille benar-benar merindukan Ibunya.

Saat mentari mulai menampakkan diri. Mereka terbangun dan beraktifitas seperti biasa. Kwang membuat api unggun dan Chamille duduk, memasak. Wanita itu benar-benar meletakkan pantatnya di tanah. Perut yang semakin besar membuatnya tidak kuat berjongkok lama-lama. Bahkan jika duduk di atas batu kecil.

“Aku akan masuk ke hutan setelah sarapan,” kata Chamille sambil membumbui ikan. Kwang berjengit. Saat nyala api unggun mulai stabil, Kwang mendekati Chamille. “Katakan saja apa yang kau butuhkan. Biar aku yang mencarinya. Kau di sini saja, merajut seperti biasanya.”

“Aku baru tahu apa yang kubutuhkan setelah masuk hutan,” tekan Chamille. Dia menusukkan ikan pada sebatang kayu lalu memasukkannya di atas nyala api.

“Memangnya apa yang kau butuhkan?” Kwang mengambil alih membakar ikan itu. Sudah delapan bulan Camille tidak menjelajahi hutan karena kehamilannya.

“Herbal untuk membantu kelahiran anak kita,” jawab wanita itu. Perlahan dia menunduk lalu mengelus perutnya. “tiga minggu lagi, mungkin dia lahir. Aku harus bersiap mulai sekarang.”

Kwang merasa terenyuh melihat Chamille. “Kita yang harus bersiap. Kau janji memberitahuku apa yang musti ku lakukan ketika kau melahirkan, Camille.”

“Aku..,” Chamille memandang Kwang. Matanya jelas-jelas menampakkan kegusaran. “Aku bahkan tidak tahu apa yang musti dilakukan. Aku tidak pernah melihat wanita melahirkan, kau ingat?”

Kwang langsung berdiri. “Kau bilang kalau kau tahu semuanya. Kau bahkan meyakinkanku untuk tenang.”

Chamille menunduk lagi lalu menangis. “Maaf.”

Kepala Kwang bergerak gusar. Semua ini benar-benar tak dapat dipercaya. Terdampar di sebuah pulau. Menantikan kelahiran seorang bayi. Sama sekali tidak berpengalaman dalam hal ini. Dan dia harus bertanggungjawab. Dia lelaki. Dia telah berjanji untuk menjadi lelaki yang selalu bertanggung-jawab di setiap langkah yang diambil. Kwang berdiri dengan lututnya di depan Chamille, mengangkat dagu wanita itu dan mengusap air matanya. “Kita benar-benar harus menghadapi semua ini bersama-sama. Tidak ada yang boleh sok pintar mulai sekarang.”

Chamille tersenyum walau matanya masih berair. Kwang duduk menghadapi api unggun kembali. Ikan yang tadi sempat dia jatuhkan, diangkatnya dan rupanya belum terlanjur gosong. Akhirnya mereka saling berbagi, menikmati ikan bakar itu. Kwang sebanyak mungkin memberikan bagiannya pada Chamille. Chamille membutuhkan lebih banyak makan dari pada dia.

“Kau mahasiswa kedokteran. Setidaknya kau tahu teori tentang kelahiran,” ujar Kwang di tengah-tengah makan.

“Aku bahkan sering melihat video kelahiran. Tapi hanya video. Ayahku mempunyai banyak koleksi. Bahkan dia menyimpan rekaman saat Ibu melahirkan Nathan.” Chamille agak menerawang. Saat kembali dari lamunan dia menoleh pada Kwang.”Tapi kelahiran itu di peradaban Kwang. Ada bidan dan peralatan medis.”

“Sebelum ada ilmu pengobatan, kau pikir bagaimana cara manusia melahirkan?” Kwang mendongak. Awan berarak di atas. Birunya langit menandakan kalau hari akan cerah sepanjang siang.

“Entahlah…, mungkin… seperti hewan, hanya mengikuti insting kapan tiba waktunya mengejan dan… .”

Kwang bernafas gusar. Dia menarik tangan Chamille, meremas telapak tangan wanita itu kuat-kuat.”Katakan apa saja yang dibutuhkan, menurut teori-teori itu, apa saja yang dibutuhkan manusia saat dilahirkan kecuali bidan dan alat-alat modern tentu saja.”

“Kang,” mata Chamille memerah, perlahan air mata menuruni lekukan pipinya. Mata Kwang memejam lalu menarik kepala Chamille ke pelukannya. Membekap wanita itu erat-erat. “Katakan, Chamille. Kumohon.”

Chamille mengangguk di dadanya lalu menarik diri. Terlepas dari pelukan Kwang, Chamille mulai bicara dengan nafas sesenggukan. “Mereka membutuhkan antiseptic, itu yang paling penting dan gunting steril untuk memotong tali pusat.”

“Kita bisa mendapatkan antiseptik dari tanaman. Kau tahu kira-kira tanaman apa?”

Chamille mengangguk. Dan gunting, Ah, dari mana mendapatkannya? Kwang berpikir keras lalu pandangannya tertuju pada cuilan bambu di bawahnya. Jika memipihkannya, bambu itu bisa digunakan sebagai alat pemotong, lalu steril… bagaimana menyeterilkannya. Kwang bisa merebusnya bersama herbal antiseptik itu.

Kwang manggut-manggut. “Katakan apa lagi, Chamille.”

“Handuk dan selimut yang bersih.”

“Itu kau sudah merajutnya selama ini,” ujar Kwang. “Yang lainnya lagi?”

“Aku butuh…,” Chamille berhenti bicara. “Sudah kubilang, aku akan mengetahui apa yang kita butuhkan jika masuk ke hutan.”

Kwang mengerang. “Kalau begitu, mari masuk ke hutan!”

Dan mereka benar-benar memasuki hutan setelah sarapan. Kwang berjalan di depan Chamille, memangkas tumbuh-tumbuhan yang menghalang hingga Chamille tidak kesulitan berjalan dengan perut yang membengkak. Setiap kali Chamille mengamati daun-daun yang dijumpainya. Terkadang membungkuk  setelah  kakinya menyandung suatu ubi lalu mengamati ubi itu. Jika begitu, Kwang menarik tubuhnya,”Jangan membungkuk. Lebih baik berjongkok,”  gertak Kwang.

Chamille tersenyum lalu bersimpuh di depan tanaman berumbi itu. “Bisa kau gali tanahnya, Kang?”

Kang mulai mengorek-korek tanah itu dengan batu runcingnya.

“Awas, jangan sampai merusak umbinya. Goresan di umbinya akan membuat bakteri tanah masuk ke umbi,”

“Memangnya apa ini?” tanya Kwang.

“Kunyit. Aku memerlukannya untuk memperlancar kontraksi. Kau harus merebusnya dan meminumkannya padaku saat aku sudah merasa mulas-mulas.”

Kwang mengangguk. Tangannya mengorek, membebaskan umbi itu dari tanah yang mengukungnya lalu mencabutnya dengan hati-hati. Dia terlihat cekatan melakukannya, padahal hatinya setengah mati ketakutan.

Chamille meletakkan kunyit di tas anyamannya, dengan bantuan Kwang, dia berdiri dan mulai berjalan lagi. Semakin lama langkahnya melemah tapi dia belum akan berhenti sebelum menemukan semuanya, lalu saat dia menemukan tanaman sereh, dia menyuruh Kwang untuk mencabutnya. Begitu juga saat mereka menemukan daun sirih, Kwang memetik daun tanaman sulur-sulur itu atas perintah Chamille.

“Kedua tanaman ini mungkin sudah busuk ketika aku melahirkan, tapi kau bisa memetiknya kembali dua hari sebelum hari itu tiba. Setidaknya kau pernah melihat contohnya.”

“Apa ini?” Kwang mencium aroma segar yang keluar dari batang sereh.

“Keduanya mempunyai daya antiseptic dan yang ini…,” Chamille mengangkat sehelai daun sirih.”Selain antiseptik juga berfungsi sebagai adstringent, mempercepat penutupan luka. Kau bisa mengoleskannya pada anak kita setelah tali pusatnya dipotong atau bisa juga kita mengoleskan madu. Oh, iya.” Chamille menepuk jidat. “Kang, carilah madu.”

Kang mengangguk. Dia membimbing Chamille ke arah batu besar. Mendudukkannya dengan hati-hati seakan Chamille adalah kaca yang mudah pecah. “Duduklah tenang di sini. Aku akan mencarikan madu untukmu.”

“Hati-hati, Kang. Lebah-lebah itu sangat pemarah.”

Kwang tertawa. “Aku tidak sebodoh dirimu, Sayang.” Kwang mengucek rambut Chamille. Wanita itu mengantarkan kepergian Kwang dengan senyuman.  Saat dia sendirian di tempat itu, dia menunduk, memanjakan janin di dalam perutnya dengan belaian dan menyanyikan lagu lembut.

Kwang tersenyum saat sayup-sayup suara Chamille merambat di udara. Dia mendongak, mencari sarang lebah di tiap dahan pohon, diiringi lagu merdu dari mulut Chamille. Lagu yang menenangkan walau pun hati keduanya sama-sama terancam rasa takut. Mereka benar-benar harus menghadapi kelahiran bayi mereka sendiri di pulau asing ini.

 

—oOo—

“Ada apa?” Charlie keheranan saat melihat Antoine masuk ke kamar Sabrina. Sudah sebulan Charlie keluar dari rumah sakit. Sabrina semakin menggemaskan. Dia baru saja mau menidurkan bayi montok itu, tapi kehadiran Anthoine mengejutkannya. Ditambah dengan kehadiran Stacy di situ.

“Ada yang harus kita bicarakan,” kata-kata Anthoine terdengar begitu serius. Charlie yang ketakutan, tanpa sadar memeluk Sabrina terlalu erat. Bayi itu merengek kesakitan. Stacy melihat itu dan tidak tega. “We can delay it, Anthoine.”

“No,” Anthoine menoleh sejenak pada Stacy. Charlie mundur selangkah saat Anthoine mendekatinya. Perlahan tangan Anthoine terulur. “Berikan Sabrina padaku, Charlie. Kita harus bicara.”

Charlie menggeleng. Ada ketakutan yang aneh. Sabrina adalah kekuatannya, dia enggan menyerahkan Sabrina pada Anthoine. “Tidak, jangan.. .” Charlie semakin erat memeluk bayi itu. Sabrina menangis keras.

“Sayang, kau menyakitinya. Kemarikan dia, Sayang. Hanya pembicaraan biasa, tidak lebih!”

“Lalu kenapa wanita itu di sini?” pandangan Charlie menunjuk pada Stacy. “Wanita ini membawa aura buruk,” mata Charlie berair, setiap kali kehadiran Stacy membuat Charlie ketakutan.

“Tidak, Sayang. Kau salah. Stacy teman kita. Kau bahkan mempercayainya beberapa bulan terakhir ini.”

Tangis Sabrina semakin memilukan, “Oh, Sayang. Lihatlah Sabrina sangat kesakitan. Biar aku menggendongnya.”

Charlie memandang Sabrina lalu meregangkan pelukannya akan bayi itu. dia pasrah saat akhirnya Anthoine mengambil alih Sabrina. Perlahan Stacy mendekati Charlie. Anthoine menenangkan tangisan bayi itu.

“We must talk,” kata Stacy sambil memegang lengan Charlie. Sesaat Charlie menoleh pada Anthoine, begitu juga Stacy.

“Go first! Nathan and Mom is waiting for us at library. I must care Sabrina here, ” kata anthoine pada Stacy.

Wanita itu mengangguk. Perlahan dia menarik lengan Charlie, mengajaknya meninggalkan ruangan itu.

“Anthoine,” panggil Charlie.

“Pergilah, Sayang. Aku menyusul.”

Charlie masih memandang padanya saat Stacy menariknya keluar. Ketika hanya sendirian saja, dengan Sabrina di gendonganny, Anthoine menangis di kamar bayi itu. Diciumnya kening Sabrina yang mulai tenang, memandang padanya dengan mata hitam pekatnya. Mata milik Charlie. “Tenang, Sayang. Ayah di sini.”

Baby sister Sabrina memasuki kamar. Anthoine menyerahkan bayi itu pada pengasuhnya. “Take care our daughter, Mam.”

Pengasuh itu tersenyum. “I will,” lalu meletakkan bayi mungil itu ke dalam box bayinya, mengajaknya bermain dengan menggerak-gerakkan mainan di atas matanya atau bahkan merayunya untuk tersenyum walau pun bayi itu belum memberikan respon yang memuaskan.

Anthoine keluar dari kamar bayi Sabrina. Menutup pintu di belakangnya dengan senyuman lalu menuju perpustakaan. Charlie mengejutkannya dengan teriakan saat dia sampai di perpustakaan.

“NO!”

Ibunya Charlie membenamkan wajah sedihnya di telapak tangan. Nathan berusaha menenangkan Charlie. “Mom, but it’s true!”

Charlie berlari ke arah Anthoine. “Anthoine katakan semua ini bohong! Semua ini bohong! Aku bukan orang gila!”

Anthoine agak terkejut melihat reaksi Charlie. “Bukan gila, Sayang. Hanya berkepribadian ganda.”

“Apa bedanya! Aku bukan orang gila, Anthoine. Bukan!” Charlie memukul-mukul dada Anthoine. Pria itu mendekapnya erat-erat sementara tangisnya semakin menjadi.

“Mom…,” Nathan merasakan tenggorokan pahit menahan air mata sementara neneknya sudah tersedu-sedu dengan sapu tangan di tangan.

“Sayang, sudahlah.” Anthoine membelai rambut Charlie, menyisir rambutnya dengan jemari tangannya. “Kau masih bisa hidup dengan normal. Stacy akan membantumu untuk itu. Kau harus bisa kuat, Sayang. Kau masih mau membesarkan Sabrina, kan?”

Charlie mengangguk. Dia masih menangis di dada Anthoine, membasahi kemeja yang dipakai pria itu dengan air mata dan ingus. “Sabrina membutuhkanmu, Sayang. Karena itu kau harus kuat menjalani terapi itu. Selama ini kami hanya melakukan hipnotis, kami tidak memberikan penenang padamu karena Sabrina. Kau dengar, anak itu penyelamatmu, Sayang. Maka dari itu tetaplah kuat demi anak itu.”

Sekali lagi Charlie mengangguk. Anthoine memandang pada Stacy dengan matanya yang berkabut. “I trust her to you, Stacy.”

“Don’t worry about it,” Stacy berusaha tersenyum. Dalam hati dia juga merasa sedih. Stacy telah menjadi sahabat keluarga d’Varney sejak lama. Walau pun Charlie tidak menyukainya, Stacy tulus mencintai keluarga itu. Melihat keluarga itu bersedih, serasa menyayat-nyayat hatinya.

Anthoine membimbing Charlie menuju kamar mereka. Dengan hati-hati dia menuntun Charlie berbaring di ranjang, lalu menyelimutinya. Charlie meringkuk, nafasnya masih sesenggukan karena tangis. Dan saat intercom yang terhubung dengan kamar bayi Sabrina menyuarakan tangis bayi itu, Charlie memohon pada Anthoine,”Bawa Sabrina kemari, Anthoine. Aku mohon.”

Anthoine mengangguk lalu memberi perintah melalui intercom. Sebentar kemudian pengasuh Sabrina membawakan bayi itu. Charlie menyusuinya. “Kau tenang jika dia bersamamu?” tanya Anthoine sambil mengelus rambut halus yang tumbuh di dekat telinga Sabrina. Charlie mengangguk.

“Maka tetaplah seperti itu, Charlie. Sabrina juga tenang kalau bersamamu. Tabahlah dalam pengobatanmu nanti. Demi Sabrina.”

“Apakah pengobatannya lama,” Charlie sudah mulai tenang. Dia mendekatkan telunjuknya di telapak tangan Sabrina. Reflek Sabrina menggenggam telunjuknya.

“Sangat lama, melelahkan dan juga menyedihkan,” Anthoine menunduk.

“Tapi ada Sabrina. Apa pun kesedihan itu, pasti akan hilang karena Sabrina.” Charlie menatap mata Anthoine. “Jangan pisahkan kami, Anthoine.”

“Tidak akan.”

Ya. Tidak akan dan tidak pernah. Sabrina adalah sumber kekuatan Charlie. Tempat bayi yang baru lahir adalah di sisi Ibunya. Anthoine tidak akan merenggut semua itu dari Sabrina. Bayi itu adalah piala kemenangan. Pengikatnya dengan Charlie di saat pernikahannya melewati masa kelam. Dan dia bersyukur untuk itu. Sementara Stacy merencanakan terapi selanjutnya, Anthoine merasa tenang melihat Charlie menyusui Sabrina dengan penuh kasih sayang.

Setidaknya biarkanlah aku tenang untuk malam ini.

BERSAMBUNG

THE SECRET II (Temptation of Island) — part 9

THE SECRET

(Temptation of Island)

Part 9

Suara-suara itu menghantuinya lagi. Semakin kentara jika malam tiba. Bola matanya bergerak bimbang dibalik kelopak yang tertutup dan jika sudah begini, mulai terdengar perubahan ritme nafas. Kepalanya mulai menampakkan kegusaran. Apakah itu dia?

Bukan! Itu bukan aku!

Kau bersalah!

Tidak!

“Dasar tak tahu malu! Memohon cinta pada lelaki yang bahkan sudah tak mencintaimu!”

Lelaki itu? Lelaki yang sangat kucintai, dan ternyata….

”Apa yang kau harapkan dari selembar kertas yang ditandatangani secara rahasia di suatu tempat yang bahkan sangat jauh dari asalmu, Charlotte Whitely?”

Charlotte Whitely…. Charlotte Whitely… Siapa dia?….

Itu kau!

Gerakan kepalanya semakin cepat. Bibirnya menggumam, membuahkan igauan yang hanya dia sendiri yang tahu.

Bukan!

Ya…, Itu Kau!

“BUKAN!”

Tubuhnya terdorong bangun. Mata yang membelalak dan wajah memucat, sementara dia harus berusaha menenangkan nafasnya. Hanya mimpi, untunglah hanya mimpi. Dia menoleh ke samping, dimana pria yang sangat dia cintai masih terlelap.

Nick di sini. Itu hanya mimpi. Huft! Mimpi yang membuatku ketakutan.

Perlahan tangannya terulur, menyentuh wajah pria di sampingnya. Dahinya mengkernyit saat mendapati sesuatu yang asing dari lekukan wajah yang teraba oleh telapak tangannya. Tersentak! Dia menarik tangan  lalu  menyalakan lampu knop di dekatnya. Keremangan cahaya bisa memperjelas pandangannya akan wajah pria itu.

Rambut coklat? Kulit…

Tak biasa dengan sinar terang ketika tidur, pria itu membuka mata.

Mata coklat kemerahan?

Dia sendiri membelalak. Seketika panik saat lelaki itu menyandar ke kepala ranjang. Lelaki itu bertelanjang dada dan tersenyum padanya walau matanya masih mengantuk. “Are you wake up, Ma Femme?”

Ma Femme?

Dia merasakan ada yang salah. Dan ketika dia menyadari sesuatu, ketelanjangannya dan perutnya yang membuncit, keringat dingin merembes dari pori-pori kulitnya. “Siapa, kau?” Spontan dia menutupi dadanya dengan selimut.

“Charlie, ada apa?”

“Siapa kau?”

Pertanyaan lelaki itu tak dia hiraukan. Bahkan dia menepis tangan lelaki itu yang berusaha memegang tangannya.

“Charlie, kau mimpi buruk?”

“Aku bukan Charlie!” dia berteriak. Mereka tidur dalam satu selimut, dan dia menarik selimut itu saat berdiri, demi menutupi kepolosan tubuhnya. Panik dan mundur perlahan dari lelaki itu dengan ketakutan dan air mata berderai. Lelaki itu cepat-cepat bangkit dan mengenakan jubahnya.

Lelaki kulit putih! Dia semakin panik.

“Charlie, aku tidak tahu apa maksud semua ini, tapi percayalah ini semua tidak lucu!” Lelaki itu maju perlahan, tubuhnya yang tinggi agak membungkuk dengan tangan kanan terulur, berusaha menenangkannya.

“Aku bukan Charlie! Bukan Charlie!” Dia malah semakin histeris. “Nick… dimana Nick? Nick!” Dia lari ke pintu. Lelaki itu dengan langkah lebar menghadangnya. Dia terperangkap dalam kungkungan lelaki itu. Sekuat tenaga dia meronta, segalanya sia-sia. Entah kenapa teriakkannya seakan tak membuat lelaki itu bergeming. Lelaki itu terpaksa membantingnya di ranjang. Terpaksa! Ada kesedihan di mata lelaki itu saat dia terbaring kembali ke ranjang, menangis kalah karena kedua tangannya masing-masing ditahan oleh lelaki itu.

“Aku tahu kau di dalam sana,” kalimat itu seolah mencari seseorang dibalik tubuhnya. Bukan hanya kalimatnya, bahkan mata coklat kemerahan itu mencarinya. “Charlie, kau di sana?”

Dan semua berangsur gelap baginya. Sekeping ingatan menerobos masuk. Ingatan tentang lelaki yang mengukung di atasnya,”Antoine… .” lalu dia tak sadarkan diri.

“Iya. Iya, Sayang… Iya!”

Antoine menangis. Setengah mengangkat tubuh Charlie, dia memeluk istrinya. Ini tidak mungkin terjadi lagi. Bahkan dia sempat berselisih pendapat dengan Stacy dua puluh tahun yang lalu, sebulan setelah kelahiran Camille.

Stacy!

Antoine tidak menghiraukan perbedaan waktu antara Indonesia dan Kanada. Dia merasa harus menelfon Stacy, memberitahukan tentang Charlie. Antoine yang terpuruk bisa merasakan kegusaran dibalik suara Stacy.  “I told you it’s Dissociative Identity Disorder. You must take her here soon!”

“No! It’s just bipolar!” Antoine masih bersikeras.

“Pleasse, be objective, Proffesor!”

Stacy terdengar berang. Antoine menutup telefon dan sekali lagi merasakan kesedihannya. Pada saat itu Charlie mulai tersadar. Antoine bergegas mendekatinya  saat Charlie merasa kebingungan, menoleh ke sana kemari, menyadari posisinya di ranjang yang tidak pada tempatnya.

“Antoine…,” saat matanya menangkap sosok suaminya, dia memanggil lirih. Antoine berusaha menyembunyikan air mata saat mengelus wajahnya. “Ya, Petite.”

“Ada apa? Kenapa bisa aku tidur seperti ini?”

Antoine menggeleng. “Tidak apa-apa, Sayang.” Dia lalu mengangkat tubuh Charlie, menempatkannya di sisi ranjang yang tepat.

“Apakah aku berjalan sambil tidur lagi?”

Lebih buruk dari itu!

“Iya,” Antoine tersenyum. “Tidurlah lagi, Sayang. Besok adalah perjalanan panjang kita.”

Charlie tersenyum lalu mulai menutup mata, menuruti perintah suaminya. Antoine tidak tidur lagi malam itu. Mana mungkin dia bisa kembali tertidur. Ingatan yang harusnya terhapus. Karakter yang juga terhapus bersamaan ingatan itu, bagaimana bisa muncul sesekali? Kemunculannya akan membuat Charlie terasing. Pribadi itu seakan terpisah, tidak mengenal satu sama lain. Ada dua kepribadian yang muncul, Antoine belum mendapati Charlie Bouwens muncul. Harus ada lebih dari dua kepribadian, karenanya dia tidak setuju dengan pendapat Stacy. Hanya gangguan bipolar. Ya, hanya gangguan bipolar! Antoine berusaha meyakinkan diri sendiri. Tidak ada hubungan antara cuci otak dengan kepribadian ganda. Argumen Stacy tidak beralasan.

Perjalanan benar-benar terasa panjang keesokan harinya. Mereka bertolak dari Ngurah Rai. Sekali lagi Antoine tidak tidur. Sementara Charlie terlelap di sampingnya, Antoine mengawasi sambil membalik halaman demi halaman buku lama karya Colin A. Ross,  Multiple Personality Disorder: Diagnosis, Clinical Features, and Treatment. Di dalam pesawat itu, Antoine berusaha menggabungkan beberapa teori dan menelorkan hipotesis.

Tidak ada hubungannya. Buku ini mengatakan jika kepribadian ganda terjadi karena trauma berkepanjangan di masa kecil atau ketika remaja. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan cuci otak chemical yang dialami Charlie.

“I think it’s possible,” kata Stacy saat Antoine akhirnya mengunjungi kantornya di rumah sakit. Kemudian penjelasan dalam bahasa Inggris meluncur lancar dari bibir Stacy,” Brain washing is self defense mechanism. When there is bad experiences, these experiences as much as possible to be repressed into the subconscious. But there are some events that really can not be handled by the patient, thus forcing it to create another private person who is able to face the situation. It is same as the method of treatment that you apply to Charlie before, right? wash her brain and provide an artificial personality.”

Antoine menggelengkan kepala  dan tersenyum pahit. “So ridiculous. The theory doesn’t exist in any literature.”

“But the fact is the case. Charlie experienced it,” Charlie berkata pasti. “Where is she?” Stacy duduk di kursi kerjanya. Kursi yang dulu di duduki Antoine selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya meninggalkan dewan direksi rumah sakit untuk berkarier di bidang akademisi dan mengelola bisnis keluarga.

“She was at home under her mother supervision.”

“Nice! Never leave her without supervision. Charlotte characters can appear suddenly. The character has  tendency to despair, even self-harm.”

Itu memang yang Antoine kawatirkan. Karakter Charlotte! Karakter itu muncul jika ada situasi yang harus dihadapi. Tunggu! Bukankah itu seharusnya kepribadian asli Charlie? Antoine kembali berjibaku dengan buku-buku tebal di perpustakaan rumahnya. Segala teori muncul lagi di permukaan setelah lama dia pensiun dari dunia kedokteran.

Munculnya kepribadian-kepribadian itu tergantung pada situasi yang dihadapi. Kepribadian aslinya cenderung tidak mengetahui keberadaan kepribadian lainnya, karena memang hal itu yang diinginkan, yaitu melupakan hal-hal yang telah diambil alih oleh kepribadian lainnya. Pada kebanyakan kasus yang terjadi kepribadian asli tidaklah sadar akan keberadaan sosok lain dalam dirinya. Namun, kepribadian-kepribadian lainnya sadar akan keberadaan sosok asli.

“Jadi benarkah ini kepribadian ganda?” Antoine bertanya dalam hati, “Atau mungkin ingatan terselubung yang mungkin muncul ke permukaan?”

Antoine menutup buku tebal di tangannya lalu berdiri, mengamati  pemandangan luar yang terpampang di dekat jendela perpustakaan. Antoine bisa melihat Charlie yang sedak asyik berkebun dengan Ibunya. Wanita itu tahu kalau Antoine mengawasinya dan melambaikan tangan. Antoine tersenyum saat membalas lambaian tangan itu.

Charlie Bouwens. Ya, semuanya terjawab jika dia bisa melihat kemunculan Charlie Bouwens. Kita lihat apakah karakter itu bisa mengenali Charlie atau Charlotte Whitely.

Antoine manggut-manggut. Ini pasti akan terjadi. Tak akan lama lagi. Antoine yakin itu.

Charlie terlihat berbisik sejenak pada Ibunya. Antoine tahu maksud bisikan itu saat Charlie mendekati pintu perpustakaan yang mengarah ke taman. Cepat-cepat Antoine membereskan buku-buku tebal tentang Dissociative Identity Disorder. Setidaknya jangan sampai wanita itu tahu. Charlie tidak pernah ukt campur pekerjaannya di bidang medis tapi cukup membantu pekerjaan Antoine di bisnis keluarga.

Antoine sedang memasukkan buku-buku ke dalam laci saat Charlie mendekati mejanya. “Kau dari rumah sakit?” tanya Charlie. Antoine mengangguk.

“Aku tidak mengerti kenapa kau tidak mengajakku. Aku juga ingin menengok Ayahmu.”

Antoine duduk di kursi kerjanya kembali. “Keadaannya semakin membaik. Lagi pula ada hal lain yang musti kuurus di sana.”

“Apa?” tuntut Charlie. “Jangan katakana kau menemui Stacy.” Tebakkan yang tepat, tapi nada bicara Charlie seolah menaruh curiga. Antoine menghela nafas. “Kemarilah, Sayang.” Antoine menghela tangannya.

Charlie mendekatinya dan dia menarik sampai pantat istrinya berada di pangkuannya. “Sudah lebih dari dua puluh tahun dan kau masih saja mencurigainya, Sayang,” Antoine mencium pipi Charlie dan mengelus perutnya. Tubuh Charlie masih serasa ringan walau pun sedang mengandung empat bulan. “Kau sudah makan? Kenapa kau masih terasa ringan?”

“Aku sudah makan. Nambah dua piring malah,” canda Charlie. Antoine tertawa. “Sepertinya bayi ini lebih besar dari pada Nathan dan Camille. Baru empat bulan saja perutku sudah sebesar ini.” Charlie merajuk sambil mengelus-elus perutnya. “Lihat! Aku seperti menyembunyikan semangka di balik bajuku.”

Antoine semakin tergelak. “Itu karena umurmu yang sudah tidak muda lagi, Sayang. Kadar gula darahmu lebih tinggi daripada ketika muda, karenanya bayinya lebih besar.”

“Jadi aku harus mengurangi konsumsi gula?” Mata Charlie membulat ketika bertanya. Antoine mencolek hidung Charlie. “Ya, betul sekali!”

Lalu Antoine memeluk istrinya. “Kau juga pasti gampang lelah nantinya, Sayang.” Charlie mengangguk di dadanya. “Maafkan, aku… seharusnya aku tidak membuatmu mengandung di umur sekarang.”

“Aku menikmatinya, Antoine. Jangan kuatir hanya saja… .” Charlie ragu sejenak. Dia ingin mengadukan suara-suara yang kadang menggaung di telinga atau mungkin kejadian aneh lainnya, saat dia merasakan tubuhnya kadang tidak berada dalam kendalinya.

“Ada apa, Sayang?”

Charlie menggeleng lalu mendongak, mengelus pipi Antoine yang memandangnya dengan dahi berkerut. “Katakan saja semua keluhanmu?” tanya Antoine.

Charlie menghela nafas. “Saat kau meninggalkanku sejenak di malam terakhir kita di Bali. Entahlah… ada suara-suara.”

Alis Antoine menaik.

“Sebenarnya bukan hanya waktu itu tapi juga selama dua puluh tahun ini. Suara-suara itu semakin keras terdengar kalau sepi apalagi pas malam. Karenanya…

Sejenak Charlie berhenti bicara demi melihat mimik wajah Antoine yang berubah gusar. “Ada apa, Antoine? Apakah ini buruk?” Charlie juga ikut-ikutan gusar. Antoine tidak menjawab, membuat Charlie semakin ngeri.

“Oh, Antoine katakan sesuatu!” Charlie memukul dadanya. Antoine memegang tangan Charlie, menghentikan pukulan itu. “Tidak apa, Sayang. Kau hanya stress.”

“Benarkah?”

Antoine mengangguk.

“Oh, syukurlah. Aku takut jika penyakitku kambuh lagi. Aku tidak mau jadi pasienmu lagi, Antoine. Katakan, aku istrimu, bukan?”

Sekali lagi Antoine mengangguk lalu memeluk Charlie. Belum saatnya Charlie tahu yang sebenarnya. Antoine akan memastikannya jika Charlie Bouwens muncul dan jika  semua itu terjadi. Antoine harus mengakui kenyataan pahit ini.

“Setidaknya kau menikahi tiga orang perempuan dalam satu tubuh,” kata dokter Rae, dokter kandungan Charlie. Stacy memberitahukan padanya perihal keadaan Charlie. Kedua dokter itu akan bekerja sama menangani Charlie.

Dissociative Identity Disorder baru dugaan, Rae. Belum final,” Antoine masih belum terima penyakit itu mengganggu istrinya.

“Tapi Stacy sangat yakin. Sayangnya kau sudah kehilangan hak praktekmu. Stacy tidak bisa berbahasa Korea. Ini membingungkan kalau Stacy harus menghipnotis Charlie dan Charlie bicara bahasa Korea di ambang batas hipnotis.”

Antoine berbalik ke dinding kaca. Ruangan di sebelah adalah ruangan USG. Charlie terbaring di sana sementara asisten dokter Rae menyentuhkan stik USG di perut Charlie. Wanita itu tersenyum puas mendengar penjelasan sang asisten hingga Antoine bisa menyimpulkan kalau keadaan bayi mereka baik-baik saja. “Itulah gunanya kau di sini, Rae.”

Dokter Rae menunduk sedih. “Aku masih ingat, sepuluh tahun yang lalu aku belajar bahasa Korea dari istrimu untuk program  pertukaran dokter di Seoul, dan sekarang… kenapa aku harus menggunakannya untuk istrimu. Ini menyedihkan.”

Hati Rae mendesirkan kesedihan. Matanya hampir memerah, tapi sebagai dokter yang professional dia tidak boleh terlarut dalam perasaan. Antoine menoleh sejenak dan tersenyum. Lalu memasuki ruang sebelah, tempat Charlie di tes USG. Rae harus meneguhkan diri sebelum mengikuti Antoine.

“Mereka bilang dia baik-baik saja,” kata Charlie saat Antoine duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangannya. “Dia perempuan, Sayang.”

Antoine memeluk istrinya. Terharu dengan karunia Tuhan yang berada di perut Charlie saat ini. Sementara Rae sudah tidak bisa membendung kesedihan lagi. Dia keluar dari ruangan itu dan menangis di balik pintu. Oh, ayolah… hanya kepribadian ganda. Charlie tidak akan mati besok. Tapi entah kenapa, keadaan Charlie sekarang ini seakan lebih buruk dari pada penyakit mematikan.

 

—oOo—

Mata Chamille sedikit terbuka. Setengah tersadar, dia merasakan ciuman Kang di keningnya. Masih terkantuk-kantuk, dia melihat Kang yang kemudian duduk membelakanginya, berganti pakaian.

“Kang,” bahkan suara Chamille pun masih serak. Kang menjawab panggilan itu dengan eraman. “Kau sudah mau pergi?”

“Iya,” Kang berdiri dari tempat tidur rumput itu dan berjalan menuju pintu pondok.

“Jangan lupa carikan aku mangga muda.”

Kang menoleh sekilas pada Chamille, mengangguk mengiyakan lalu keluar pondok.  Suasana sepi seketika. Chamille pun bangun dan merasakan gelombang mual  menuju kerongkongannya. Setengah berlari dia keluar dan muntah di samping kiri pondok. Selalu seperti ini setiap pagi. Begitu menyiksa. Air mata keluar begitu saja, namun bukan tangisan hanya respon dari rasa pening yang menjalari kepala. Chamille bisa merasakan nafasnya tersenggal-senggal, berusaha mengeluarkan rasa mual lagi dari perutnya, dan berakhir dengan tumpahan air pahit dari mulutnya. Hanya air, karena memang begitulah adanya. Sangat berbeda dengan vomit karena mabuk perjalanan dimana rasa mual melega saat semua isi perut, yang merupakan sumber mual dikeluarkan. Tapi sumber mual Chamille belum akan keluar sekarang. Janin itu tumbuh di dalamnya, dia senang walau pun terkadang kerepotan menghadapi rasa mual tiap pagi.

Chamille menuju api unggun. Kwang sudah menyiapkan ubi bakar sebagai sarapan. Mau tidak mau Chamille memasukkan makanan itu ke mulut. Dia tidak boleh dikalahkan oleh mual. Anak ini perlu nutrisi. Chamille berusaha menelan walau pun perutnya menolak. “Sayang, Ibu harus makan,” Chamille seolah membujuk janin di perutnya. “Ijinkan Ibu makan sedikit, ya?” tangan kirinya mengelus perutnya sedang tangan kanannya kembali menyuapkan cuilan ubi bakar. Dia terus melakukan itu walau terkadang sia-sia. Rasa mual itu masih membandel.

Hingga Kwang muncul kembali lima menit kemudian, membawa mangga pesanan Chamille. “Kemarikan,” Chamille langsung merebut mangga itu dari Kang lalu menggigit, menyesap airnya.

Chamille sangat menikmati rasa asam buah itu sedangkan Kwang malah merasakan ngilu di giginya melihat ulah Chamille. “Apa kau tidak merasakan gigimu linu? Baunya saja sepertinya asam.”

“Ini obatku,” jawab Chamille, masih menyesapi mangga itu.

“Kau harus makan yang lain. Jangan hanya ubi bakar dan mangga terus.” Kang mengelus punggung Chamille.

“Aku mual jika mencium bau ikan.”

Kwang menghela nafas. Tidak bisa begini terus. Bisa-bisa Chamille dan bayinya kurang gizi. “Bagaimana kalau kangkung air. Kau mau memakannya?”

“Kau bisa memasaknya?” gantian Chamille yang bertanya.

“Lihat saja nanti.”

Kwang masuk ke hutan lagi. Chamille hanya melongo dengan  mangga yang masih tergigit di mulutnya. Akhir-akhir ini dia memang merepotkan Kwang. Chamille yakin itu, tapi mau bagaimana lagi. Itulah resiko menghadapi wanita hamil. Rasa mual itu sudah lenyap. Chamille masuk kembali ke pondok, melanjutkan rajutannya. Kegiatan itu akan berlangsung sampai matahari setegak kepala lalu Chamille pergi ke sungai untuk membersihkan diri dan mengambil persediaan air.

Biasanya Kwang sudah ada di depan pondok saat Chamille pulang dari sungai. Duduk di depan api unggun, memasak sesuatu. Chamille duduk di samping Kwang, melihat isi batok kelapa di atas api unggun. “Aku merebus kangkung dengan cabai, irisan mangga dan garam, semoga kau suka,” kata Kwang.

“Apakah enak?” Chamille menyangsikan kemampuan memasak Kwang. Pria itu melengkungkan bibir ke bawah. “Jangan merendahkan kemampuan memasakku.”

Chamille tersenyum saat menyodorkan batok kelapa pada Kwang. “Sudah matang, kan? Aku sudah sangat lapar.” Kwang meraih batok lalu mengisinya dengan masakan aji pengawurannya. Tapi Chamille sepertinya menikmati rasa masakan itu. “Ini enak sekali. Ada rasa asin, pedas dan juga manisnya. Lalu kangkung ini… ini benar kangkung? Rasanya manis.”

“Orang dewasa menganggap kangkung berasa manis tapi anak kecil merasakan kalau kangkung itu pahit.”

“Itu karena sensor pengecap di lidah anak kecil lebih peka, Kang. Tapi sumpah! Ini enak sekali. Jangan masak ikan lagi karena baunya membuatku mual.”

Kwang tertawa. Dia lega karena Chamille akhirnya mau makan. Dan dia harus menahan keinginannya untuk makan ikan sementara ini.

“Apa kerjamu sesiang ini?” tanya Kwang. Chamille menyeruput kuah makanannya, agak tersedak dan Kwang menepuk-nepuk punggungnya. “Hati-hati.”

“Ah, ini segar sekali.” Chamille menambahkan   lagi makanan ke batok kelapa di tangannya. “Aku hanya merajut. Untuk anak kita. Tunggu sebentar,” tanpa pikir panjang Chamille menyerahkan batok kelapa pada Kwang lalu memasuki pondok. Kwang berjengit, menatap batok di tangannya dan mengangkat bahu.

Chamille keluar pondok lagi, menyodorkan hasil rajutannya pada Kwang. “Kecil sekali,” komentar Kwang pada kemeja rajutan yang ada di tangannya. Chamille sudah menikmati makannya lagi. “Apa ini muat untuknya?” tanya Kwang lagi.

“Kau pikir dia akan sebesar apa? Itu cukup untuknya.”

“Ya… kalau memang kau berpikiran begitu. Oh, ya… aku akan membuat kasur  rumput untuknya, jadi kau harus merajut sprei lagi.”

Ide Kwang bagus juga. Mereka butuh tempat tidur bayi tapi gelengan kepala Chamille menjawab kalau dia tidak setuju dengan usul itu. “Dia akan tidur bersama kita. Di kasur kita, di tengah-tengah.”

“Tapi lama-lama dia butuh kasur sendiri, Sayang.”

“Itu kalau dia sudah besar. Untuk sementara ini, kita tidak perlu kasur lagi!”

“Ehmm.. terserahlah!” Kwang menyerah walau pun tidak rela. Chamille tersenyum dengan mulutnya masih mengunyah. “Peluk aku!” Kwang menurutinya, memeluk Chamille yang masih sibuk makan.

“Kau tidak makan?”

Kwang menggeleng. Melihat Chamille makan lahap saja, dia sudah merasa kenyang. Chamille semakin gemuk, sedangkan Kwang semakin kurus. Kalau di suruh menggendong Chamille lagi, mungkin dia tidak kuat. Setiap hari, Kwang melihat perubahan fisik Chamille. Lengan atas Chamille lebih menggembung sekarang. Setiap malam, Kwang memegang lengan itu mengukurnya dengan genggaman tangannya. Jika sudah begitu, Chamille pasti mengibaskan tangannya. “Kenapa? Aku semakin gemuk?”

Kwang terkekeh lalu memeluknya. “Tidak, tapi semakin empuk,” jawab Kwang seenaknya.

“Yah… ngomong sembarangan.”

“IYa loh… setiap dipeluk, kau semakin empuk. Aku jadi merindukan gulingku di rumah, hehehe.” Kwang geli sendiri dengan ucapannya, Chamille yang semakin sewot melipat tangan di dada dan cemberut.

“Tenang, Sayang. Jangan marah.” Kwang mencium pipi Chamille. Suara malam semakin memanggut. Chamille tersenyum lalu meraba pipi Kwang yang penuh dengan jenggot lebat.

“Apa kau sudah merasakan dia bergerak, menendang atau…

“Belum,” Chamille menggeleng. “Dua bulan lagi, dia akan menampakkan gerakan itu.”

Kwang menyingkap baju Chamille ke atas, meraba perut Chamille tanpa kain yang membatasinya saat menyentuh. Kulit bertemu langsung dengan kulit. Chamille bisa merasakan tangan kasar Kwang menelusuri kulit perutnya yang halus. “Aku sudah tak sabar merasakan dia bergerak-gerak,” ucapan Kwang diakhiri dengan tawa mereka berdua.

“Kalau dia bergerak, aku akan mengatakannya padamu. Jangan kuatir.” Chamille mencium pipi Kwang saat pria itu menyandarkan dagu di pundaknya. Mereka bahagia. Walau terkadang kawatir jika keadaan tak seperti yang diharapkan. Kwang kawatir jika Chamille tidak selamat saat melahirkan.

Beribu kali Chamille menenangkannya, beribu kali lipat rasa kawatir di benak Kwang bertambah. Jika sudah begitu, mereka memulai obrolan ringan. Apa saja untuk mencairkan kekawatiran Kwang. Perut Chamille semakin membesar. Tanaman-tanaman di pulau telah memberikan gizi yang cukup bagi janin di perut Chamille. Wanita itu mulai menyentuh ikan kembali saat masa penuh pergulatan morningsickness berlalu. Tubuh Chamille jadi mirip buah pear, dengan kepala kecil lalu dada, perut dan bokong yang semakin melebar.

“Lihatlah, Sayang. Kau semakin empuk.”

Empuk adalah istilah yang dipakai Kwang untuk mengatai kegemukan Chamille. “Ya, semua juga karenamu,” sahut Chamille. Kwang semakin mempererat pelukan.

“Dia bergerak!”

Reflek Kwang menyentuh perut Chamile. Tendangan janin itu terasa di bawah kulit tangannya.  Kwang tersenyum senang. Disingkapnya baju Chamille ke atas lalu mencium perutnya. Chamille bisa merasakan bibir Kwang menempel langsung di kulit perutnya dan merasa geli.

“Sudah empat bulan. Aku semakin takut,” perkataan Kwang membuat pandangan mata Chamille menyendu. “Huft! Dimana sebenarnya kita? Apa susahnya menemukan kita?”

“Kang…,” Chamille mengelus kepala Kwang yang masih membenamkan wajah di perutnya. “Mungkinkah mereka memang menganggap kita sudah meninggal?”

“Tidak.”

Chamille masih mengelus kepala Kwang, mengaitkan jemarinya di antara helaian rambut Kwag yang memanjang dan lebat. “Kang, jika dibandingkan denganmu, akulah yang paling ketakutan di sini. Tapi aku yakin, semua akan baik-baik saja.” Chamille mengangkat kepala Kwang, menghadapi tatapan kesedihan pria itu dengan belaian halus di wajahnya. “Kau akan membantuku nanti. Seperti kau membantu Ibumu waktu melahirkan. Tapi waktu itu kau kurang pengalaman, dan sekarang…

“Aku juga tidak berpengalaman menjadi seorang ayah yang mempersiapkan kelahiran anaknya.”

Chamille tersenyum tipis. “Kau kira bagaimana aku bisa bertahan selama ini? Kau lihat daun-daunan kering itu?” Chamille menujuk tas anyaman bambu. “Ada beberapa hal yang harus kau lakukan saat aku melahirkan nanti. Tentu saja berkaitan dengan daun-daunan kering itu.”

“Kau mengkonsumsinya selama ini?”

Chamille mengangguk. “Dan anak ini semakin sehat,” Dia menepuk perutnya.

“Ada beberapa daun yang harus kau siapkan saat aku melahirkan, Kang. Aku akan memberitahumu di akhir bulan kehamilan agar kau tidak lupa,” Chamille meraih tangan Kwang. Mengaitkan jarinya di antara jemari Kwang. “Jangan panik jika saat itu tiba. Biarkan aku yang panik, asal jangan kau.”

Kwang mengangguk lalu memeluk Chamille, semakin erat sementara perut Chamille menyundul perut Kwang hingga Kwang melepaskan pelukannya. “Anak ini mengganggu saja,” Kwang menepuk perut Chamille. Mereka tertawa bersama, dan akan seperti itu setiap malam, hingga anak mereka terlahir nanti.

 

—oOo—

Hal yang tidak disukai Charlie adalah, Stacy ikut campur dalam pengobatannya. Antoine beralasan kalau suara-suara yang mengganggu itu harus di atasi, dan jasa Stacy sangat dibutuhkan. Antoine mengatakan kalau dia stress biasa tapi tingkah laku Antoine seolah menunjukkan kalau dia mempunyai kelainan jiwa yang serius.

Charlie tidak menyukai mata Stacy jika menginterogasinya. Seakan penuh menyelidik lalu semuanya gelap. Charlie tidak merasakan apa-apa lagi setelah itu. Ketika bangun, dokter Rae sudah tersenyum di hadapannya, memujinya karena telah melakukan hal yang hebat. Charlie yakin kalau Stacy melakukan hipnotis, tapi untuk apa?

“Hanya untuk mencari penyebab stresmu, Sayang,” jawab Antoine jika Charlie bertanya.

“Kalau itu, sih… sebenarnya kau juga tahu jawabnya. Aku stress karena Chamille belum ditemukan, bahkan mayatnya pun belum.”

“Ya… ya… aku akan menambah tim pencari lagi,” Antoine hanya bisa menghela nafas. Kenyataannya satu persatu personil dalam pencarian Chamille mundur teratur, tinggal satu kapal saja, itu pun di bawah komando ganda dengan Brian. Pemuda itu masih belum menyerah jua.

Charlie tidak pernah menghubungi Brian lagi. Ibunya sengaja membatasi informasi dari dunia luar yang didengarnya. Charlie tidak pernah dibiarkan sendirian. Terkadang Nathan, yang sudah tahu keadaan Ibunya, menjaganya. Tapi kebanyakan yang berperan merawat Charlie adalah Ibunya.

Saat mulai jenuh, tiba-tiba sang Ibu mempunyai ide gila. Seperti berkebun, merangkai bunga atau…

“Bagaimana kalau nonton film?”

Charlie mengerjapkan mata. Wanita itu sudah mengibas-kibaskan DVD di hadapan Charlie. “Ada film bagus. Kau pasti suka. Kritikus film memuji kalau koreografi laganya bagus.”

Mendengar kata ‘kritikus film’ telinga Charlie menjengit. “Ah, ayolah. Ini film Indonesia yang memperoleh penghargaan festival film Toronto kemaren.” Ibu Charlie menyeret Charlie ke depan home theater, lampu ruangan dipadamkan setelah layar lebar itu menampakkan adegan demi adegan film laga. Sebentar saja ruangan itu hanya berisikan suara yang keluar dari televise. Ibu Charlie sangat antusias, terkagum dengan adegan laga yang dipertontonkan di film. “Kau tahu, itu namanya pencak silat. Hanya orang Indonesia yang tahu tehniknya, jadi kalau versi amerikanya dibuat nanti, mereka akan menunjuk sang pemeran utama,” saat layar menunjukkan sosok sang pemeran utama, Ibu Charlie menunjuk,” Dia.. dia akan menata koreografi versi Amerikanya. Dia aneh sekali, jago berkelahi tapi takutnya sama orang yang makan krupuk. Lucu sekali!” Wanita itu tertawa saat menyatukan kedua telapak tangannya membentuk tepukan.

Charlie tidak menggubris perkataan Ibunya. Keningnya semakin berkerut, entah kenapa dia merasa bisa menilai film itu. dan entah kenapa dia merasa kalau dunia film pernah dia jalani. Hingga suara-suara asing muncul lagi. Berselang-seling dengan suara ribut di televise, namun berangsur-angsur suara televise menghilang. Tinggallah suara-suara aneh yang mendominasi.

“Menurutku film ini sangat buruk!”

Suara itu terdengar parau, seperti suara pria yang lemah yang bahkan menopang tubuhnya sendiri pun tak bisa.

“Kita memang punya penilaian sama. Kau benar-benar mirip Andrea.”

Andrea, siapa andrea? Charlie mengerjapkan mata. Dia merasakan kemarahan yang tak biasa, marah karena dibandingkan dengan wanita lain.

“Kau masih juga mengingat wanita tua itu!”

Apakah itu dia? Dia benar-benar marah dibanding-bandingkan dengan Andrea?

“Cukup, Charlie Bouwens!”

Lelaki itu memanggilnya Charlie Bouwens. Mata Charlie mengerjap. Seketika suara-suara itu menghilang, berganti dengan suara dari televise lagi. Nyanyian penutup tanda berakhirnya film. Ibunya menyalakan lampu kembali. Charlie memandang sekeliling ruangan, mengingat-ingat di mana sebenarnya keberadaannya.

“Aku akan ke dapur, melihat apakah makan malam sudah siap,” Ibu Charlie langsung keluar ruangan. Charlie menoleh padanya dan mengkerutkan kening. Dengan cepat dia mempelajari situasi, lalu keluar ruangan juga. Saat berjalan di koridor, bayangannya terpantul di kaca, dia berhenti sejenak, mengamati bayangannya. “Style yang buruk,” omelnya dalam hati. Dia tampak seperti ibu rumah tangga yang tak terurus saja. Lalu menuju perpustakaan, tempat favoritnya di rumah ini.

Mata lebarnya segera tertohok pada tumpukan  buku tebal di atas meja. Entah kenapa ada hal yang menariknya untuk mendekati tumpukan itu tapi sebelumnya, dia bisa melihat foto-foto yang berjajar di meja itu. Foto pernikahannya dengan seorang pria. Dia mempelajari foto itu dengan cepat, pengantin wanita di foto itu adalah dirinya dan sang pria…

“dokter d’Varney?”

Foto yang lain segera menyapu penglihatannya, foto Nathan ketika berhasil masuk tim baseball nasional, foto Chamille, dan dia menyadari sosok di foto itu adalah Charlie d’Varney, bukan dirinya.

Sekali lagi buku tebal itu menarik perhatiannya. Colin A. Ross,  Multiple Personality Disorder: Diagnosis, Clinical Features, and Treatment, dia menyentuh tulisan di buku yang terletak paling atas tumpukkan itu. Dia menyimpulkan kalau d’Varney sudah menyadari sesuatu. Dia tersenyum tipis.

“Oh, di sini kau rupanya,” Sang Ibu tiba-tiba muncul dari balik pintu. Sekali lagi dia mengkerutkan kening, mempelajari wanita itu. “Makan malam sudah siap. Antoine menunggu kita di meja makan.”

Kesalahan wanita itu adalah meninggalkan putrinya sendiri. Dia sedikit kawatir tapi melihat sang putri berada di perpustakaan tak kurang suatu apa pun, hatinya melega.

“Tentu saja aku akan makan, Ibu. Aku ingin menemui suamiku tercinta,” dia melangkah keluar ruangan, melewati sang Ibu yang heran pada tingkahnya. Kata-katanya bernada sarkasme, terdengar begitu asing di telinga wanita tua itu. apalagi saat dia mengucapkan kalimat…

SUAMIKU TERCINTA…

 

BERSAMBUNG

 

THE MAESTRO — Part 2

THE MAESTRO

Part 2

Song of the Day

MY WAY

By. FRANK SINATRA

And now, the end is near,
And so I face the final curtain.
My friends, I’ll say it clear;
I’ll state my case of which I’m certain.

I’ve lived a life that’s full –
I’ve travelled each and every highway.
And more, much more than this,
I did it my way.

Regrets? I’ve had a few,
But then again, too few to mention.
I did what I had to do
And saw it through without exemption.

I planned each charted course –
Each careful step along the byway,
And more, much more than this,
I did it my way.

Yes, there were times, I’m sure you knew,
When I bit off more than I could chew,
But through it all, when there was doubt,
I ate it up and spit it out.
I faced it all and I stood tall
And did it my way.

I’ve loved, I’ve laughed and cried,
I’ve had my fill – my share of losing.
But now, as tears subside,
I find it all so amusing.

To think I did all that,
And may I say, not in a shy way –
Oh no. Oh no, not me.
I did it my way.

For what is a man? What has he got?
If not himself – Then he has naught.
To say the things he truly feels
And not the words of one who kneels.
The record shows I took the blows
And did it my way.

Yes, it was my way.

Sebulan berlalu, Aldian mulai sadar bahwa kehidupan harus tetap berjalan. Menanggalkan duka-lara dan berusaha melangkah kembali. Pada akhirnya Aldian menerima tawaran ayahnya untuk meneruskan usaha keluarga. Sebuah pilihan yang sangat bertentangan dengan impiannya. Rupanya kematian Alicia telah banyak membuat perubahan pada diri Aldian. Membelokkan segala usaha menjadi composer orchestra hingga harus menjadi bisnissman yang selalu dikejar waktu dan segala sesuatunya yang serba kaku, bahkan dia pindah jurusan kuliah ke fakultas ekonomi dan bisnis. Impian itu telah mati seperti sang kekasih hati.

Saat orang tuanya memutuskan pension dan menetap di villa peristirahatan di luar kota, Aldian mengajak Joana dan Mina pindah ke manshionnya. Dia benar-benar tak mau menoleh ke belakang. Ditinggalkannya rumah kecil yang penuh dengan kedukaan. Tak satu pun barang yang mereka bawa dari rumah itu selain piano tua kesayangan Alicia.

Rupanya piano tua itu sangat cocok berada di tempat yang baru. Manshion ini memang megah, dengan pekarangan bertata taman yang indah serta pagar besi yang menjulang tinggi seakan pamer keangkuhan. Di setiap sudut ruangan, terlihat tata interior dengan gaya Victoria. Dan piano tua itu mampu menambah kemewahan. Tak seorang pun bisa membayangkan hal ini bisa terjadi. Bagaimana tidak? Piano tua yang selama ini berada di antara barang-barang lapuk di rumah kecil.

Hari demi hari berlalu, Joana yang sibuk dengan sekolahnya dan Aldian sibuk dengan urusan bisnis dan kuliahnya. Piano tua itu masih berdiri kokoh. Aldian tidak pernah lagi menyentuh. Namun bukan berarti piano tua pension karena si kecil Joan selalu memainkannya setiap pulang sekolah. Gadis kecil itu masih mengingat segala yang diajarkan kakak iparnya.

Joana tidak pernah memainkan piano saat Aldian ada di rumah. Dia tahu Aldian tidak suka. Dia yakin suara piano itu akan mengingatkan segala kesedihan. Dalam hati Joana masih berharap Aldian mau bermaian piano lagi. Hal itu selalu dia panjatkan di setiap doa-doa. Membayangkan jika hari itu tiba, Aldian memainkan irama merdu hingga dia dengan gaun putih menari, melompat, tersenyum, tertawa gembira. Telah banyak segala kemungkinan yang dia bayangkan jikalau hari itu tiba. Dilaluinya hari-hari dengan harapan-harapan itu seolah semua itu merupakan pemacu semangat walau pun tahu sangat mustahil terjadi.

Pagi ini, setelah dua tahun berlalu. Joana dibangunkan oleh irama merdu. Sebuah simphoni yang indah yang dia yakini terdengar dari piano tua. Segeralah meloncat dari tempat tidur dan berlari ke sumber suara.

“Tidak mungkin!” itulah yang hadir di benak Joana saat melihat Aldian memainkan piano. Perlahan dia mendekati Aldian. Mendengarkan alunan simphoni itu dengan serius sambil mengingat-ingat lagu apa yang dimainkan Aldian. Tidak, Joana tidak tahu lagu apa itu. Dia belum pernah mendengar.

“Simphoni yang mana yang oppa mainkan?”  tanya Joana saat Aldian selesai memainkan piano.”Joan belum pernah mendengarnya.”

Aldian menoleh, lalu mencolek hidung mungil Joan dan menjawab,”Tentu saja kamu belum pernah mendengarnya, ini gubahanku sendiri.”

Joana mengambil buku not balok yang berada di atas piano. Dipandanginya satu demi satu not di paranada itu. Keningnya berkerut. “Oppa belum menyelesaikan simphoni ini?”

Aldian menghela nafas.”Simphoni itu tidak akan pernah selesai.”

“Waeyo?”

“Karena aku tak mau menyelesaikannya,” jawab Aldian datar.

Joana terkejut mendengar jawaban Aldian. Sungguh simphoni yang indah tapi sayang, Aldian tidak mau menyelesaikannya. Apa yang bisa diharapkan dari simphoni yang belum selesai? Tidak ada tema dan tidak hidup. Kenapa Sesuatu yang indah tidak bisa hidup?

Aldian menangkap kebingungan di wajah Joana. Dia tersenyum dan dengan lembut bertutur,”Mungkin kamu yang akan menyelesaikan simphoni ini suatu saat nantu, Joan.”

Joana hanya tersenyum mendengar ucapan Aldian.

“Saya tidak percaya Oppa mau main piano lagi. Terus terang hari inilah yang selama ini saya impikan. Dan sekarang Oppa akan terus main piano, kan?”

“Mungkin.”

“Lalu, apakah Oppa mau melanjutkan apa yang diajarkan padaku dua tahun yang lalu?”

Aldian tertawa, tak menyangka jika Joana menanyakan hal itu,”Tentu, Joan. Tapi aku tidak yakin apakah kamu masih mengingat pelajaran dua tahun yang lalu.”

“Joan ingat, kok. Tanpa Oppa tahu, Aku berlatih tiap hari.” Joan tertawa mengejek dan menjulurkan lidahnya. Aldian memberikan tinju pelan di dagunya. Sungguh keakraban yang indah. Tak dapat dipercaya hal itu terjadi setelah sekian lama.

Ternyata keakraban itu tetap berlanjut. Di sela-sela kesibukan, Aldian menyempatkan diri untuk memberi les pada Joana. Dia juga menyewa tutor pribadi untuk mengajari Joana music, tari dan sastra. Tiga bidang seni yang sebenarnya terlalu berat diterima oleh anak seusia Joana. Namun Joana memang cerdas, dengan cepat mampu menangkap materi-materi berat itu.

Joana tumbuh dewasa denngan segala didikan Aldian. Terkadang Mina menganggap bahwa cara mendidik Aldian ini salah. Mina selalu berpikir, Aldian ingin menghidupkan Alicia dalam diri Joana. Mina masih ingat betul ketertarikan Alicia pada music, tari dan sastra. Ya, Aldian ingin Joana menjadi Alicia kedua, begitu pikir Mina.

Ternyata Aldian berhasil. Disadari atau tidak, Joana kini benar-benar Alicia kedua. Semangatnya, minatnya, gaya bicara, cara berjalan, cara pandang terhadap hidup bahkan wajahnya yang mirip dengan Alicia.

Selama ini Mina salah menganggap Aldian sudah melupakan Alicia. Aldian telah merubah watak adik iparnya itu hingga mirip dengan Alicia. Bak seorang maestro yang selalu mengharapkan kesempurnaan ciptaannya. Tapi Mina tidak mampu berbuat apa-apa. Apalah arti Mina di mata Aldian selain hanya pengasuh Joana. Dan sebagai wali Joana yang syah, Aldian berhak menentukan segala sesuatu yang menurutnya baik bagi Joana.

“Aku tidak tahu sampai kapan semua ini terjadi. Aku tidak tahu,” suara hati Mina memendam kekawatiran dalam benaknya.

BERSAMBUNG

THE SECRET II (Temptation of Island — Part 8)

THE SECRET

(Temptation of Island)

Part 8

Angin pantai menelisir wajah Antoine saat Charlie berlari-lari kecil ke arahnya. Ada sedikit kekawatiran menyelinap saat melihat tingkah wanita itu. Kandungannya mulai kentara, Antoine memberikan peringatan padanya dan sepertinya tidak digubris. Kabar angin yang terdengar seakan lebih penting dari pada keadaannya sendiri. Kabar kembalinya Robert Cassidy dan Brian ke Seoul hari ini.

“Charlie, Stop! I’ll go there!” suara jengkel Antoine mengalahkan debur ombak yang menghempas. Para pelaut menoleh pada Charlie. Seakan dijadikan tontonan, Charlie berhenti, menghentak-hentakkan kaki tidak sabar.

Antoine berdiri di depannya dan segera kabar itu terucap dari mulut Charlie. “Kau dengar kabar itu? Cassidy telah menarik separuh kapalnya dan kembali ke Seoul!”

“Apa?” Antoine yang belum mendengar kabar itu terkejut.

“Brian tadi menelphonku. Dia menyayangkan keputusanku agar dia tidak ikut campur,” Charlie mendongak, menatap Antoine yang lebih menjulang darinya. Diremasnya kemeja di dada Antoine. “Antoine, apa maksud semua ini? Aku tidak pernah mengatakan agar Brian tidak ikut campur. Kenapa dia bilang begitu?”

Kening Antoine berkerut. “Kau pernah bertemu Brian sebelum ini?”

“Tidak pernah,” Charlie menggeleng, “Hanya percakapan lewat telephon, itu pun, aku bersumpah, tidak pernah mengatakan hal-hal seperti itu. Sejujurnya bantuan Brian sangat aku butuhkan.”

“Brian bekerja atas perintah Robert. Hanya Robert yang bisa menjelaskan semuanya.. Ayo!”

Antoine memapah Charlie ke arah pavilyun Robert. “Mau kemana?” pertanyaan Charlie membuat mereka berhenti sebentar.

“Menemui Robert.”

“Mereka menuju bandara sepuluh menit yang lalu.”

“Kalau begitu, kita harus bergegas menyusul mereka.”

Menyusul kedua orang itu,  Antoine benar-benar tak bisa mengikuti jalan pikiran Robert. Hanya sependek itukah wujud tanggung jawab Robert terhadap kecelakaan yang menimpa Camille? Jika memang waktu bagi pewaris Bouwens Inc itu untuk kembali ke Seoul sudah tiba, setidaknya dia bisa pergi sendiri. Tanpa Brian, dan tanpa menarik separuh kapal.

Antoine melirik Charlie yang membisu selama perjalanan ke bandara. Sang sopir sepertinya sudah terbiasa dengan kemacetan kota. Besok adalah perayaan Nyepi. Jika mau keluar dari Bali dengan menggunakan transportasi udara, inilah saatnya, membuat lalu lintas semakin merayap.

“Antarkan istriku ke lobi, aku harus masuk duluan.” Antoine membuka pintu mobil dan keluar, padahal jarak menuju pelataran Bandara masih beberapa meter lagi.

“Antoine,” panggilan Charlie pun tidak dia hiraukan. Pria jangkung itu sudah lari menjauh. Charlie mendengus sambil mengusap perutnya, pandangannya tak lepas dari iring-iringan mobil di depan mobilnya yang sama-sama akan memasuki lobi Bandara.

Tinggal lima menit lagi pesawat yang akan ditumpangi Robert tiba. Antoine mencari pria itu di VIP launch. Pandangan matanya menangkap sosok dua orang pria berkulit kuning di salah satu sudut ruangan. Sangat kontras dibanding warna kulit  para turis ras Kauskasia ataupun kulit wisatawan domestik.

“Cassidy.”

Robert mendongak. Antoine langsung memberondongkan pertanyaan. “Ada apa sebenarnya? Apa maksudmu dengan Charlie yang menginginkan Brian tidak ikut campur?”

Brian pun menatap keduanya dengan kening terlipat. Merasakan kecurigaan Brian, Robert berdiri dan berbisik di telinga Antoine. “Ini hanyalah cara agar pemuda itu mau pulang.”

Antoine melirik Brian. “Memangnya kenapa?”

“Pemuda itu… kau pasti ingat, kan?” Robert memandang lurus ke mata Antoine. Antoine menyipitkan mata sementara berpikir. Setelah tahu maksud isyarat Robert, Antoine menggeleng. “Tidak mungkin!”

Robert mengangguk, “Iya.”

Ada bayangan-bayangan masa lalu yang mulai menghantui kepala Antoine. Terakhir kali mereka bertemu dengan Brian kecil adalah sehari sebelum Camille lahir. Seharusnya Charlie tidak boleh melihatnya lagi, atau pun Ayah anak itu… atau…. Atau…

“Antoine,” Charlie muncul kemudian. Ketiga pria itu menatap dengan perasaan masing-masing. Robert yang ketakutan jika kebohongannya pada Brian terbongkar. Antoine yang tiba-tiba ketakutan jika Charlie terus berinteraksi dengan Brian dan Brian sendiri melihat Charlie sebagai dewi penolong yang bisa mengurungkan perintah Robert agar dia kembali ke Seoul.

Masih dengan kekawatiran, Robert berbisik pada Antoine. “Urus dia dengan baik. Jangan sampai dia tahu semuanya.”

“Nyonya d’ Varney, senang sekali anda menghantarkan kepergian kami,” Robert membungkuk pada Charlie, menawarkan basa-basi ala Korea.

“Kenapa kau menarik separuh kapal?”

Bersamaan itu, pengumuman tersedianya pesawat  terdengar. Seakan diselamatkan oleh keadaan, Robert berkata lega,”Saya sudah menjelaskan segalanya pada suami Anda, Nyonya. Dengan rendah hati saya mengaku kalau sedang kesulitan dana sekarang. Jangan kawatir. Kapal yang disewa oleh suami anda sudah lebih dari cukup.”

Charlie menaikkan alisnya. Robert melihat hal itu dan teringat sosok Charlie Bouwens. Charlie sudah menaruh curiga, mereka harus segera pergi dari Charlie. “Brian,” panggil Robert agar pemuda itu segera mengikutinya menuju pesawat. Brian yang menurut, berjalan di belakang Robert dengan menarik dua travel-bag di tangan kanan-kirinya. Satu miliknya, satu kepunyaan Robert. Saat melewati pasutri itu, Brian membungkuk hormat lalu melangkah lagi.

Tinggal Antoine saja yang tersisa di depan Charlie. Pandangan wanita itu menuntut jawaban dari suaminya. Antoine merangkulnya kemudian. “Kita kembali ke pavilyun.”

“Tidak! Sebelum kau jelaskan semuanya,” Charlie membebaskan diri dari rangkulan Antoine lalu melipat kedua tangan di dada. Antoine menggaruk-garuk tengkuk kepalanya sendiri untuk menghilangkan kegugupan. “Seperti yang dikatakan Robert tadi.”

“Lalu Brian?”

“Brian adalah tangan kanan Robert. Jasa Brian sangat dibutuhkan di Seoul.”

“Lalu yang katanya aku menginginkan Brian tidak ikut campur?”

“Itu hanya akal-akalan Robert agar Brian mau kembali ke Seoul.”

Charlie menghela nafas setelahnya. “Oh, jadi seperti itu?”

Senyum Antoine seperti dipaksakan, tapi setidaknya Charlie sudah mau dirangkul lagi. “Iya, sekarang kita kembali. Kau harus tidur siang, kalau tidak bayi ini akan protes lagi.” Tangan Antoine yang bebas mengelus perut buncit Charlie.

“Brian yang malang. Dia begitu penurut di depan Robert Cassidy.” Bukannya segera jalan, Charlie malah kepikiran Brian. “Aku bisa lihat kalau pemuda itu enggan meninggalkan Bali. Dia bersungguh-sungguh dalam mencari Chamille. Sayang…,” Charlie menatap wajah Antoine. “Kau yang lebih tahu interaksi pemuda itu dengan Camille selama di Seoul. Apakah Camille juga tertarik dengannya? Jika iya…, akan lebih baik jika Brian menjadi calon menantu kita.”

“Kau bicara seolah Camille ditemukan besok,” Antoine mulai membimbing Charlie meninggalkan ruang tunggu.

“Besok kita mulai mencari tanpa mereka.”

Antoine menggeleng,”Tidak! Besok perayaan Nyepi. Semua kegiatan terhenti selama dua puluh empat jam.” Charlie menatap Antoine dengan pandangan kurang paham. “Nanti aku jelaskan diperjalanan.”

Brian sebagai menantu keluarga d’ Varney? Dalam hati Antoine berkata tegas, tidak!

Sementara itu, Brian dan Robert  sudah berada di dalam pesawat yang menembus mega. Tidak seperti biasanya, Robert lebih menikmati penerbangannya saat ini. Dia tertidur. Hal yang jarang Brian temui jika bepergian dengan bos-nya itu. Robert selalu disuguhi dengan file-file yang harus ditanda-tangani di atas pesawat, atau menghafalkan pidato untuk pembukaan event. Tapi sekarang lain, pria super sibuk itu tertidur. Janggal memang, apalagi jika ditilik kepergiannya saat ini. Tanpa pesawat pribadi dan setengah lusin asisten seperti biasanya. Hanya ada Brian di situ. Sangat kentara jika kepergian itu terburu-buru.

Brian memandang awan dari balik jendela pesawat. Pulau Bali telah tertinggal beberapa kilo meter dibawah mereka. Sebentar lagi kesibukan di Seoul menanti. Brian tidak tahu bagaimana harus kembali ke masa itu, meninggalkan impiannya atas Camille. Walau pun gadis itu mungkin sudah mati dimakan ikan seperti anggapan orang-orang lokal Bali, seperti halnya Charlie, Brian percaya kalau Camille masih hidup. Brian bisa merasakannya. Setiap malam, gadis itu menghantui tidurnya, menyerukan keinginan agar Brian tak berhenti mencari. Hanya tinggal satu kapal yang ada dibawah komandonya dan itu pun juga dibawah komando Charlie. Tanpa uang Robert Cassidy, kesembilan kapal itu ditarik karena kehabisan dana. Brian mengutuki kemiskinannya.

Bayangan Camille datang lagi di angannya. Senyum lebar Camille saat dia mengajak gadis itu di Namsan Tower. Dia sudah benar-benar jatuh cinta waktu itu. dia jatuh cinta pada karakter Camille yang apa adanya. Spontanitas Camille yang selalu menunjuk jika ada obeyek menarik yang terlihat dari kereta gantung sembari berucap,”Look! So tiny from here.” Dan dia tersenyum. Camille belum begitu fasih berbahasa Halyu. Beberapa kalimat bahkan serasa lucu terdengar, namun dalam sehari peningkatan ‘conversation’nya bertambah.

“What is lover gate?” tanya Camille saat menuruni kereta gantung.

“Lover gate? Jembatan cinta,” jawab Brian asal. Camille memberikan jotosan kecil di bahu pria itu. “I know it! Maksudku kenapa diberi nama seperti itu?”

“Kau ingin tahu?”

Camille mengangguk.

“Ayo, ikuti aku,” Brian menarik lengan Camille menuju jembatan cinta. Sepertinya Camille cukup cerdas menangkap maksud ‘lover gate’ saat melihat jembatan itu. gembok-gembok yang dikaitkan hampir memenuhi besi pembatas jembatan. Camille bahkan mengeja salah satu nama di situ. “Kim… Sang..

“Kim Sang Gun,” potong Brian.

“Yah, kau mengacaukan belajar membaca huruf Halyu-ku.” Camille jadi cemberut. Brian terkekeh melihatnya. Namun mata Camille mengerjap kemudian. Brian agak kikuk.

“Jadi …. Pasangan-pasangan itu mengaitkan gembok di sini, lalu membuang kuncinya di laut agar hubungan mereka abadi, begitu?”

Brian mengangguk. Seolah memikirkan sesuatu, Camille mengetuk-ketukkan jari telunjuk di bibirnya. “Bagaimana kalau kita mengaitkan gembok kita?” Brian terbatuk-batuk mendengarnya.

“Hei, jangan berlebihan begitu,” Camille menyenggolkan bahu kanannya ke bahu kiri Brian. Kedua tangannya masih meraba satu persatu gembok yang ada di situ. “Kita bukan pasangan,” kilah Brian.

“Kita pasangan, kok. Pasangan teman, kan?” Camille menatap mata Brian. Brian memalingkan pandangan dari Camille. “Tidak harus pasangan kekasih, kan? Persahabatan yang tulus juga impian setiap orang.”

Brian masih saja menatap pemandangan di bawah jembatan. Pasangan sahabat? Benarkah bisa mengkaitkan gembok di jembatan? Mungkinkah persahabatan itu berubah jadi cinta?

“Ah, aku tak mau tahu,” Camille menyeret lengan Brian.

“Kemana?” tanya Brian.

“Mencari gembok, tentu saja!”

Dan gembok mereka pun terpasang. Bersama gembok-gembok pasangan lain. Gembok dengan nama mereka berdua. Brian pun berharap jika nantinya cintanya bersambut. Sedangkan Camille… sampai saat ini perasaan gadis itu masih misteri  bagi Brian. Hanya Camille yang bisa menjawab kegundahannya jika gadis itu ditemukan utuh dan sehat. Jika tidak, mungkin misteri itu akan terkubur bersama ikan-ikan di perairan Nusa Dua.

—oOo—

Mereka benar-benar melakukan sumpah di depan salib. Pagi hari itu adalah awal yang baru bagi keduanya. Camille menyeret Kwang ke depan salib. Antusias dan percaya diri. Kwang yang agak ragu pun menengadah ke salib yang menjulang beberapa centi dari mereka. “Lalu… apa yang harus aku lakukan?”

Camille tersenyum dan menyenggol bahu Kwang. “Bersumpahlah.”

“Demi apa Camille? Kau tahu kan…

“Ya ya ya,” Camille menggerakkan bola mata jengkel. Udara terhembus dari hidungnya di atas mulut yang dimonyongkan karena kesal. Telunjuk Camille terarah pada Kwang kemudian. “Oke, aku dulu yang bersumpah dan kau harus mengikutiku.”

“Terserahlah,” Kwang menggedikkan bahu. Camille mulai menatap serius salib yang berdiri kokoh. Perlahan tangan kanannya menggapai pergelangan tangan kiri Kwang. Kwang menoleh saat merasakan tangan hangat Camille menggenggam tangannya dan mendengar gadis itu mengucapkan sumpah setia. “Aku, Camille Louis d’Varney bersumpah untuk menjadi istri Shin Hyun Kwang. Selalu bersamanya dalam suka dan duka sampai ajal memisahkan kami berdua.”

“Jadi kalau aku mati, kamu kawin lagi?” tanya Kwang. Camille langsung melotot. Kwang telah mengacaukan suasana khidmat yang sedang dia bangun. “Pertanyaan macam apa itu?” Kuku panjang Camille mencubit. Kwang meringis sambil mengelus bekas cubitan Camille di lengannya.

“Giliranmu,” perintah Camille.

“Oh, oke..,” Kwang berdehem sebab dirasa tenggorokannya mengering. “Seperti tadi, kan?” Camille tambah melotot. Kwang masih saja bercanda. “Oke, oke… dengarkan ini, Cantik.”

Tidak seperti Camille, Kwang memilih menatap wajah Camille saat mengucapkan sumpah. Perlahan kedua tangannya menangkup wajah Camille. Mata lebar Camille mengerjap tepat dibawah pandangannya, sinar keemasan cahaya pagi terpantul di rambut Camille yang coklat kemerahan. Udara pagi dan rasa malu menyebar di pipi gadis itu, mamunculkan rona kemerahan yang menambah kecantikannya. Dan Ya… Kwang bersumpah. Kwang bersumpah demi cinta mereka.

“Aku, Shin Hyun Kwang bersumpah untuk menjadi suami Camille Louis d’Varney. Selalu bersamanya dalam suka dan duka sampai ajal memisahkan kami berdua.”

Kwang membungkuk, menggapai bibir Camille. Ciuman hangat menggetarkan jiwa Camille di pagi hari. Liar, kasar dan menuntut. Benar-benar membuat Camille sesak nafas. Kwang mendengar Camille yang megap-megap bagaikan ikan yang dikeluarkan dari habitat airnya, sedangkan tubuh Camille bergolak di dadanya, bisa dipastikan kaki gadis itu sudah kehilangan daya menyangga. Mungkin sudah jatuh tersimpuh jika lengan Kwang tidak melingkari punggungnya. Saat Camille benar-benar menyerah, Kwang melepaskan ciuman dan menatap wajah pengantinnya yang semakin memerah.

“Masih kuat berdiri, Sayang?”

Tentu saja tidak. Camille benar-benar lemas. Kwang tersenyum menggoda.

“Kau membuatku sakit. Gendong aku!”

Kwang terkekeh mendengarnya. “Oke,” pria itu membelakangi Camille lalu berjongkok. “Naiklah ke punggungku.”  Kwang bisa merasakan Camille langsung memeluk punggungnya. Pria itu berdiri, menggendong Camille di punggungnya menuju rumah pohon.

“Kau tahu … seperti inilah pertama kali aku mengangkatmu di pulau ini,” Kwang menceritakan awal mereka terdampar di pulau ini. Camille yang menikmati punggung Kwang, menempelkan pipinya mencari kehangatan. “Benarkah?”

“He-eh,” Kwang mengangguk, dia merasakan senyum Camille di balik punggungnya.. “Tapi dengan posisi kepala di bawah,” sambungnya sambil tertawa. Jotosan Camille terasa kemudian. “Jahat sekali.”

Tawa Kwang semakin berderai. “Kau berat sekali waktu itu. Sekarang juga berat tapi tidak seberat dulu.”

“Pulau ini membuat berat badanku menyusut.”

“Tidak,” sanggah Kwang. Mereka sudah sampai di depan rumah pohon. “Mungkin karena waktu itu, aku mengangkatmu dalam keadaan bingung.” Kwang merendahkan tubuh hingga Kaki Camille bisa  menapak sendiri di tanah lalu menghadapi gadis itu yang sudah meletakkan kedua tangan di dadanya. “Dan sekarang…, dalam keadaan apa kau mengangkatku?”

Kwang mencium kening Camille. “Dalam keadaan bahagia, tentu saja.” Camille pun menghambur ke pelukan Kwang. “Oh, Kang… aku benar-benar mencintaimu. Sungguh!” Kali ini gadis itu yang membuat Kwang sesak nafas.

Kwang mengelakkan tubuhnya dari rangkulan Camille. “Ehm, tidak-tidak! Jangan katakana kau akan pergi dariku pagi ini,” Camille mempererat pelukan.

“Jika tidak bekerja, kau harus terima hanya makan pisang seharian, Camille.”

Namun kepala gadis itu masih menyender di dadanya. Saat Kwang menunduk, dia yakin kalau mata Camille memejam. “Aku tidak mau memasak hari ini. Kita makan diluar saja, yuk!” Kwang terkekeh saat mendorong tubuh Camille demi melepaskan pelukannya. “Kau semakin ngacau.”

Makan di luar? Memangnya ada restoran buka di pulau?

Camille mendengus. Kwang mulai meraih tas anyaman yang berisi perlengkapan berburu. Dia berkata ketus saat tas anyaman bertengger di punggung Kwang,”Aku mau makan daging kelinci malam ini!”

Kwang menoleh,”Jika kau masih menahanku, elang akan mendahuluiku memangsa kelinci.”

“Setidaknya itu sepadan karena kau meninggakanku di hari pertama pernikahan.” Camille melipat tangannya di dada, mendongak dengan congkak. Kwang menggeleng-gelengkan kepala, tertawa keras. “Lucu sekali,” katanya sambil mengucek puncak kepala Camille seperti anak kecil.

“Aku pergi,”

Camille mendengus lagi.

Pulau ini menjanjikan pemandangan eksotis bagi pengantin baru tapi juga neraka kelaparan bagi orang-orang yang malas bekerja. Tidak ada layanan hotel bintang lima di sini. Semua tersedia, tapi mereka harus berusaha meraihnya. Tidak ada istilah ‘meminjam tangan’ atau pun ‘bantuan’.

Ambillah sendiri atau tidak sama sekali!

Camille sudah bisa menerima cara berpikir Kwang saat membakar ubi jalar di depan pondok. Jika tidak bekerja, jangan harap bisa makan! Atau makan saja pisang-pisang persediaan itu, membiasakan diri bertingkah laku seperti monyet dan bersiap-siap mendapat serangan migraine. Tindak-tanduk Kwang adalah wujud tanggung-jawabnya terhadap diri Camille, dan Camille berusaha memenuhi tanggung-jawabnya sendiri. Camille tersipu di depan bara api. Memikirkan bagaimana dirinya sebelum terdampar dan siapa dirinya sekarang, seorang istri yang memikirkan tanggung-jawab. Dia harus kensekuen dengan langkah yang telah diambil.

Camille berdiri lalu masuk pondoknya. Rumah pohon itu perlu sentuhan feminine, setidaknya malam ini. Malam pertama mereka. Rona merah semakin melebar ke cuping telinga Camille. Dia menuruni tangga tergesa-gesa. Berjongkok di depan bara api demi mengambil ubi jalar yang sekiranya telah lunak untuk ditaruh di tempat penyimpanan lalu menuju hutan setelah memadamkan api.

Sifat melankolisnya lebih menonjol sekarang, saat dia mengumpulkan bunga-bunga liar yang dia kempit di telapak tangan kirinya. Sikap ilmiahnya lenyap sudah, dia tidak menganalisa dari familia, atau spesies apa bunga itu seperti biasanya. Masa bodoh, lah. Yang dia perhatikan adalah keindahan, keharuman dan kepantasan bunga-bunga itu menghiasi pondoknya.

Dan Camille pun melakukannya. Pondok dengan sentuhan feminine. Dia mengingat-ingat apa saja yang Charlie lakukan ketika menghias rumah. Melakukan ‘Mom’s miracle’, seperti yang dikatakan Charlie. Rumah yang kusam pun jadi serasa hangat karena ‘mom’s miracle’ dan Camille menikmatinya saat berbaring sejenak di tempat tidurnya, meluruskan punggung setelah seharian menghias rumah.

“Home sweet home,” desah Camille menirukan kalimat Kwang ketika melihat pondok ini pertama kali. Senyum sipu menghias kemudian, dia membenamkan wajahnya ke tempat tidur. Malu sendiri dengan buah pikirannya.

Saat dia menatap langit-langit kembali. Udara semakin panas. Camille bangkit sambil mengibas-ngibaskan tangannya di dada lalu keluar pondok menuju air terjun.

Kwang sampai di pondok sepuluh menit kemudian. Sepi!

Tidak ada senyuman istri menyambut? Kwang tertawa sendiri sambil menggelengkan kepala, menghalau pikiran itu. Dikeluarkannya kelinci hasil buruannya dari dalam tas lalu disembelih dan dikuliti. Camille pasti tidak tega memakannya jika melihat pembantaian ini karenanya dia selalu menghindari dari Camille saat mengurusi hasil buruannya. Biasanya Camille tinggal memasak sambil berkicau, menanyakan ‘daging apa ini?’ atau ‘dimana kau mendapatkannya?’ tapi siang ini, Kwang ingin membebaskan Camille dari kewajiban memasak karena Kwang sendiri yang akhirnya memanggang daging kelinci itu.

Kelinci panggang sudah siap, namun Camille tidak juga nampak. Rahang Kwang mengeras saat meletakkan kelinci panggang itu di tempat penyimpanan, setelah melewati ruangan pondoknya yang tidak seperti biasanya. Ruangan itu mengesankan, namun keterlambatan Camille membuat Kwang kesal. Apalagi rasa lapar sudah membuahkan bunyi gemuruh di perutnya. Kwang memakan ubi bakar sebagai pengganjal perut lalu mencari Camille.

Tidak susah rupanya menemukan gadis itu. Camille tengah menikmati mandinya. Kwang mengelus dada, mengucap syukur. Hari semakin panas, sebentar lagi kawanan monyet akan segera turun, Camille tidak mungkin berebut sungai dengan monyet-monyet itu. Kwang melemparkan batu kecil tepat di depan Camille, memperingatkan gadis itu pada kehadirannya.

“Sebentar lagi monyet-monyet akan memenuhi sungai. Kau harus naik sekarang!”

Camille menoleh, binar matanya terpancar seiring ulasan senyum. Rambut panjangnya yang basah menempel, melewati di kedua sisi pundaknya demi menutupi dadanya yang telanjang. Kwang terpaku sesaat lalu membuang muka. Gadis itu menyadari pesonanya sendiri. Dia tersenyum, mengerling pada Kwang saat merambat dalam air menuju Kwang. Pria itu berkacak pinggang, berdiri di atas batu pinggir sungai dengan kepala mendongak, menghindari pemandangan erotis yang disuguhkan Camille.

Dan Camille mendekat padanya, masih di dalam air mendongak. “Sepertinya kau yang harus menangkapku,” tantang Camille.

“Tidak akan!” jawab Kwang yakin.

“oh, ya?”

Camille menghentakkan kakinya, mendorong tubuhnya ke atas lalu meliuk. Air bergelepak menerima dentuman punggungnya. Kwang kawatir mendengar dentuman itu lalu memandang ke bawah, ke arah Camille yang ternyata sudah berenang gaya punggung. Tak elak lagi! Kwang kalah lagi! Sekali lagi Camille berhasil menarik perhatiannya. Kwang bisa melihat tubuh polos gadis itu  meliuk-liuk di dalam air. Saat mentari yang tepat di ubun-ubun menyinari tubuh Camille di antara aliran air, menambahkan desiran  aneh di benak Kwang untuk menjamah.

“Tangkap aku! Aku baru mau naik!” tantang Camille.

Kwang mengerang. Tangannya terkepal menahan gejolak dadanya yang turun naik. Gadis itu…? Benar-benar membangunkan singa yang sedang tidur! Tunggu! Singa siapa yang tidur?

Brengsek!

Benar saja. Satu demi satu monyet mulai menuruni tebing terjal di sisi kanan sungai. Kwang mengerang lagi sebelum menanggalkan semua pakaiannya lalu terjun ke air. Gadis itu semakin nakal saja, itulah yang ada di benak Kwang saat tubuhnya membentur permukaan air. Dia berenang mengejar Camille, dan gadis itu sengaja menyelam, menghindarinya. Kwang membenamkan diri lebih ke dalam, mencari Camille dengan pandangan yang terbatas warna biru air di sekelilingnya.

Camille sudah tidak ada. Kwang menggerakan kakinya, mendorong tubuhnya ke atas, mencari Camille dengan kepala di atas permukaan air lalu mendongak ke batu tempat dia tadi berdiri. Camille sudah menggantikannya berdiri berkacak pinggang di batu itu, polos dengan rambut basah dan rembesan air yang mengalir jatuh di antara kedua kakinya. “Kau lamban sekali!”

Kwang semakin gemas. Dia berenang ke arah batu dan Camille sudah berpakaian. “Aku harap kau tidak keberatan pulang telanjang.”

Sial! Camille pulang ke pondok dengan membawa pakaiannya. Kwang urung keluar dari air sementara para monyet sudah mulai mengepung area itu.

 Awas kau, Camille!

Camille tertawa saat melihat penampilan Kwang sesampainya di pondok. Lilitan daun pisang menutupi bawah tubuh pria itu. Camille sama sekali tak bisa menghentikan tawanya hingga air matanya berderai.

“Tidak lucu!” Kwang menunjuk padanya lalu masuk ke pondok. Camille berhenti tertawa, menggedikkan bahu lalu melahap lagi ubi bakar di tangannya. Di dalam pondok, Kwang bisa mendengar tawa Camille yang timbul tenggelam, mungkin Camille masih kesulitan menahan tawa atau mungkin masih teringat kejadian di sungai. Camille ditambah keerotisan pulau tropis yang misterius ini, jawabannya adalah kehancuran. Itulah yang dipikirkan Kwang saat meraih salah satu pakaiannya, hasil rajutan Camille yang terakhir. Benarkah itu? Dan dia menikahi Camille untuk hancur bersamanya? Mungkin!

Kwang mendesah saat berpakaian.

Saat dia keluar dari pondok, Camille sudah lenyap lagi. Sekali lagi Kwang mencari keberadaan gadis itu dan menemukannya sedang duduk di atas pasir pinggir pantai sambil memeluk lutut.

Kwang menepuk punggung Camille dan duduk di sampingnya saat kepala Camille menoleh sesaat sebelum memandang lagi ke laut lepas. Keduanya diam dengan pikiran masing-masing. Angin memainkan rambut keduanya. Buih yang ditinggalkan oleh ombak semakin lama merambat, mendekati mereka seiring semakin menggelincirnya matahari. Perlahan kepala Camille menyandar ke pundak Kwang. Dia tertidur. Kwang mengamati wajahnya yang tampak tenang jika tertidur.

“Kau lebih manis kalau seperti ini,” desis Kwang. Seolah itu adalah lagu nina bobo, Camille tersenyum dalam tidurnya. Kwang menghela nafas dan memandang laut lepas kembali. Tidak ada kapal yang melintas hanya ada air yang berbatasan dengan langit di satu garis horizontal. Kwang mulai bisa menerima kenyataan kalau mereka harus berada di pulau ini lebih lama. Lebih lama atau bahkan mungkin selamanya.

 Selamanya… seperti janji yang mereka ucapkan. Itu mungkin lebih baik atau mungkin buruk. Entahlah… mungkin benar kata Camille, apa perdulinya pada hari esok? Mereka menikmati malam. Berpesta dengan kelinci bakar dan merengguk manisnya air yang dicampur dua tetes madu persediaan. Bersulang dengan air madu itu dan berdansa dengan iringan lagu yang keluar dari mulut Kwang. Lagu berbahasa Halyu yang terasa asing di telinga Camille hingga Camille menyanyikan lagunya sendiri.

“Kau pedansa yang buruk,” sindir Camille di akhir dansa mereka.

“Aku bukan kaum sosialita.” Kwang duduk, menghadap jendela yang mengarah ke laut. Camille ikut duduk di sampingnya, menulusur pandang ke obyek pengamatan Kwang. “Apa yang kau pikirkan?”

Kwang menoleh sesaat, tersenyum hingga Camille bisa mendengar desahan nafasnya lalu mengamati laut lagi saat Camille menatap wajahnya. “Entah ini perasaanku saja atau apa, yang pasti aku merasakan kalau pulau ini lebih sunyi malam  ini.”

“Bukankah setiap hari memang pulau ini sepi?”

Kwang mengangguk.”Tapi ini lain, dengarlah… bahkan burung hantu pun enggan berbunyi.” Camille mengapitkan rambut di belakang kedua telinganya, ikut mendengarkan alam bersama Kwang. “Kau adalah pelaut, semua ini tentu lebih mahir bagimu, mendengarkan tanda-tanda alam.”

Kwang terkekeh pelan.”Camille, kenapa pulau ini serasa jauh. Aku bahkan tidak bisa menangkap cahaya dari mercu suar pulau terdekat yang lebih beradab. Pernahkah kau berpikir di mana kita?”

Camille menggelang. “Kita menghilang dari peradaban, Kang. Terimalah itu!” Gadis itu menyandar di pundak Kwang, sama seperti kejadian di pantai. Kwang mengulurkan lengan, merangkulnya dan dia menangadah, menatap mata Kwang yang tepat di atas matanya. Mata itu seakan mencari sesuatu dibalik mata Camille, meragu lalu memejam. Kwang menunduk, menempelkan dahinya di dahi Camille lalu mendesah. “Kenapa kau semakin indah di mataku.”

Pada mulanya mata Camille ikut memejam, namun mendengar perkataan Kwang tadi, dia menatap mata Kwang yang masih terpejam itu dengan dahi yang masih menempel di dahinya. “Karena itukah kau menutup matamu?”

Kwang mengangguk pelan.

“Bodoh sekali.” Camille menangkup kedua belah pipi Kwang, mencium bibirnya lembut. Lalu tangan kanannya menarik kepala Kwang, membekapnya di dada. “Kalau pun kau menutup matamu, Kang.. aku nyata, di mana pun kau mengingkariku… bayanganku akan menghantuimu seumur hidup.” Camille menangis saat mengatakan itu, memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika mereka ditemukan. Kwang mungkin terlalu lemah menghadapi dunia, dan mungkin meninggalkannya karena tidak kuat mendengar ocehan para pendengki. Dan jika itu terjadi, Camille akan mengejarnya ke mana pun. “Aku mencintaimu, Kang. Tidakkah kau percaya?”

Kwang mengangguk di dada Camille. Mengangkat kepalanya dan mengusap air mata di pipi Camille. “Aku membuatmu menangis lagi.”

Camille tertawa walau air mata masih mengalir. “Iya, dan kau harus membayar.”

“Hm, sayangnya aku tidak punya apa-apa untuk membayar,” Kwang berdiri, Camille memegangi kakinya. “Bagaimana jika kau membayarnya dengan cintamu?”

Camille masih duduk, melihat Kwang yang menyipitkan matanya, tidak faham atau pura-pura tidak faham. “Ini malam pengantin kita, Kwang.”

“Kau tidak sadar dengan apa yang kau katakan.” Kwang melangkah lagi, namun genggaman Camille di pergelangan kakinya semakin kuat. “Aku sadar seratus persen!” Camille setengah menjerit.

“Tidak!”

Camille berdiri dengan lututnya, tangannya terulur berusaha membuka daerah terlarang Kwang. “Camille, hentikan!” Kwang mundur dari Camille.

“Tidak akan!”

“Kau mabuk!” Kwang menuju pintu keluar. “Daging kelinci itu membuatmu mabuk!”

Camille menghentak-hentakkan kakinya di lantai pondok, membuat bambu-bambu itu berdecit di bawahnya. “Ya, dulu kau menuduhku gila, sekarang mabuk!” Kwang sudah menuruni tangga. Seperti biasanya, menuju pantai jika sedang kesal. Camille berteriak di ambang pintu,”Ke pantai lagi! Selalu saja itu yang kau lakukan kalau menolakku!”

Kwang memang ke pantai. Berjalan kesal, menyepak-nyepak pasir di kakinya dan berteriak. Dadanya serasa meledak ketika berteriak. Camille membuat segalanya serasa gila. Lautan menelan begitu saja teriakannya, membalas dengan suara dentaman ombak ke karang-karang terjal tapi setidaknya ganjalan itu telah melega dan Kwang bisa bernafas kembali. Dia kembali ke pondok dan menemukan Camille sudah di atas tempat tidur membelakanginya dan menangis sesenggukan.

Kwang menghela nafas. Sudah pasti gadis itu menangis. Malam ini adalah malam pengantinnya dan sang suami telah menolaknya. Kwang berjongkok dengan lututnya dan menepuk pundak Camille. “Camille.., aku… .”

“Apa kau seorang gay?” tanya Camille di antara tangisnya. Kwang menghembuskan kekesalan di udara, tak habis pikir dengan ucapan Camille. “Apakah aku jatuh cinta dengan seorang gay?”

“Bukan!”  Kwang hampir saja berteriak. Camille mengangkat mukanya dari bantal, menatap Kwang dengan mata berkaca-kaca. Jika saja semua itu benar, Camille akan mencekik lehernya sendiri. Pikiran itu datang sesaat setelah dia melihat punggung Kwang yang semakin menghilang menuju pantai. Setidaknya itu yang bisa dipikirkan Camille, alasan kenapa Kwang selalu menolaknya.

“Kau tidak jatuh cinta dengan seorang gay,” jawaban Kwang belum juga melegakan hati Camille. Wanita itu duduk, meremas baju di dada Kwang dan menantang, “Buktikan! Buktikan sekarang!”

Baju itu robek di dada Kwang. Camille telah memporak-porandakan pertahanan Kwang. Saat pria itu akhirnya menyerangnya. Tangisan itu berubah menjadi keharuan. Camille pun tersadar. Kwang benar. Dia tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Saat semua begitu menyakitkan dan dia menjerit. Kwang gugup, berhenti dan memandang Camille yang menangis di bawahnya. “Sakit? Maaf. Ini yang pertama bagiku.”

Camille terisak. Kwang masih di dalamnya, berdenyut-denyut dan tidak berani bergerak karena takut semakin menyakitinya. Pria itu mengecup dahi Camille, seakan menenangkannya padahal dia sendiri ketakutan. Camille memberanikan diri membuka mata dan menangkap pandangan Kwang yang penuh penyesalan. “Ini juga pertama kali bagiku, Kang.” Camille berusaha tersenyum, mengelus pipi Kwang.

“Aku akan melepaskannya. Aku akan melepaskan pelan-pelan jadi kau tidak kesakitan,” Kwang berbisik di telinga Camille dan bisa merasakan Camille mengangguk. Dan seperti yang dikatakannya, Kwang mulai menarik, perlahan. Mata Camille memejam, menikmati gerakan itu di dalam tubuhnya.

“Tunggu,” Camille mendesah,”Rasanya  enak.” Kwang mengernyit. “Masukkan lagi, Kang.”

Kwang menghentakkan masuk! Mata Camille membelalak menahan nafas lalu mengeluarkannya perlahan seiring tarikan yang dilakukan Kwang. Sepertinya mereka sudah mulai menikmatinya bahkan Camille ingin ritmenya dipercepat. Kwang semakin meleleh di dalam. Camille semakin memuncak. Hingga keduanya terkalahkan. Kwang terbenam di dada Camille yang tak bergerak, merasakan kepuasan sorga malam pengantinnya.

“Kau bukan gay. Suamiku bukan gay.”

Dan hanya wanita konyol yang menganggap Kwang seorang gay.

Camille ditambah keerotisan pulau tropis yang misterius ini, jawabannya adalah kebahagiaan Kwang. Kwang mengkoreksi anggapannya. Seminggu penuh mereka bertingkah seperti pengantin baru. Mengarungi pulau dalam kebersamaan, berciuman bahkan bercinta di bawah air terjun sampai-sampai tak memperdulikan sekawanan monyet yang semakin mendekat. Seakan sudah terbiasa dengan keberadaan mereka, makhluk-makhluk primata itu mengabaikan, seolah ada batasan antara mereka.

Mereka masih suka berselisih. Kwang juga masih suka mengadu ke pantai jika Camille membuatnya kesal atau sekedar berdiri memandang lautan, menatap jikalau ada titik kecil yang semakin mendekati pulau dan berubah menjadi kapal yang menjemput mereka. Lalu Camille berjalan di belakangnya dan bertanya,”Menanti kapal lagi?”

Kwang mengangguk.

“Kita menghilang dari peradaban, Kang. Terimalah itu.”

Kwang tersenyum lalu merangkul istrinya. Berdua mereka menuju pondok. Sekali lagi menikmati malam  penuh dengan keintiman. Kepala Camille yang selalu tertidur di dadanya atau dia yang terkulai di pundak Camille setelah bertekuk lutut di bawah kerlingan istrinya itu. Gadis manja itu sudah berubah menjadi penyihir kecil, menjeratnya diam-diam dan tak mungkin mudah melepas. Seutuhnya, penyihir kecil itu menggodanya namun bersamaan itu… penyihir itu juga menyerahkan segala apa yang ada seutuhnya padanya. Itulah pusaran gelombang penjerat yang tiada akhir dan Kwang tenggelam tanpa ampun. Tak berkutik.

Ini mimpi?

Tidak.

Ini nyata!

Kwang mendapatkan kembali kesadarannya. Suara pagi membuatnya terbangun. Camille sudah tak ada di sisinya. Mungkin Camille tidak tega membangunkan. Kwang tersenyum membayangkan malam penuh pergulatan yang pasti juga menguras tenaga Camille. Namun Camille bangun lebih dulu darinya. Camille semakin rajin akhir-akhir ini. Kwang semakin merasa bagai suami yang sangat disayangi. Senyuman di wajahnya semakin melebar. Dia duduk di tempat tidurnya, meliukkan punggungnya seiring rentangan tangannya ke belakang.

Dia bermaksud keluar pondok dan terkejut sampai di ambang pintu. Camille sudah terkapar lunglai di depan perapian. Bergegas Kwang mendekati Camille, berjongkok untuk mengangkat Camille di pangkuannya. “Camille, kau kenapa?”

Susah payah, Camille membuka matanya. “Kwang, rasanya aku mau mati.”

“Camille! Camille!”

Camille pingsan lagi. Kwang mengangkat Camille di dadanya, masuk ke pondok. Saat Camille terbaring di tempat tidur, Kwang memeriksa setiap bagian tubuhnya.  Tidak ada luka serius atau bekas gigitan binatang buas, yang ada adalah tanda kebuasannya semalam. Muka Kwang memerah karenanya.

“Camille… Camille,” Kwang menepuk-nepuk pipi Camille. Mata Camille terbuka perlahan. “Apanya yang sakit, Sayang.”

Senyum tipis timbul di bibir Camille. Tangan Camille terulur, menyentuh dagu Kwang yang ditumbuhi jenggot lebat.  “Aku tidak menstruasi bulan ini.”

Mata Kwang membelalak, mulutnya setengah ternganga. Pengakuan itu…, itu berarti…

“Aku hamil, Kang.”

Kwang menggelengkan kepalanya. Tubuhnya serasa lemas. Dia mundur, keluar dari pondok, menuju pantai. Binar wajah Camille pun meredup. Kabar ini seharusnya menggembirakan tapi reaksi Kwang sama sekali berbeda dengan yang dia perkirakan. Camille bergerak menyamping, meringkuk memegangi perutnya. Ada kehidupan di dalamnya, kehidupan yang akan mengikat keduanya seumur hidup. Namun sekali lagi Kwang meragu, entah apa yang diragukannya. Camille terisak memikirkannya.

Kwang memasuki pondok sepuluh menit kemudian. Camille masih dalam posisi itu, meringkuk membelakanginya di tempat tidur.  Kwang berbaring, memeluknya, membenamkan wajahnya di rambut Camille. “Maafkan, aku. Aku hanya bingung tadi.”

Camille mengangguk dalam isakkan. Kwang mempererat pelukannya, seolah bisa menenangkan tangisan Camille dengan berbuat demikian. “Aku senang mendengarnya. Tapi membayangkan kau melahirkan di pulau ini tanpa bantuan medis, membuatku takut.” Kwang mendesah. “Aku berdoa tadi. Berharap kita segera ditemukan sebelum anak kita lahir.”

Camille membalikkan tubuhnya, menghadapi Kwang. “Kau berdoa? Pada siapa?”

Kwang menghapus air mata Camille. “Pada sang Budha. Dari kecil, bibiku mengajariku agama itu.”

“Oh,” Camille tersenyum.

“Kau tidak keberatan, kan? Kalau aku memilih agama keluargaku?”

Camille menggeleng. “Anak ini memberikan keajaiban pada Ayahnya. Lihat! Kau sudah memutuskan pegangan hidupmu.” Kwang menghelakan senyuman. “Camille.., bagaimana jika kau harus melahirkan di sini?” Ketakutan itu masih menghantui Kwang.

“Kenapa? Ada kau. Kau sudah pernah membantu Ibumu melahirkan. Kau bisa membantuku.”

“Ibuku meninggal setelah itu.”

Camille tersenyum, memberikan tatapan meyakinkan pada suaminya. “Aku lebih kuat dari Ibumu. Lagi pula, monyet saja selamat melahirkan di pulau ini,” candaan Camille itu serasa garing di telinga Kwang.

“Kau bukan monyet, Sayang.”

Camille mengelus dada Kwang. “Tenanglah, kau terlalu tegang.”  Sekali lagi Kwang bergerak, mengukung Camille dalam pelukannya. “Kau pasti akan kesakitan, Sayang. Melahirkan itu sakit. Aku bisa melihatnya di mata Ibuku waktu itu.”

Camille mengistirahatkan dagunya di pundak Kwang. Menepuk-nepuk punggung Kwang demi melegakan pemikiran suaminya itu. “Aku akan menahan rasa sakitnya, bahkan akan berusaha menikmatinya demi kau. Asalkan kau selalu bersamaku, aku akan baik-baik saja, Kang.”

Kwang menangis pagi itu. Tangisan pertama yang laki-laki itu lakukan setelah bertahun-tahun yang lalu, saat Ibunya meninggal. Dan sekarang dia menangis demi Camille, demi anak di dalam rahim Camille. Dia akan menjadi seorang Ayah. Ya Tuhan, seorang Ayah di umurnya kedua puluh lima dan itu membuatnya bahagia. “Terima kasih, Sayang. Terima kasih.”

—oOo—

“Kita harus kembali ke Toronto,” kata-kata Antoine bagaikan dentuman badai di telinga Charlie. Malam semakin kelam memikirkan Camille yang belum ditemukan dan laki-laki itu mengajaknya pulang. Charlie bergerak, menekuri lagi peta dan hitungan navigasinya. “Kau pulanglah sendiri. Aku akan bertahan di sini.

Antoine menghelakan kekesalan di udara. “Charlie, Ayah sakit di Toronto.”

“Aku tahu!” Charlie membentak. “Tapi di sini cucunya belum ditemukan!”

“Charlie, kau tahu benar kalau aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini. Dalam keadaan hamil! Ayolah, Sayang. Kau masih bisa mengomandoi pecarian dari sana.”

Charlie berbalik menantang Antoine. “Kenapa kau selalu menganggapku lemah! Bukan kau saja, bahkan Nathan, anak kita! Hanya Camille yang menganggapku dewi penolong! Hanya Camille! Dan kau mengabaikannya! Kau membuatnya menghilang di lautan! Kau dulu juga membuatku hampir kehilangannya sebelum melahirkan!”

Antoine mendengar semuanya dan hatinya ambruk.  Peristiwa itu sangat menakutkan, dia begitu ingin membantu Charlie, tapi bahkan Rhesus darahnya berbeda dengan Charlie. Dia semakin hancur mengingat siapa yang akhirnya menyumbangkan darah bagi istrinya. Pria yang seumur hidup dia benci. Charlie menyadari kehancuran itu dan meminta maaf. Tapi sepertinya perkataan Charlie tadi sudah sangat menyakiti Antoine. “Kau sudah berjanji tidak akan mengungkit kecelakaan itu.” Antoine meninggalkan kamar dengan kesal.

“Antoine, aku minta maaf!”

Pintu sudah tertutup! Charlie terduduk di ranjang mereka,  menangis sambil mengelus perutnya. “Aku sudah membuat Ayahmu marah, Sayang. Aku sudah membuatnya marah.”

Antoine menenangkan diri di pantai. Charlie adalah istri yang menyenangkan tapi terkadang tingkahnya tidak terkontrol. Dan mengingatkan peristiwa sembilan belas tahun yang lalu selalu dihindari Charlie, tapi barusan wanita itu menyinggungnya. Kecelakaan yang mengerikan, kesalahan Antoine karena mengajak Charlie ke Seoul. Kesalahan yang harus ditanggungnya seumur hidup. Dia harus berbohong dengan mengatakan kalau dialah yang mengemudikan mobil naas itu. Dia melakukan itu dan Charlie menyalahkannya. Dia tidak ingin Charlie menyalahkan diri sendiri. Dia tidak ingin jika Charlie meragukan dirinya sendiri. Oh, Damn! Kenapa harus laki-laki itu! Tangan Antoine mengepal membayangkan Nick yang berjalan ke arahnya setelah melakukan donor darah. Terhuyung-huyung tanpa memikirkan keselamatan jantungnya sendiri.

“Ini wujud permintaan maafku, Dokter. Maafkan, aku!”

Antoine ingin meninju muka Nick waktu itu. Tapi tanpa darah Nick, kelahiran Camille mungkin tidak akan berhasil karena Charlie terpaksa melahirkan secara Caesar dalam keadaan tak sadar. Untunglah pria itu meninggal enam tahun kemudian. Sementara dia  terus hidup, menceritakan kebohongan itu. Pada kenyataannya, Charlie mengendarai mobil sendiri. Brutal! Entah karena apa dan itu setelah bertemu dengan Nick. Pertemuan itu adalah pengakuan Nick. Atas dasar apa, hanya Nick yang tahu dan terkubur bersama mayatnya di tanah.

Antoine memejamkan mata dengan kepala menengadah. Berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara pantai yang lembab. Hingga panggilan Charlie membuatnya menoleh.

“Antoine, aku benar-benar minta maaf,” Charlie berdiri di belakangnya. Ujung kimononya dikibarkan angin dan dia berusaha membekap dengan tangannya. “Aku mohon maafkan aku.” Charlie maju beberapa langkah ke arah Antoine. “Aku akan ikut pulang bersamamu. Aku sudah berpikir tadi. Aku mencoba tidur sendirian di kamar itu tapi ternyata aku ketakutan.”

Antoine mengulurkan tangannya, memeluk Charlie. Istrinya menangis di dadanya. “Jangan marah lagi padaku. Aku mohon, jangan.”

“Tidak akan, Charlie. Aku juga minta maaf.”

Charlie melonggarkan pelukan, mendongak padanya. “Kapan kita pulang, Antoine?”

“Besok! Maaf jika terlalu cepat.”

Charlie menggeleng. “Aku rasa Ayahmu harus tahu tentang cucunya yang akan lahir.”

“Dia sudah tahu. Karena itu sangat ingin bertemu denganmu.” Antoine menikmati pelukan istrinya lagi. Aku mencintaimu, Charlie. Tidak akan kulepaskan.

 

BERSAMBUNG

THE MAESTRO (part 1)

THE MAESTRO

part 1

Long-long time Ago….

Rumah kecil itu memang terlihat lebih menonjol diantara rumah-rumah lain di komplek. Sebuah rumah dua lantai dengan modelnya yang sedikit kuno. Apalah arti model sebuah rumah, mengingat fungsi utamanya sebagai pelindung dari ekstrimnya cuaca. Kenyamananlah yang selama ini diciptakan manusia di dalam rumah. Dari sini kita mampu berkesimpulan betapa manusia merupakan makhluk lemah. Namun bukan hal itu yang membuat rumah pensiunan tentara-Kolonel Goo itu begitu menonjol dilihat mata, hari ini. Hal ini lebih disebabkan oleh mobil Roll Royce mewah yang terparkir di pelataran yang tak lain adalah milik Aldian Lee, calon menantu keluarga ini, yang membuat tetangga kanan  kiri mencibir karena iri. Tak ada yang menyangka bahwa salah satu cucu keluarga itu mampu menggaet Aldian. Siapa yang tidak mengenal Aldian Lee, calon pewaris tunggal pengusaha Harriot Lee. Setiap orang pasti berpikir jika hal itu hanya dilakukan untuk keluar dari kemiskinan yang menyelimuti rumah ini. Itulah mengapa rumah ini selalu dibicarakan oleh ibu-ibu kompleks, tak luput pula penghuni rumah ini yang terdiri dari Kolonel Goo, dua orang cucunya, Alicia yang kini tengah berusia dua puluh tahun dan adiknya yang baru berusia enam tahun-Joana, serta seorang nani pengasuh, Mina Im.

Kakak beradik itu sudah yatim piatu, ibu mereka meninggal karena melahirkan Joana. Hal ini bisa dimengerti mengingat umur sang ibu yang sudah tua ketika mengandung Joana, sedangkan ayah mereka yang seorang pilot itu meninggal karena kecelakaan pesawat yang dikemudikannya. Tiga tahun yang lalu, saat pertama kali mereka memasuki rumah ini untuk hidup di bawah asuhan kakek mereka. Alicia selalu mengurung diri di kamar, menangisi nasib malangnya tanpa perduli pada Joana. Sedang Joana, sikecil ini terlalu muda untuk memahami kesedihan yang ada disekelilingnya.

Betapa cepatnya waktu berlalu, hingga dalam dua tahun, kebahagiaan di rumah ini kembali. Pertemuan Alicia dan Aldian mampu mengubah pandangan gadis muda tersebut tentang kehidupan. Aldian-lah pemacu semangat hidup Alicia. Dan hari ini adalah saat pertama Alicia memperkenalkan calon suaminya itu pada sang Kakek.

Alunan melodi yang dihasilkan oleh permainan piano, kini mampu memecah suasana yang hening, sayup-sayup irama “Love story” terdengar dari ruang tengah rumah ini, menghentarkan dinding-dinding tua di sekitarnya. Terlihat dekorasi ruangan yang tanpa barang mewah kecuali sebuah piano yang kini tengah dimainkan Aldian. Kesedihan, hal itulah yang mampu ditangkap oleh setiap telinga yang mendengar lagu ini. Tak ada yang dapat mengerti kenapa dia harus memainkan melodi sedih pada saat seperti ini. Tak ada yang tahu, begitu juga Aldian. Yang dia fikirkan hanyalah bagaimana membuat kakek sang kekasih itu terkesan.

Aldian berhasil, telinga tua itu dengan penuh pemahaman menikmati alunan pianonya. Alicia tak lepas memandang dengan perasaan bangga. Dan rupanya hal ini juga menarik perhatian Joana. Si kecil Joana segera keluar dari kamar, meninggalkan tugas menggambarnya yang setengah jadi. Sambil berlari menuruni satu-satunya tangga yang menghubungkan lantai atas dengan lantai dasar. Setelah hampir sampai di ruang tengah, dia berhenti. Perlahan dia mendekati Aldian. Dipandangnya jari-jemari Aldian yang menari-nari, memencet tut demi tut piano, mengikuti not demi not yang ada di buku music hingga terdengarlah irama indah itu. Kekaguman terpancar dalam pandangan gadis kecil ini hingga mata bulat yang indah itu semakin berbinar, sementara kakek dan sang kakak yang terlena tidak menyadari kehadirannya.

Akhirnya usai sudah permainan piano itu. Kakek dan cucu-cucunya itu bertepuk tangan. Aldian pun mengucapkan terima kasih, terlihat Joana yang sedari tadi berdiri di samping kanannya. Dia tersenyum dan Joana membalas dengan tawanya yang khas anak-anak.

“Hei, siapa gadis kecil yang cantik ini?” ujar Aldian sembari mencubit pipi Joana. Alicia segera menyadari kesalahannya yang tidak mengikutsertakan adiknya dalam pertemuan ini. Dia segera memperkenalkan Joana pada Aldian.

”Dia adalah Joana, dongsaengku. Kami selalu memanggilnya Joan,” kata Alicia. “Joan, ini adalah calon suami Uni, namanya Aldian Lee.”

Joana mengangguk-anggukkan kepalanya yang mungil dan berhias rambut hitamnya yang panjang dan lebat.

“Kau suka piano, Joan?” Aldian memulai pembicaraan.

Senyuman Joana semakin melebar saja, dan anggukan kepalanya itu semakin cepat seiring jawaban dengan suara nyaring yang dia berikan,”Ne…., habis oppa mainnya bagus. Oppa mau mengajariku, kan?”

“Boleh!” Aldian mengangkat tubuh kecil Joana dan mendudukkan di pangkuannya. Dia lalu memperkenalkan Joana tentang dasar-dasar memainkan piano.

Joana tertawa-tawa saat tangannya dalam genggaman Aldian, dituntun dalam memencet tut piano, hingga lagu dengan nada sederhana terdengar dari alat music itu,’Tinckle-tinckle little star’

“Do.. do..sol…sol… la… la… sol. Fa… fa… mi… mi… re… re… do,” senandung Aldian sembari tangannya membimbing bocah kecil di pangkuannya. Dan hal itu berlanjut setiap dia mengunjungi Alicia. Rupanya Aldian memang serius  menepati janjinya pada Joana, hingga membuat Alicia sedikit kesal. Kedekatan Aldian pada si kecil Joan sering membuat Alicia cemburu.

“Kau melupakan rencana kita malam ini.” Protes Alicia, di malam itu, saat dia menghantarkan Aldian menuju mobilnya di depan rumah. Aldian memang lupa waktu, mengajari Joana sampai larut, hingga rencana mereka untuk jalan-jalan di luar pun batal.

Pria tampan itu hanya tertawa dan penuh rasa bersalah dia minta maaf pada kekasihnya yang sedang mayun itu, “Miane… .” Direngkuhnya tubuh itu lalu membawanya dalam pelukan dadanya yang bidang,”Lain kali masih ada waktu untuk kita jalan-jalan.”

Alicia masih saja kesal. “Aku benci kalau dia lebih menarik perhatianmu dari pada aku. Aku selalu iri padanya.”

Aldian melonggarkan pelukan lalu menatap lurus ke bola mata Alicia,”Iri?”

“Ne… , Iri,” pasti Alicia sambil mengelus dada bidang itu.”Aku iri karena dia tidak terpengaruh saat orang tua kami meninggal, dia masih saja bermain dengan riang sedangkan aku harus bersedih.”

“Hai, dia masih tiga tahun waktu itu, tentu saja dia belum bisa merasakan,” Aldian berusaha menyadarkan  kekasihnya.

“Kadang aku berharap kami bertukar tempat,” ucap Alicia asal. Aldian tertawa mendengar semua itu, hingga timbul suatu gurauan konyol di otaknya,”Kalau begitu, dia yang akan menikah denganku dan kau yang jadi anak kecil dengan pelajaran pianonya.”

Mendengar gurauan itu sontak bibir Alicia tambah manyun. Aldian pun jadi tambah geli lalu mempererat pelukannya atas Alicia, menghirup bau harum tubuh kekasihnya itu dan berbisik,”Tapi kau-lah yang akan menikah denganku, seorang gadis yang membuatku lupa segalanya hingga memutuskan cepat-cepat menikahimu setelah lulus SMA.”

 Yup, kecemburuan itu tidak menggagalkan rencana  mereka. Pernikahan keduanya berlangsung sangat meriah. Tak ada alasan yang membuat Alicia cemburu lagi. Kebahagiaan benar-benar terasa di rumah ini, bahkan wajah tua Kolonel Goo semakin sumringah. Apalah yang diharapkan pensiunan tua itu selain kebahagiaan cucunya. Cucu yang merupakan generasi penerus, penerus perjuangan, penerus impian dan penerus kehidupan.

Namun entah kenapa kebahagiaan itu tidak dapat berlangsung lama. Seakan-akan rumah kecil ini begitu alergi dengan kebahagiaan, hingga sangat kerasan dengan sejuta penderitaan. Alicia meninggal karena kecelakaan pada perjalanan bulan madu mereka, sedangkan Aldian harus mengalami operasi pemasangan platina pada kakinya yang retak.

Mata tua Kolonel Goo semakin mencekung, tak ada lagi gairah hidup di sana. Semakin lama, ketahanan tubuh yang dulu pernah dia gunakan untuk membela Negara dari tirani itu hilang dan akhirnya nyawa sudah enggan bersemayam di dalamnya. Beliau meninggal dua bulan setelah kematian Alicia.

Angin bulan Desember bertiup sembari membawa hawa dingin. Alam seakan tahu kesedihan yang memenuhi hati Aldian. Tak ada yang dapat dia lakukan selain berdiri, memandangi dua gundukan tanah pemakaman dua orang yang sangat dicintai. Dia tetap di sana, tak perduli kakinya yang masih belum lepas dari balutan perban, tak perduli tubuhnya yang masih ditopang oleh tongkat penyangga jika harus berdiri. Mungkin kesedihan sudah merupakan zat adiktif ampuh bagi dirinya, hingga tidak dapat merasakan lagi sakit lahiriah.

Joana terdiam melihat perilaku kakak iparnya. Entah apa yang berkecamuk dalam otaknya. Adakah dia tahu bahwa sudah sebatang kara? Setiap orang yang mengetahui nasibnya memandang dengan penuh simpati, kasihan… . Apakah dia menyadari itu?

Joana mendekati Aldian, mencoba meraih tangan kakak iparnya itu. Kehangatan genggaman tangan kecil Joan membuat Aldian sadar dari lamunan. Disekanya air mata yang terbendung di kelopak bawah matanya, lalu menoleh ke arah Joan. Berusaha memberi senyuman pada anak kecil itu walau pun hatinya menolak. SEakan dengan senyuman itu, dia ingin mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja. Sungguh munafik, dia ingin meyakinkan orang lain padahal dia sendiri tidak yakin apakah keadaan nanti benar-benar baik.

Hari-hari berikutnya seakan berjalan lambat. Kesunyian masih terasa di rumah ini. Aldian belum memutuskan apa pun. Waktu demi waktu dia habiskan untuk melamun. Apakah dia bersedia menjadi wali bagi si kecil Joan? Sedang Joan sendiri hanya mengurung diri dalam kamar. Persis dengan apa yang dilakukan almarhum kakaknya saat kedua orang tuanya meninggal. Setiap kali Mina, nani pengasuh menengok sambil membawakan makanan. Terlihat dia terbaring di atas tempat tidur menatap langit-langit. Mina juga melihat nampan sarapan tadi pagi. “Hanya dimakan sedikit,” pikirnya dalam hati. Namun hal itu masih membuat  Mina lega, setidaknya dia masih mau makan.

Tubuh kecil Joan ternyata belum mampu menahan lapar. Hal itulah yang membuat dia terbangun di malam hari, keluar kamar dan bergegas ke dapur. Sesaat kemudian perutnya sudah penuh dengan biscuit dan susu. Joan segera kembali ke kamar namun ketika melewati ruang tengah, dia berhenti.

Terlihat dari tempatnya berdiri, Aldian tengah duduk di hadapan piano yang terbuka. Mata Aldian memandang tajam ke arah tut-tut piano namun dia tidak hendak memainkannya. Satu per satu rasa berjejal dalam hati seakan tidak mau mengerti bahwa hati itu telah penuh. Dia mencoba mengatur nafas. Jika dia mau, dia bisa menghancurkan piano itu, namun tak mungkin mengingat Alicia sangat mencintai piano itu.

Aldian tetap terduduk. Sunyi… .

Namun tidak demikian bagi Joan yang masih berdiri di tempatnya memandangi Aldian. Di telinga gadis kecil itu mulai terdengar irama yang begitu pelan. Harmoni itu teramat pelan. Dia yakin dibalik diamnya Aldian ada sebuah irama yang Aldian mainkan. Namun irama itu begitu pelan. Sangat-sangat pelan hingga hampir-hampir Joan tak dapat mendengarnya. Joan terduduk, lalu merebahkan tubuhnya di atas lantai. Telinganya ditempelkan di lantai dan berharap dengan melakukan itu, irama hati Aldian terdengar lebih jelas.

Ternyata Joana salah. Irama itu masih sangat pelan. Namun dia tidak putus asa, tetap menempelkan telinganya di lantai yang dingin itu hingga akhirnya tertidur.

 

BERSAMBUNG

THE SECRET II (Temptation of Island — Part 7)

THE SECRET II

(Temptation of Island)

Part 7

Apa yang akan kau lakukan, Camille? Seperti yang kau harapkan, tak ada satu pun wanita yang mengikat Kang. Lalu apa? Apa yang kau harapkan setelah tahu?

Mungkin benar teori Kwang, akan lebih baik jika tak ada satu pun ikatan di antara mereka. Saat mereka ditemukan, mereka berpisah. That’s it! Nothing to lose! Semua akan berjalan seperti sedia kala. Kwang kembali ke pekerjaannya dan Camille dengan kehidupan borjuis-nya. Akan ada banyak pria di Kanada yang menantinya, bertekuk lutut memohon saat matanya mengerling. Pria-pria dengan gaya metro. Rapi dan elegan seperti Brian. Oh, ya… tentu akan sangat menyenangkan! Masa depan yang cerah menanti baginya, seorang putri keluarga d’Varney. Sementara Kwang hanya tinggal kenangan. Masa lalu yang terkubur kesenangan pribadi.

Namun bagaimana jika mereka tidak pernah ditemukan? Selama ini tim pencari hanya mencari Camille.  Gadis itu yakin, mereka pasti tidak memprediksi keberadaan Kwang bersamanya atau mungkin mereka sudah berkesimpulan jika seorang Camille Louis d’Varney sudah mati saking putus asa. Antoine merutuki kesalahannya, Nathan menggeleng tak percaya dan Charlie histeris. Mata Camille memejam, mengusir bayang kesedihan itu dari angannya. Tapi kemungkinan itu bisa saja terjadi. Dia dan Kwang terdampar di pulau ini selamanya. Dan apa yang akan kita lakukan?

Pesona Kwang semakin menjerat. Tidak ada rambut yang tersisir rapi. Kulit pria itu semakin kelam karena hawa panas pulau. Dan aroma kemaskulinan alami yang tercium setiap pagi. Segala hal yang menarik insting primitive Camille. Apa daya, jika penelitian tentang feromon masih diperdebatkan, mungkin para pakar berkaca mata tebal itu harus mengalami apa yang dia rasakan. Terdampar di sebuah pulau eksotik bersama pria semisterius Kwang.

Setiap malam, Camille harus menahan diri untuk tidak memandang wajah pria itu. Rautnya semakin mengeras, mungkin karena kefrustasian akan rumah pohon yang terus gagal. Dan rambut-rambut kasar yang mulai tumbuh di sekitar dagu dan pipinya, Camille diam-diam merabanya jika Kwang terlelap. Dengan bayangan di kepala jika saja pipi itu bersentuhan dengan pipinya lalu…

Oh, damn! Stop thinking something stupid!

Camille menggeleng, bergerak gusar ke tempat tidurnya, berusaha menepis pikiran yang aneh-aneh.

Keseharian yang terlalui semakin memendek. Kedekatan mereka yang menyebabkan. Kang masih sibuk dengan rumah pohon, meramu, berburu, bahkan menjaring ikan dan Camille memasak, menganyam janur, memintal benang dan merajutnya. Kehidupan yang sederhana, tanpa status, kekawatiran akan uang dan pandangan masyarakat. Pulau ini memberikan lebih dari apa yang mereka harapkan.

Tidak! Bahkan Kwang pun berusaha menarik diri dari jeratan wanita itu. Jalan Camille masih panjang sebagai gadis yang baru berusia sembilan belas tahun. Masih banyak pria-pria kaya yang berpeluang menjadi kekasihnya, dan Kwang yakin dirinya tidak termasuk kriteria itu. Terlalu pedih terjerat dalam cinta Camille jika pada akhirnya gadis itu meninggalkannya setelah berkumpul dengan keluarganya. Kerterpurukan pasti terjadi, Kwang belum pernah terlibat hubungan dengan wanita secara serius namun wanita seperti Camille.. . mungkin bisa menariknya ke dalam pusaran tanpa tepi yang di sebut cinta atau mungkin… hasrat seks?

Dasar otak primitif! Kwang merutuk bayangan-bayangan itu dalam hati.

Dan, ya… Camille sanggup melakukannya. Saat dia berhasil merajut setelan baju untuk Kwang. Sebuah baju berpotongan sederhana dari serat kapas yang dipintalnya. Agak butut karena pintalan yang kurang rapi, tapi lumayan sebagai pakaian ganti.

“Bisa kau coba ini?” Gadis itu berdiri di depan Kwang, menyodorkan baju berwarna putih kekuningan di depannya.

 Camille…

Camille menengadah, menatap wajah Kwang dengan mata meyakinkan. Kwang melepas kemeja usangnya. Otot-otot dada yang padat terpampang jelas dan Camille harus menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Dia bahkan menunduk, gemetar merasakan aura hangat yang tiba-tiba muncul di dalam goa.

Kang…

Kwang meraih baju rajutan di tangan Camille. Baju itu pas di badannya. Dia tersenyum, mematut-matut baju ditubuhnya itu tanpa cermin dan berterima-kasih. “Thanks.”

“I hope you like it!” Camille tersenyum.

“Dan kau… mana untukmu?”

“Ada… sebentar lagi selesai.”

Gadis itu mendahulukan kepentinganku? Kwang merasa tersanjung. Dia menatap pergerakan Camille ke tempat tidur. Gerakan kikuk seperti sebelum-sebelumnya. Tidak ada lagi kesan ceplas-ceplos Camille seperti sebulan yang lalu. Semuanya serasa berbeda. Kwang kadang memergoki gadis itu mencuri-curi pandang ke arahnya. Begitu juga dirinya  pada gadis itu.  Bisa dibayangkan saat mereka memandang bersamaan dan segalanya bertambah kikuk.

Tidak ada kesan menggoda di setiap tingkah laku Camille. Setiap malam gadis itu memintal benang dan merajut. Kealamian gerakannya membuat Kwang terjerat tanpa sadar. Camille bukanlah gadis-gadis penggoda seperti wanita-wanita bar yang dikunjungi teman-temannya ketika di darat. Mungkin itu sebabnya. Kwang tidak pernah mau jika teman-teman ABK-nya mengajak bersenang-senang dengan wanita penghibur, karenanya Kwang tertarik dengan wanita seperti Camille.

Rumah pohon selesai sudah. Mereka berdiri di depannya, berangkulan tanpa sadar.

“Home sweet home!” Kwang mendesis. Camille menoleh padanya dengan senyum mengembang.

Camille senang Kwang merangkulnya. Entah pria itu sadar atau tidak karena mata Kwang masih tertuju pada rumah pohon.

Rumah berdasar lima puluh centimeter dari atas tanah. Kwang melakukan itu untuk menghindari air yang meluap jika hujan. Tidak ada kayu ibu tangkai kelapa sebagai dasar yang dulu gagal. Kang menggantinya dengan bambu yang kuat. Itulah sebabnya rumah ini begitu lama selesai. Kwang harus mencari cara bagaimana merobohkan bambu dengan batu runcingnya. Kerangka dindingnya juga berasal dari bambu yang diikat dengan akar larak di setiap sudut dan dinding rumah itu… inilah hasil karya Camille, anyaman janur menjadi atap dan dinding rumah.

“Home sweet home,” bisikan Camille membuat Kwang menoleh. Mata Camille penuh dengan cinta dan mulai menelusuri lengannya yang melingkari pundak gadis itu. Kwang tersadar, melepaskan rangkulan dan berdiri kikuk.

Camille tersipu. Home? Home adalah tempat orang-orang tercinta berkumpul, dan benarkah rumah pohon itu adalah ‘home’ mereka? Tempat mereka saling mencintai? Tiba-tiba saja Camille berpikir untuk mencium pipi Kwang dan… ya… dia melakukannya. Kwang menjenggit.

“Thanks!”

Hanya itu? Camille mencium dan berterima kasih?  Gadis itu menaiki tangga masuk rumah pohon, meninggalkan Kwang yang belum sadar, masih mengelus-elus pipinya.

Oh…, apa yang akan terjadi nanti? Siapa pun… kapal, tim SAR atau iblis sekalipun… pisahkan kami!

Kekecewaan terus-menerus harus dialami Kwang. Hari terus berlalu namun tidak ada kapal penolong yang melintas, bahkan helicopter atau pesawat. Sebegitu misteriuskah pulau ini? Dia harus berinteraksi lagi dengan Camille, menekan perasaaannya dalam-dalam dan tersiksa.

Kwang berusaha bersyukur walau pun sulit. Setidaknya dia tidak sendirian di pulau ini. Ada Camille yang memasak, merajut baju untuknya. Sebab jika tidak, mungkin nasibnya akan seperti Tom Hanks di film ‘Cast Away’, bertingkah seperti orang gila, bicara dengan bola.

Pulau ini juga tak terlalu buruk. Setidaknya itu yang dia pelajari dari Camille. Gadis itu suka berpetualang, mengumpulkan flora apa saja yang dianggapnya unik, menjadikannya obat atau sekedar bumbu masak. Camille… gadis kaya itu… Ibunya pasti mendidik dengan baik, keterampilan kewanitaannya begitu terasah. Seperti bibinya…, Kwang mengakui. Calon istri ideal bagi Kwang.

Itukah sebabnya? Itukah makna dari kejadian ini? Kwang memang mengharapkan wanita seperti Camille dan sekarang Tuhan mengirimkan Camille untuknya. Tunggu! Tuhan?

Sejak kapan dia mulai percaya pada Tuhan? Mungkin karena pengaruh Camille. Gadis itu memindahkan salip di depan goa ke depan rumah pohon. Berdoa setiap pagi di bawahnya dan begitu yakin. Harus ada pegangan dalam hidup, dan Kwang masih bingung.  Keluarganya beragama Budha, sebenarnya dia dibesarkan dalam lingkungan Budha, namun di pertambahan usianya Kwang ragu.

Semua yang ada di diri gadis itu membuatnya gila. Dunianya jungkir balik. Bisa-bisanya mengharap Chamile Louis d’Varney sebagai istri? Bagaimana pendapat teman-temannya jika tahu? Mungkin mereka menganggapnya tak tahu malu. Seorang yang tak jelas bapaknya mencintai Putri d’ Varney, bagaimana reaksi Antoine d’Varney sendiri? Mungkin membunuhnya, ya… Antoine pasti melakukan itu.

Dia tidak pantas! Kwang meyakinkan hal itu di hatinya saat berdiri di bawah air terjun, menikmati air yang jatuh bebas di kepalanya. Dia ingin melenyapkan impian-impian gilanya itu. Dia juga ingin Camille menghilang atau dirinya lenyap dari kehidupan Camille. Air itu sangat jernih, Kwang menengadah dan yakin, kejernihan air yang menampar-nampar pipinya pasti bisa menjernihkan otaknya.

Camille yang kelelahan sampai di pinggir sungai. Dia meletakkan tas anyaman janurnya di tanah lalu berjongkok, menegak air yang tertampung di telapak tangannya. Saat matanya beralih pandang ke air terjun, sosok Kwang terlihat. Berdiri di bawah air terjun, tanpa pakaian dan air mengalir bebas di sekeliling tubuhnya. Dia teringat saat melihat hal itu pertama kali. Dia terlalu lemah waktu itu, berpikir aneh-aneh dan pingsan.

Sekarang pun Camille juga berpikir aneh-aneh. Kwang berdiri di depannya beberapa kaki, menikmati kesegaran air dan… apa yang akan dilakukan pria itu jika Camille mendekat? Udara sangatlah terik siang ini dan Camille juga ingin mandi.

Camille memang melakukannya. Dia menanggalkan semua pakaian dan berjalan menuju air terjun. Menuju Kwang tentu saja.

Apa yang sebenarnya aku lakukan? Menggodanya?

Kwang masih terlena dengan dinginnya air. Camille kini berada di belakangnya. Tangan halus itu menggapai. Ada sedikit keraguan tapi hasrat hati semakin menuntut. Dan saat tangan itu menempel di punggung Kwang, jantung Camille tak beraturan. Sebuah getaran membuat perutnya jungkir balik.

Kwang menoleh perlahan. Wajah cantik menyambutnya, rambut yang basah dan tak perlu melihat keseluruhan, karena keremajaan tubuh Camille terpampang sekejap dan dia terlarut.

Telapak tangan Kwang yang kasar meraba kedua pipinya. Mata Camille memejam, merekam kejadian itu di memory otaknya. Hal ini akan dia ingat sepanjang hidupnya, hatinya bersorak karena Kwang menerima cintanya, hingga saat dagu pria itu menelusuri tulang rahangnya seperti yang pernah dia bayangkan. Dagu dengan jenggot tak beraturan yang memberikan sensasi aneh. Dan dadanya serasa meledak. Kwang menciumnya! Kwang merebut ciuman pertamanya. Dia melotot, terkejut dan harus mengatur nafas.

Ini gila! Gadis ini membuatku gila!

Bibir Camille serasa manis. Kwang ingin mereguk lebih dalam lagi. Dia ingin mengukung gadis itu dalam cintanya. Semenit yang lalu dia ingin Camille menghilang namun melihat gadis itu menawarkan keindahan di depannya, bahkan tak menolak ciumannya yang liar… Kwang tersesat… pusaran itu benar-benar menjerat. Air yang mengguyur serasa menghilang. Segala tentang Camille melenakan Kwang dan sekarang bibir gadis itu direguknya. Dia ingin lebih, begitu juga Camille. Kwang tahu itu saat jemari Camille memainkan rambut di belakang kepalanya.

Oh, aku mohon jangan…

Kwang menahan diri untuk tidak menurunkan tangannya dari pipi Camille. Namun dada yang bergesekan membuat Kwang merasakan Camille yang semakin mengeras. Gadis itu menegang dan menginginkannya. Sama seperti dirinya. Sama seperti kegilaan primitifnya.

Bayangan wajah marah Antoine d’Varney tiba-tiba muncul, begitu juga bayangan teman-teman seprofesinya yang pemabuk, mengacungkan gelas-gelas berisi minuman beralkohol murahan padanya. Bersorak! Memberinya selamat karena berhasil menjerat putri kaya. Menikahi Camille yang mungkin sedang mengandung anaknya saat mereka ditemukan. Lalu apa maksudnya sikap alim yang dia tampakkan pada teman-temannya selama ini? Hebat! Kau lebih hebat dari kami, Shin Hyun Kwang… .

Kwang melepaskan diri dari Camille. Kekecewaan menyelinap di mata Camille. Ini salah, Kwang menyadarkannya lewat pandangan mata lalu berbalik ke batu tempat bajunya dijemur. Entah kenapa kepedihan merambati mata Camille. Dia menangis menatap punggung Kwang yang menjauh. Rasanya tertolak, hatinya perih.

Apanya yang salah? Jika cinta ini salah, dimana letak kesalahannya?

Kwang naik ke daratan, memakai pakaian dan meninggalkannya begitu saja. Camille merasa keadaan akan sangat jauh berbeda bagi mereka sekarang. Setidaknya cinta itu ada. Camille bisa merasakannya sekejap yang lalu, sebelum bayangan kelabu meragukan Kwang dan melepaskan ciuman.

Kekakuan terasa saat mereka makan malam.  Mereka membisu. Camille menyodorkan ikan bakar pada Kwang. Kwang menerimanya tanpa memandang wajahnya. Suara binatang malam menjadi iringan dan suara ombak terkadang membuat telinga Kwang menaik.

Hanya Kwang yang menghindari bersitatap dengan Camille, gadis itu tidak. Dalam kebisuan, Camille mengamati gerak-gerik Kwang dan mendamba walau sakit hati karena ditolak masih ada. Dia tidak berkonsentrasi pada ikan di tangannya padahal duri-duri sangatlah tajam. Duri ikan membuat jarinya tertusuk dan menjerit kesakitan.

Kwang reflek meraih jari yang tertusuk itu untuk melihat lukanya tapi Camille menepis uluran tangan Kwang. “Apa pedulimu?”

Kwang menurunkan tangannya yang terulur lalu mendesah. Camille menghisap darah yang keluar di jarinya.

“Camille…, segalanya semakin sulit bagi kita.”

Akhirnya …  setelah kebungkamannya, Kwang mengakui. “Apa yang harus kita lakukan?” Kwang merasa pertanyaannya itu bodoh.

“Aku akan menjilati lukaku karena tertolak,” jawab Camille. Kwang memberikan tatapan penuh penyesalan.

“Kalau kau…,” Camille meneruskan bicara, “Terserah!”

Camille menuju tangga, namun sebelum naik, dia berbalik, menatap punggung Kwang yang masih duduk di depan api unggun. “Kenapa kau menganggap ini sulit?”

Kwang tidak menjawab. Suara jangkrik menyahut dan kayu yang terbakar di api unggun berderit-derit. Camille merasa kesal karena seperti bicara dengan batu. “Apa susahnya mengakui perasaanmu?”

Masih tidak ada jawaban.

“Jangan membohongi diri sendiri, Kang!” Camille semakin menuntut. Air mata menelusuri lembah antara hidung dan tulang pipinya, dadanya serasa nyeri.

“Bercinta di air terjun seperti makhluk primitive bukanlah kelakukan manusia beradab.”

Kenapa pria ini malah mengajukan terori konyol.”Lalu bagaimana yang beradab itu?”

“Harus ada pernikahan, Camille…”

“Kalau begitu mari kita menikah! Ada salib, kita bisa berjanji saling setia di sini!”

Gadis itu seperti bernegosiasi. Berusaha memutar penalaran dan memang benar… seperti berhitung, bukan? Bahwa satu ditambah satu sama dengan dua?

Kwang mulai kesal. Dia berdiri, berjalan ke depan Camille dan mencengkeran lengannya. “Sadarlah, Camille!  Ini hanya hasrat primitifmu sementara. Mungkin karena hanya ada kita berdua di pulau ini. Aku satu-satunya pria yang kau lihat sebulan terakhir ini jadi kau berpikiran yang aneh-aneh. Seperti yang aku katakan sebelumnya, akan lebih baik jika kita tidak terikat saat ditemukan. Kau kembali ke keluargamu. Pria-pria kaya akan menyambutmu di pesta-pesta dan  semua yang terjadi di pulau ini terlupakan.”

“Persetan dengan hari esok!” Suara Camile semakin parau. “Bagaimana jika kita tidak pernah ditemukan?”

Mata Kwang bergerak bimbang. Hal itu tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Yang dia harapkan hanyalah satu… ada kapal penolong yang datang dan dia terlepas dari Camille. Tapi kelakukan mereka adalah sebaliknya. Dan dia sendiri… Membangun rumah pohon yang kokoh seakan mereka akan menempatinya selama ribuan tahun bahkan menyebutnya ‘home sweet home’? Apa-apaan!

“Aku mencintaimu, Kang. Secara jujur aku akui itu. Walau pun kau menganggapku wanita konyol yang tak tahu malu, terserah!” Camille menaiki tangga memasuki rumah pohon. Tergesa-gesa dan marah.

Kwang mengatur nafas.  Perasaan masing-masing sudah jelas. Harusnya ini mudah. Tapi perbedaan status mereka begitu terbentang. Kwang bisa merasakan kemarahan orang tua gadis itu jika Camille terikat dengannya dan sekali lagi bayangan olok-olok teman-temannya mengganggu. Tunggu! Apa ini hanya ketakutanku saja?

Kwang menuju pantai. Laut pasang malam ini. Dia ingin menenangkan diri sejenak. Berdekatan dengan Camille membuat dadanya sesak. Camille tidak mungkin menghilang darinya, bagaimana kalau dia yang menghilang? Tentu saja, laut pasang akan memudahkan semuanya. Namun sekali lagi, wajah Camille yang bersedih karena kehilangannya terbayang. Dan memikirkan bagaimana nasib gadis itu sendirian di pulau, membuatnya tidak tega. Camille sudah benar-benar mengikatnya. Itu sulit. Sangat sulit!

 

—oOo—

Brian memasuki ruangan Robert dengan tergesa-gesa. Keputusan Robert Casssidy benar-benar di luar dugaan, pria itu menarik separuh kapal pencari Camille dan itu membuatnya marah.

Saat dilihatnya Cassidy duduk santai di kursinya, Brian kehilangan kata. Niat untuk memaki dan membentak urung begitu saja. Karisma Robert tidak bisa dikalahkan. Karisma itu bahkan membantunya selama ini.  Brian mengatur nafasnya bahkan bicara dengan pelan. “Alasan yang buruk menarik separuh kapal, Tuan.”

Casssidy menyandar di kursi dengan lengkungan di sudut mulutnya. Mungkin sebentar lagi Antoine juga melakukan hal yang sama dengan Brian tapi sepertinya tidak karena Antoine sudah mengerahkan orang sendiri, pelaut-pelaut lokal untuk mencari Camille.

“Aku yakin kau akan berpikiran begitu, Brian. Tapi ini sudah hampir dua bulan dan tidak ada hasil. Aku harus kembali ke Korea dan kau juga.”

“Saya tidak akan kembali sebelum Camille ditemukan!” tekan Brian. Tangannya terkepal di atas meja dan dia mulai gusar.

Cassidy tertawa perlahan. Inilah saatnya mengatakan pada Brian yang sesungguhnya. “Brian Rothman yang terhormat, ada banyak wanita cantik di luar sana. Kenapa kau terpaku pada wanita yang kau temui selama kunjungan singkatnya di Seoul?”

Brian menunduk. Cassidy benar, mungkin dia memang sudah gila. Dia ingin menemukan Camille, mengikat gadis itu dengan cintanya atau mungkin menikahinya. Dia bahkan rela menunggu Camille lulus kuliah untuk itu.

“Belum tentu juga Camille menyukaimu. Lagi pula… ada sedikit permusuhan antara mendiang ayahmu dengan Antoine,” Cassidy berdiri memandang jendela kaca yang berada di belakangnya dan menghela nafas. Ombak tampak berkejaran sejauh dia memandang. “Antoine tidak akan pernah setuju kau menjalin hubungan dengan putrinya jika tahu kau anak Nick Rothman.”

“Apakah ini karena cinta segitiga di antara mereka?” Brian mengibaskan tangannya. “Saya rasa Tuan d’Varney cukup besar hati untuk berpikir bahwa anak-anak tidak ada hubungannya dengan semua itu.”

Cassidy jadi geram mendengar omongan Brian. Dia menyeberangi meja lalu mencengkeram kerah baju Brian. “Jangan sok tahu, anak muda. Ini perintah! Kembali ke Korea sekarang juga! Biarkan d’Varney yang mengurus semua ini sendiri!”

“Apakah… apakah Tuan d’Varney yang menghendaki ini?” tanya Brian gugup.

Casssidy perlahan melepaskan cengkeramannya. “Bukan, tapi ini kehendak Nyonya d’Varney.”

Ya, ini kehendak Charlie. Cassidy semakin yakin dengan arti ‘mimpi’ itu. Charlie ingin Brian hengkang dari usaha pencarian Camille. Itu maksudnya! Dan itu lebih baik!

 

—oOo—

Mereka benar-benar terasing di dunia sendiri-sendiri. Bulan di langit bulat sempurna. Kwang yakin malam ini laut pasang lagi. Hawa lembab semakin menusuk pori-pori kulit. Bulan tertutup awan seketika dan benar saja… hujan turun! Kwang menurunkan anyaman-anyaman janur penutup jendela-jendela. Camille membantunya menutup pintu rumah dan berharap atap tidak bocor.

Jika mereka masih tinggal di dalam goa, mungkin mereka sudah kebanjiran seperti biasanya. Namun hujan hari ini lain, hujan pertama untuk menguji kekokohan atap rumah itu, dan ternyata memang kokoh, tak ada satu pun air yang merembes masuk, daun-daun yang rimbun dari pohon itu menaungi mereka , menjadi keuntungan dari rumah pohon itu.

Kwang terlalu mengkawatirkan rumah pohon. Bajunya basah saat menutup jendela, dia melepaskan baju itu untuk berganti dengan baju yang lain. Sekilas dia melirik Camille, gadis itu melakukan hal serupa. Apa-apaan ini? Mereka bahkan berbagi tempat untuk berganti baju? Kwang merasa tidak ada privasi di tempat ini dan dia memalingkan wajah dari Camille.

Namun sial… bayangan Camille memantul di dinding. Lekuk tubuh Camille terlihat jelas di dinding berterang jingga karena obor yang kian meredup dan akhirnya padam karena air hujan… atau pun angin… Kwang tidak perduli! Yang penting bayangan erotis itu tak terlihat lagi.

Kwang memejamkan mata, menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan.

“Kang, kau masih di situ?” Camille ketakutan karena gelap. Hanya ada suara hujan dan kilatan di langit yang sesekali kentara.

“Iya, Camille. Aku di sini.”

Camille berbaring di tempat tidurnya. Menghadap kepada Kwang walau pun Kwang tak terlihat. “Kang, mendekatlah.”

“Tidak!”

Kwang bisa mendengar Camille mendesah. Dia mengira Camille sedang kesal. Tapi dia salah, Camille sedang tersenyum. “Kenapa? Apa wajahku menakutkan?”

Pertanyaan macam apa itu?

“Justru karena kau cantik, aku jadi ketakutan,” jawaban yang tepat, Kwang.

“Kau bilang aku cantik? Aku tersanjung! Kau juga tampan.”

Oh, apa yang kau katakan, Camille… sebenarnya mau mengarah kemana pembicaraanmu?

Camille agak bangkit, menopangkan kepala dengan tangannya saat sikunya ditekuk. “Semua orang tahu apa yang terjadi jika pria dan wanita berada di satu ruangan dalam keadaan begini? Aku tahu siapa dirimu, Kang. Kau mengintipku tadi.”

Camille benar-benar menantang Kwang. “Camille, hentikan!”

Camille tersenyum. Kwang mencintainya, dia tahu itu. “Atau kau ingin aku menggodamu lagi? Seperti di air terjun. ”

“Perkataan bodoh!”

Camille merambat menuju Kwang. Indra penciumannya menuntun. Di sana ada Kwang, dengan sejuta pesonanya yang mengganggu otaknya beberapa hari terakhir ini. Membuatnya penasaran karena pria itu menolaknya. Membohongi diri sendiri, dan Camille terluka, menangis berhari-hari karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Camille tidak ingin  kesedihan itu berlarut. Dia sangat mencintai Kwang. Lepas dari Kwang yang menganggapnya gila, dia ingin terikat dengan pria itu. Saat mereka ditemukan nanti, dia ingin ada alasan untuk tetap bersama Kwang. Mungkin memohon pada ayahnya, dia rela meninggalkan kuliah demi mengikuti pria itu kemana pun. Dia gila… ya… dia gila… . Camille mengkerling, ini memang sudah keturunan, Neneknya meninggalkan Ayahnya yang masih kecil demi mengejar pria Perancis,  Ayahnya melakukan apa saja demi memanjakan Ibunya yang cantik dan sekarang…. dia… dia akan melakukan apa saja demi Kwang.

Kwang tersentak saat tangan Camille tiba-tiba menyentuh pahanya. “Camille, kau!”

Kata-katanya terputus karena ciuman gadis itu membungkam mulutnya.  Dia berusaha melepaskan ciuman itu. Kilat menyala di langit sehingga dia bisa melihat wajah Camille sekilas lalu menamparnya. Camille menangis, rasa panas menjalar di pipi kirinya dan Kwang menyesali semua itu. “Maafkan aku… Ini demi untuk kebaikanmu sendiri.”

Camille semakin merasa tersakiti. “Demi kebaikanku atau karena ketakutanmu?”

“Apa maksudmu?”

Semua  ini gila. Gelap di sekeliling dan mereka bertengkar.

“Kau takut! Kau hanya takut jika dunia mencerca kita jika ditemukan.”

“Justru aku takut masyarakat mencibirmu jika melakukan kesalahan.”

“Apakah mencintaimu adalah kesalahan?”

Kwang menahan gejolak dadanya yang turun naik. Dengan berat hati dia mengaku. “Iya!” suara sesenggukan Camille masih terdengar, Kwang mengulurkan tangannya, membekap gadis itu di dadanya. “Camille…, semuanya akan lebih sulit bagimu jika mencintaiku.”

“Kenapa? Karena kau orang miskin? Anak wanita penghibur, begitu?”  Camille menengadah, mengelus wajah Kwang yang lamat-lamat kentara, mungkin di sebabkan matanya yang semakin terbiasa dengan kegelapan. Bulu kasar di wajah Kang menusuk-nusuk pergelangan tangannya. “Aku rela menanggung semua itu, Kang. Aku ingin terikat denganmu.”

Kwang menangis. Dia tidak bisa menekan perasaan itu lebih lama. Dia juga menginginkan gadis ini. Dia mencium tapak tangan Camille yang masih menempel di pipinya dan menangis. “Aku mohon jangan, kau gadis terhormat, ada pria-pria lain di luar sana yang lebih layak.”

Camille menghapus air mata Kwang dengan Ibu jarinya. dia juga menangis, tamparan Kwang masih terasa di pipinya. “Tapi aku memilihmu. Tidak bolehkah aku, gadis terhormat ini memilihmu?”

“Kang…,” Camille menegakkan punggungnya, sekali lagi mencium pria yang sangat dicintainya. Pria yang dia yakin benar akan menjadi suaminya. Kwang tidak menolaknya kali ini. Lengan kekar pria itu mengukungnya dan ciuman itu menghangat. Dia benar-benar terperangkap sekarang. Kwang benar-benar tak akan melepaskannya, karena tangan kasar pria itu menelusuri sepanjang punggungnya, menelusup ke balik baju rajutan bututnya.

Tubuhnya semakin menegang dan dia merasakan ketakutan dan kesenangan bercampur aduk di dadanya, saat Kwang membaringkannya di tempat tidur dengan lembut. Sekali lagi Kwang mencium bibirnya, menyusuri tulang rahang, turun ke lehernya…. dan berhenti… Kwang menghentikan semua itu untuk memandang wajahnya dan Camille melongo seperti orang bego karena mengharapkan lebih.

“Kang…, kenapa?”

Kwang tersenyum. “Apa yang kau harapkan, Camille?”

“Cintamu.”

Kwang mengelus pipi Camille lalu mencium keningnya. “Tidurlah.”

“Di sini! Satu tempat tidur bersamamu?”

Kwang menggeleng. “Kau tidak tahu apa yang kau inginkan. Kau hanya…

“Apa?” Camille melingkarkan lengannya di seputar leher Kwang.

“Kau mungkin hamil jika kita tidur satu tempat tidur.”

“Seorang anak pasti bisa mengikat kita, Kwang.”

Sekali lagi Kwang menggeleng. “Orang-orang di luar sana pasti akan mengira aku menjebakmu.”

“Tapi kita tahu kalau kau tidak menjebakku.” Camille tersenyum. “Bahkan aku yang menjebakmu.”

Kwang merasa geli mendengarnya. “Kau bilang mengharapkan cintaku.”  Camille mengangguk, Kwang merebah di sampingnya. Tangan Camille terulur ke dada Kwang. Mereka berdekapan, menghalau hawa dingin. “Kau sudah mendapatkannya. Bahkan jauh sebelum kau meminta.”

“Aku tahu, kau mencintaiku. Karena itu aku bersikeras.”

Kwang mengangguk. “Kau gadis keras kepala dan terbodoh yang pernah kutemui.”

Camille mempererat pelukannya. “Menikahlah denganku, Kang. Besok kita saling bersumpah setia di depan salib.”

“Aku bukan Nasrani, kau ingat!”

“Iya, tapi biarkan aku yakin… kau tidak akan meninggalkanku setelah kita ditemukan. Hanya itu satu-satunya cara agar aku yakin.” Camille membenamkan wajahnya di dada Kwang, memukul-mukul dan menangis. “Aku bahkan berharap kita tidak pernah ditemukan, jika… jika … pandangan dunia membuatmu takut. Aku mohon, Kwang. Aku mohon turuti permintaanku!”

Gadis itu sangat tulus mencintainya. Kwang mencium ubun-ubunnya dan membisikkan kata-kata indah. “Iya…, jika itu bisa menenangkanmu, akan kulakukan. Aku mencintaimu.”

Dan Camille semakin terharu di dada Kwang.

“Tidurlah.”

Camille mengangguk. Setidaknya Kwang sudah mendeklarasikan cinta mereka. Camille tertidur dengan kepuasan hati di pelukan Kwang. Mimpinya tentang bersumpah setia di depan altar gereja saat mereka ditemukan. Besok, salib di depan rumah itu yang sementara menyaksikan kesungguhan cinta mereka. Besok akan serasa berbeda bagi mereka berdua serta pulau ini di mata mereka.

BERSAMBUNG