THE SECRET
(Temptation of Island)
Part 10
Tingkah aneh Charlie di meja makan cukup membuat Anthoine curiga. Pria ini bisa merasakan kalau wanita itu bukanlah istrinya. Charlie tidak pernah meninggalkan meja makan sebelum memastikan bahwa semua orang sudah dilayani dengan baik, sebaliknya, wanita di sebelahnya itu terkesan cuek. Anehnya, Charlie akan cepat menyahut jika Ibunya membicarakan bisnis keluarga, alis Anthoine semakin menaik. Bahkan Charlie tidak menanyakan absennya Nathan pada makan malam ini. Anthoine memancing dengan menanyakan keberadaan Nathan, wanita itu hanya angkat bahu. Sekali lagi tingkah yang membuat kening Antoine semakin melipat. Biasanya Charlie langsung sibuk menelphon Nathan dan anak itu terdegar risih di telephon, merasa masih dianggap anak kecil.
Anthoine bahkan masih mengamati Charlie ketika istrinya itu tertidur. Lelah menduga-duga, pria ini menyalakan televise. Hal yang dia tangkap adalah berita tentang gempa di Sumatera. Gempa berkekuatan sembilan skala Richter yang berpotensi sunami. Anthoine berjengkit dari tempat duduknya, membuka gulungan atlas dunia yang selama ini digunakan Charlie jika mengomandoi pencarian Chamille. Dia baru bisa bernafas lega saat mengetahui kenyataan jarak antara perkiraan Chamille berada dengan Sumatera cukup jauh.
Mungkin Anthoine terlalu berisik saat membuka peta, Charlie terbangun. Hati-hati wanita itu menyandar di kepala ranjang, mengangkat beban dalam rahim untuk bangkit. “Ada apa?”
Anthoine menoleh pada Charlie. Mata Charlie masih sayup-sayup antara bangun dan mimpi. “Hanya mengamati jarak antara Sumatera dan Bali,” jawab Anthoine.
Charlie menguap. Setiap jam dia berhasrat untuk buang air kecil karena kehamilannya dan sekarang dia merasakannya lagi. Perlahan dia bangkit, menuju kamar mandi. Anthoine mengikutinya, secepat mungkin dia menutup pintu kamar mandi sebelum Anthoine masuk.
“Sejak kapan kau mengunci kamar mandi?” suara Anthoine terdengar dari balik pintu. Charlie mendengus. Setelah memenuhi panggilan alam, dia keluar dari kamar mandi, menyongsong pandangan mata Anthoine yang menyipit, penuh selidik.
“Ada yang salah di sini?” pertanyaan Charlie membuat Anthoine berbalik, mencari sesuatu di laci dekat televise sementara Charlie duduk di pinggir ranjang.
Setelah menemukan yang dicarinya, Anthoine mengulurkannya pada Charlie. “Bisa kau bantu aku mengkoreksi ini?” ujarnya. Charlie menatap ragu benda yang berada tepat di matanya, sebuah berkas. Agak ragu dia menarik berkas itu dari tangan Anthoine tapi akhirnya dibacanya juga. “Jadi ada yang menawarimu saham ini?” tanya Charlie.
“Berapa tahun kira-kira kau akan melakukan investasi?” Kenapa tiba-tiba Charlie menjadi pialang saham yang ulung? Anthoine menjawab asal,”Enam tahu.” Padahal dia sudah tidak berminat dengan saham itu, penasehat keuangan sudah mendeklair bahwa keuntungannya tipis sekali.
“Kau yakin? Karena jika di sini kau membeli saham itu dengan nilai empat puluh lima dolar perlembar, dengan tingkat pembayaran dividen dari saham tersebut yang diproyeksi akan tumbuh konstan sebesar empat persen per tahun dan return yang diminta dari saham ini adalah dua belas persen. Maka nilai saham ini untuk enam tahun yang akan datang hanya sekitar…,” Charlie sedikit berpikir, ”enam puluh dolar perlembar, tentu saja kau harus membandingkan perolehan ini dengan nilai mata uang sekarang.”
Anthoine hanya bisa menganga. Merasa diatas angin, Charlie menambahkan, “Jangan kawatir, kau bisa menjualnya jika harga lebih tinggi dari perkiraan. Pialang sahammu harus aktif mengontrol pergerakannya.”
Dan saat itulah Antoine bertepuk tangan lambat. “Hebat! Selamat datang, Charlie Bouwens!”
Berkas itu terlepas dari tangannya, jatuh melayang di atas karpet. Charlie mendongak, menatap Anthoine dengan rona tak gentar.
“Katakan aku tidak salah orang,” sambung Anthoine. “Karena Charlie, istriku tidak tahu sama sekali tentang perhitungan deviden apalagi risk and return.”
“Kau mengujiku, dokter,” Charlie berkata ketus. “Kau kira siapa yang membantumu ketika pertama kali menginjakkan kaki di bisnis keluarga D’Varney? Hah! Aku masih ingat saat itu, dewan direksi bahkan menyangsikan kemampuanmu. Bayangkan! Seorang yang selama ini malang melintang di dunia medis, tiba-tiba mengurus bisnis hanya karena kehilangan hak praktek.”
“Jadi kau sudah muncul selama ini?” Kenyataan itu sungguh mengejutkan Anthoine. Selama ini Anthoine menunggu kemunculan Charlie Bouwens, tak disangka kalau ‘Charlie’ berkali-kali muncul bahkan menyamar menjadi istrinya. Berarti benar, pribadi asli terkadang tidak menyadari keberadaan pribadi lain, tapi pribadi lain menyadari keberadaan pribadi asli.
“Ya, Dokter. Aku membantumu ketika Doley Inc menipumu. Aku membantumu ketika perusahaanmu kolaps. Aku selalu ada, tapi aku cukup bisa bersembunyi agar kau tidak curiga. Kau pikir bagaimana aku bisa begitu yakin untuk menyuruhmu mengambil saham yang ditawarkan Bouwens Inc jika aku tidak menghitungnya terlebih dahulu?”
Dan Anthoine pun melorot kebawah. Lunglai menghadapi kenyataan yang sungguh menyedihkan. Wanita itu adalah Ibu dari anak-anaknya, dan sedang mengandung anaknya yang ketiga. Dalam kegamangan, Anthoine bertanya, bahkan suaranya nyaris tak terdengar, “Charlie, kau sadar dengan keadaanmu?”
Charlie menatap Antoine yang kini terduduk di lantai, meratapi entah apa. Sambil mengelus perutnya dia menjawab, “Bahwa aku mengandung anakmu?”
Anthoine harus menahan air matanya. Dia tidak boleh terlihat lemah. “Apakah… waktu kita…,” Anthoine tidak tahu bagaimana menyusun kata yang tepat.
“Waktu kalian bercinta?” tebak Charlie. Antoine menunduk lesu. “Tidak, Dokter. Kau bercinta dengan istrimu.”
Anthoine mendongak. Perlahan dia berdiri, duduk di samping Charlie dan memeluknya. Charlie sedikit menarik tubuhnya ke belakang, menghindari pelukan itu, namun kungkungan tubuh Anthoine sudah menguncinya. Anthoine bisa merasakan tubuh Charlie yang kaku di pelukannya. “Siapa sebenarnya pribadi aslimu?” Anthoine bertanya parau.
“Kau akan terkejut, dokter. Dia adalah orang yang selama ini ingin kita lupakan, si bodoh, Charlotte Whitely.”
Pipi Anthoine serasa ditampar. Pagi-pagi benar, Anthoine membuat janji temu dengan Stacy di kantornya, memberikan kabar perihal Charlie secara uring-uringan. “She appeared!”
“Who?” Stacy masih terkejut karena kehadiran Anthoine pagi-pagi. Dia harus menunda visite paginya karena lelaki itu dan sekarang dikejutkan oleh tingkahnya.
“Charlie Bouwens.” Anthoine menyeka dahinya frustasi. “Oh, my God! She appeared so far and I was not aware of it.”
Alis Stacy menaik.”She realizes the situation and posing as your wife. Charlie Bouwens is the most intelligent character between them. Does she know about Charlotte?”
“Yes, She knows all,” Anthoine menumpukan kedua kepalan tangan di meja Stacy. “She said that Charlotte is her original personality.”
“That’s reallity, isn’t it?”
Anthoine terduduk lemah di kursi. Meja kerja Stacy memisahkan mereka. Anthoine mengusap-usap wajahnya, lalu mengelap keringat yang keluar di dahi dengan punggung tangan.
“Anthoine,” panggil Stacy kemudian. “She should have realized who she was for a long time.”
“She told me not to say it,” kata Anthoine menerawang. Stacy menghela nafas, menyandar pada punggung kursi kerja dan berusaha untuk relaks. “Charlie Bouwens hasn’t appear when she hypnotized.”
Anthoine menyeringai tipis, “Confronted her with the stock exchange index or anything about the business.”
Stacy menghembuskan nafas yang menandakan perasaan jengah. “If she begins to remember who she was?”
“She’s still my wife,” jawab Anthoine yakin. Kemudian lelaki ini menunjuk pada Stacy dan berkata lantang,” Don’t integrate them before she gives birth.”
“Of course, Anthoine. I’m not stupid. After all, the tests are still very long. This process does not run easily, because after the unification of these individuals will usually be felt again the things experienced by other personalities, such as the experience of being hurt, abused, and also attempted suicide.” Anthoine menggerakkan mata gusar saat Stacy mengucapkan hal itu.
“Charlie will suffer greatly, and it’s not good for pregnancy,” bisik Anthoine.
Jadinya selama beberapa bulan, terus dilakukan hipnotis pada diri Charlie. Semakin lama Charlie semakin pasrah. Terkadang dia menaruh curiga pada Stacy, menganggap pengobatan yang Stacy lakukan padanya tidak pada tempatnya. Tapi karena Stacy bekerja sama dengan dokter Rae, dan Charlie percaya pada dokter Rae, hal itulah yang membuat Charlie pasrah. Pada saat terhipnosis dan Charlie masuk ke dalam kondisi ambang, Stacy dapat memanggil/ bertemu dengan kepribadian-kepribadian lainnya. Stacy akan berusaha untuk membangun hubungan yang baik dan efektif dengan setiap kepribadian dan berusaha untuk menjadi sosok yang dapat dipercaya dan memberikan perlindungan. Setelah mengetahui, memahami, dan memiliki hubungan yang baik dengan setiap kepribadian, proses selanjutnya adalah membuat kepribadian aslinya untuk bisa menerima dan membuka diri kepada kepribadian lainnya. Prosesnya berlangsung dengan menghipnosis individu untuk bisa menerima dan bersatu kembali dengan kepribadian lainnya. Proses ini tidak berjalan dengan mudah, karena setelah penyatuan tersebut individu biasanya akan merasakan kembali hal-hal yang dialami kepribadian lainnya, seperti pengalaman disakiti, dilecehkan, dan juga percobaan bunuh diri. Dan karena itulah Anthoine meminta penundaan pengintegrasian setelah Charlie melahirkan.
Suatu proses yang rumit. Bukan hanya Anthoine dan Stacy yang lelah, Anthoine yakin kalau Charlie juga lelah. Untungnya kelelahan itu tidak mengganggu kesehatan janinnya. Bayi itu sehat, terkadang menyakiti Charlie dengan tendangan di dinding rahim, seakan tidak sabar melihat dunia. Di saat itulah Charlie selalu tertawa bahagia, dan Anthoine menikmati tawanya, terkadang ikut bergabung, menikmati tendangan itu ketika meletakkan tangan di atas perut Charlie.
“Dia bayi perempuan yang sehat,” ujar Anthoine. Charlie mengangguk. “Sehat dan besar.”
Anthoine menatap wajah Charlie. Wanita itu membalas tatapannya, Anthoine harus mengenyahkan kekawatiran dari matanya saat merangkul Charlie. “Kau yakin masih kuat mendorongnya keluar?”
Charlie menggeleng,”Aku tidak yakin. Kakinya terlihat panjang.”
Anthoine mencium kening Charlie. Menenangkan istrinya dengan kata-kata lembut. “Kau bisa melahirkan secara Caesar, Sayang. Kemodernan dunia medis bisa membantu kita.”
Charlie mengangguk. Dengan senyuman, dia merebahkan kepalanya di dada Anthoine.
Dan memang benar apa yang dikatakan Anthoine. Dokter Rae pun menyarankan hal yang sama. Dia tidak bisa menanggung resiko akan keadaan Charlie. Saat Anthoine dan Charlie memeriksakan kandungan Charlie di minggu ke tiga puluh enam, dokter Rae berkata dengan jelas,”Kau akan melahirkan secara caessar Charlie. Aku perkirakan nafasmu tidak kuat untuk mengejan, lihat saja, untuk berjalan dari ruang USG ke sini saja kau sudah ngos-ngosan begitu.”
Charlie tertawa, dalam keadaan seperti ini, bahkan wanita ini masih bisa tertawa,”Iya, dokter Rae. Anthoine sudah mengatakannya padaku.”
Anthoine menyentuh lengan Charlie. Charlie meremas tangan Anthoine yang menempel di lengannya.
“Jangan menunggu sampai merasa mulas. Aku akan mengeluarkannya sebelum hari H, jadi kau tidak merasakan sakit double, sakit karena pembedahan dan sakit karena kontraksi.”
“Bisakah seperti itu?”
“Tentu saja bisa, Sayang,” Anthoine yang menjawab keraguan istrinya.
“Jadi aku bisa bertemu dengannya lebih cepat?”
“Tentu saja,” Dokter Rae mengangguk.
“Bagaimana kalau minggu depan?” Charlie sungguh tidak sabar melihat bayinya lahir.
Anthoine menoleh padanya, dokter Rae malah menyetujui, “Bisa, aku perkirakan berat badannya juga sudah mencukupi.” Lalu dokter Rae menoleh pada Anthoine, “Bagaimana, Anthoine? Kau setuju?”
“Terserah saja. Kau yang dokter.”
Charlie bertepuk tangan sejenak lalu memeluk Anthoine dengan kebahagiaan yang membuncah.
Dalam seminggu Charlie semakin sibuk mempersiapkan kelahiran bayinya. Perhatian Anthoine sejenak teralihkan karena bayi itu. Nathan selalu tersenyum menantikan kebahagiaan di rumah itu. Bayi yang akan lahir itu bagaikan peri penyelamat pernikahan mereka. Nathan mengagumi pribadi sang Ayah yang sangat mencintai Ibunya, dalam hati dia juga ingin menemukan cinta tanpa pamrih seperti Anthoine. Tapi untuk saat ini, Nathan masih terlalu sibuk dengan kuliahnya. Lagi pula, Nathan tidak menyukai cewek kulit putih. Sejak remaja, pria ini menunjukkan ketertarikannya pada cewek Asia. Rupanya selera sang Ayah mengalir dalam darahnya. Namun kapan pria ini menemukan yang benar-benar pas, hanya tinggal menunggu waktu.
Seperti halnya Anthoine dan Charlie yang menunggu waktu operasi di kamar Charlie di rumah sakit. Pada akhirnya seminggu terasa begitu cepat dan akhirnya di sinilah mereka. Di kamar rumah sakit, Charlie sudah siap dengan baju pasien. Anthoine menggenggam tangannya, membisikkan kata-kata menguatkan dan dia tersenyum. Nathan juga demikian di sisinya yang lain.
“Good luck, Mom. She will be beautifull baby. I am sure about it,” ucap Nathan dengan mata yang ramah.
Sekali lagi Charlie tersenyum. “Will you love her like you love Chamille?” Dan Charlie pun menangis mengingat Chamille. “Oh, Chamille. Andaikan kau di sini, Nak.”
Anthoine mendesis, mengingatkan agar Charlie tidak bersedih. “Kau tahu, Sayang. Di mana pun Chamille berada, dia pasti mendoakanmu.” Lalu Anthoine mengelus perut Charlie. “Anak ini akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Chamille.”
“Oh, Jangan berkata begitu, Sayang. Chamille belum meninggal. Tidak ada kekosongan di sini,” sambar Charlie agak emosi.
“Wow, Mom was sad and angry right now?” goda Nathan.
“Hm, just like this, Nathan. The changes of her emotions absolutely out of control,” Nathan meneguk ludah kering saat Anthoine mengucapkan hal itu. Kondisi kejiwaan Ibunya memang tak terkontrol. Entah kenapa Charlie masih bisa bercanda, “But you’re still crazy about me.”
Nathan menjadi lega. Anthoine memeluk Charlie sambil tertawa,”Of course, Ma Femme. You are the one.”
Pada saat itulah para perawat mulai memasuki ruangan, bersiap-siap memindahkan Charlie ke kamar operasi. Mereka bertiga menoleh pada para perawat itu. “Inikah waktunya?”tanya Charlie.
Anthoine mengulangi apa yang dikatakan Charlie dalam bahasa Inggris, “Is it the time?”
“Yes, doctor,” salah satu dari perawat itu masih saja memanggilnya dokter.
“Good luck, mom!” sekali lagi Nathan menyemangati Ibunya saat perawat-perawat itu mendorong tempat tidur Charlie menuju kamar operasi. Charlie menjawab dengan senyuman. Anthoine berjalan di samping tempat tidur itu, masih menggenggam tangan Charlie.
Kenyataan kalau Anthoine tetap mendampinginya di dalam kamar operasi, membuat perasaan Charlie sedikit tenang. Sungguh ajaib dunia medis modern. Charlie masih bisa mendengarkan bisikan demi bisikan Anthoine, masih bisa menatap mata coklat kemerahan pria itu yang terkadang sok tenang namun menyimpan kekawatiran yang sangat. Rupanya dokter Rae hanya melakukan bius lokal di operasi ini. Kain menutupi pandangan Charlie terhadap apa yang dilakukan dokter itu pada perutnya tapi Charlie yakin, Rae pasti melakukan irisan melintang di bawah pusarnya, mungkin saat ini sedang memasukkan jemarinya ke dalam rahimnya, seperti yang pernah Charlie lihat di video medical edukasi koleksi Anthoine.
“Oke! Here She is!” teriak dokter Rae sambil mengangkat bayi itu. Rae memegang kakinya, dan sang bayi menangis dengan posisi kepala di bawah seperti itu.
“Oh, Tuhan!” Charlie hampir menjerit. Bayi itu terlihat sangat merah dan Rae meletakkannya di atas dada Charlie. Tali pusat bayi itu masih menghubungkannya dengan placenta. “Oh, ya, Tuhan.”Charlie mengelus lembut dan mengecup hati-hati kepalanya. Lalu memandang Anthoine. “Demi Tuhan, Anthoine.”
Anthoine menitikkan air mata. Lelaki itu mengangguk-angguk seolah mengerti apa yang dirasakan istrinya. “Iya, Sayang. Iya.” Rae sudah kembali ke kulit rahim Charlie yang terbuka, melakukan proses selanjutnya.
“Oh, Sayang. Ini Ibu, Sayang. Jangan menangis.” Charlie bahkan membantu perawat yang mengelap tubuh bayi itu dengan handuk lembut, sementara bayi itu mulai mencari puting susu Charlie. Rupanya penciuman makhluk mungil tersebut sangat peka dengan aroma colustrum yang muncul di tubuh Charlie. Tanggap akan hal itu, Charlie menyingkap kancing di dadanya, hingga bayinya menemukan putingnya, dan mulai menyesap. Mata Charlie berkaca-kaca merasakan gerakan mulut bayi itu di kulit payudaranya. Bayi itu mulai tenang saat perawat menyedot cairan hidungnya dan meneteskan obat ke matanya.
“Kau tidak apa-apa, Charlie?” tanya Rae di balik kain pembatas, masih sibuk dengan tubuh bagian bawah Charlie.
“Oh, tentu saja, Rae. Lakukan saja tugasmu.”
Anthoine tertawa. “Dia baik-baik saja, Rae. Cuma terharu, memandang bayinya yang menyusu.” Anthoine mencium belakang kepala bayi itu yang masih lunak, lalu mencium bibir Ibunya lama, intim dan kasar. Para perawat yang notabene bergaya hidup western tidak memperdulikan masalah itu. Lagian kejadian itu sering mereka lihat pada pasangan setelah kelahiran anak mereka.
“Ini keajaiban, Anthoine. Oh, lihatlah, Sayang. Bayi ini berat sekali.” Charlie menarik selimut sampai ke atas kepala sang bayi.
Antoine terkekeh.”Kita akan tahu beratnya setelah ditimbang nanti. Tapi aku yakin tiga koma tujuh kilogram.”
Charlie menggeleng,”Ehm, tidak, Sayang. Dia pasti lebih dari empat kilogram. Mantap sekali beratnya di dadaku.” Lalu dia menunduk, menatap bayi itu yang masih menyesap ASInya. Suara desahan terkadang keluar dari bayi itu, menambah nuansa gemas di hati sang Ibu. “Hai, gadis montok,” Charlie mencubit lembut pipinya.”Siapa namamu, Sayang?”
“Sabrina,” kata Anthoine. Charlie mengalihkan pandangan padanya. “Dia bernama Sabrina,” tekan Anthoine.
“Nama nenekmu?”
Anthoine mengangguk. “Sabrina Anne d’Varney. Kau suka?”
“Kelihatannya cantik. Oke…,” dan Charlie menoleh lagi pada bayinya, kali ini agak menepuk-nepuk pantatnya.”Hai, Sabrina… . Selamat datang, Sayang… .”
Anthoine memandang puas pada istri dan anaknya. Sementara Rae melakukan tugasnya dengan senyuman. Satu masalah Charlie sudah teratasi. Sabrina telah lahir dengan selamat. Tinggal masalah kepribadian ganda Charlie. Namun saat ini, baik Anthoine, Rae mau pun Stacy, tidak ingin hal itu menjadi penghalang untuk membahagiakan Charlie atas kelahiran Sabrina. Mereka bersyukur atas itu dan itu cukup untuk hari ini.
Operasi berhasil. Lampu ruang bedah dimatikan. Charlie kembali ke kamarnya. Nathan menyambut mereka. Wajah Charlie menunjukkan kepuasan. Lebih cantik dari sebelum melahirkan. Anthoine membantu perawat memindahkan tubuh Charlie di ranjang dan Nathan menggantung botol infuse Charlie pada tempatnya.
“Everything was oke, mom?” tanya Nathan sambil merapikan selimut Charlie.
“He eh,” Charlie menganguk. Nathan menoleh pada Anthoine. “Congratulation, Dad.”
“She’s so cute,” Anthoine tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Nathan melihat arlojinya. “Oke, I think you need private time. I will see the cute baby and go to college.”
“Sabrina,” kata Anthoine saat Nathan mulai bergegas menuju pintu. Nathan berhenti dan memandang aneh. “The baby’s name is Sabrina,” Anthoine menjawab kebingungan Nathan.
“Wow, your grandma’s name! Beautifull name.”
Anthoine dan Charlie tersenyum. Nathan memberikan pelukan pada Charlie sejenak lalu keluar ruangan. Setelah itu hanya ada mereka berdua, Anthoine mengelus dahi Charlie. “Kau baik-baik saja, Sayang.”
Charlie mengangguk. “Kapan aku bertemu Sabrina lagi?”
“Dia terlalu berat untuk bayi yang dilahirkan di minggu ke tiga puluh tujuh, jadi harus menjalani perawatan khusus.”
“Apakah perawatan itu menyakitinya?” Charlie langsung kawatir. Anthoine menggeleng.”Tidak. Justru semakin memperkuat ketahanan tubuhnya.”
Charlie menghela nafas penuh syukur. “Dia sehat, Anthoine. Dia bahkan menghisap ASI dengan kuat. Aku bisa merasakannya. Oh, Anthoine, aku mohon. Aku sangat merindukannya. Tempatnya di sini, di dekatku. Dia pasti menangis kalau kelaparan. Kasihan, dia.”
Anthoine tersenyum tabah. Charlie merengek, wanita itu benar-benar istrinya. “Perawat akan membawanya ke sini jika waktunya menyusui.”
Charlie mendengus. “Oh, aku sebal dengan peraturan itu! Kenapa harus memisahkan bayi yang baru lahir dengan Ibunya?” Charlie melipat tangannya di dada. Anthoine terkekeh dan menyentuhkan keningnya di kening Charlie. “Hanya dipisahkan malam ini, Sayang. Aku janji.”
“Benarkah?”
Anthoine mengangguk di kening Charlie. “Ini waktunya kau istirahat. Kau pasti sangat capek.”
“Tidak sama sekali,” Charlie menggeleng. “Kebahagiaan ini menghilangkan semua rasa capek. Jika Sabrina di sini, aku akan merawatnya sendiri.”
“Dan kau tidak mengijinkanku menyentuhnya?” Anthoine mencolek hidung Charlie. Wanita itu tertawa-tawa. “Kau masih saja melakukan itu, mencolek hidungku seperti anak kecil. Dan ya, aku tidak akan mengijinkanmu menyentuh Sabrina.”
“Itu karena aku menyukai hidung mungilmu. Kau jahat sekali, aku juga ikut andil akan kelahiran bayi cantik itu. Andil satu sel sperma, mungkin.”
Charlie langsung tergelak. Ya, Anthoine menyumbangkan satu sel sperma dan Charlie satu sel telur. Ada-ada saja, pikir Charlie dalam hati.
“Bayi itu adalah buah karya kita,” Charlie menambahkan. Anthoine mengangguk. “Tapi lebih mirip denganmu. Akhirnya aku mempunyai putri yang mirip denganmu.”
Charlie menepuk-nepuk punggung tangan Anthoine.”Dia masih bayi. Wajahnya bisa saja berubah.”
Anthoine menggeleng. “Tidak, aku yakin dia mirip denganmu. Nathan adalah perpaduan kita berdua, Chamille adalah wujud perempuan dariku dan Sabrina adalah dirimu. Aku yakin itu.”
Anthoine berbaring di sisi Charlie, memeluk istrinya.
“Oh, Anthoine. Aku sangat mencintaimu. Terima kasih telah mencintaiku, Sayang.” Charlie mendesah dalam dekapan Anthoine.
“Tidurlah,” Anthoine menyapukan tangannya di wajah Charlie, menutup matanya. Charlie sedikit terkekeh lalu mencoba tidur.
Setelah bangun keesokan harinya, efek anaestesi di sekitar perutnya sudah hilang. Charlie merasakan sakit yang menyebar dan mendesis-desis. “Oh, Anthoine,” Wanita itu mencengkeram kuat lengan Anthoine. Sepertinya dia tidak memperdulikan Anthoine yang juga ikut-ikutan meringis kesakitan.
“Ini lebih buruk dari pada melahirkan normal. Rasa sakitnya otomatis hilang kalau normal,” rengeknya.
“Tenang, Sayang. Tenanglah.”
Charlie menghela nafas. Berusaha menyesuaikan diri dengan rasa sakit itu bahkan menikmatinya. “Aku akan mati kalau Sabrina tidak segera di bawa ke sini.”
Tepat saat itulah pintu kamar terbuka. Perawat masuk sambil menggendong Sabrina. “Time to breast, Madam.” Namun perawat itu terkejut melihat Charlie yang merintih. “What happened?”
“Nothing,” jawab Charlie, masih menahan sakit. “Just take her here!”
“But.. .”
Anthoine memerintahkan perawat itu untuk menyerahkan Sabrina pada Charlie. “Give her. It will decrease the suffer.”
Perawat itu mengangguk lalu meletakkan Sabrina secara hati-hati di gendongan Charlie. Dengan pandangan penuh kasih, Charlie menerima bayinya. Dia tidak memperdulikan rasa sakit lagi saat melihat wajah tanpa dosa Sabrina. Bayi itu memandang padanya, mulut mungilnya bergerak-gerak, meminta makanan yang hanya dikhususkan untuknya, ASI Charlie. “Hallo, Sayang. Ini Ibu,” Charlie membuka kancing lalu menyodorkan dadanya ke mulut Sabrina. Gerakan mulut Sabrina di dadanya membuat rasa nyeri di rahim Charlie berangsur-angsur menghilang.
“See,” Anthoine meyakinkan perawat itu kalau perkiraannya benar. Kehadiran Sabrina membuat Charlie tenang.
“I will bring her box here,” kata perawat itu. Anthoine mengangguk. Perawat itu keluar dan Anthoine menikmati suasana intim bersama Charlie dan Sabrina yang menyusu pada Charlie.
“Dia tidak akan terpisah lagi darimu, Sayang.”
Charlie menitikkan air mata memandangi wajah bayinya. “Sabrina…, kau anak hebat, Sayang. Ibu akan melakukan apa saja untukmu. Apa saja.” Dia tertawa lalu menatap Anthoine. “Sumbangkan sesuatu pada fakir miskin, Anthoine. Tuhan telah penuh kasih memberikan Sabrina pada kita. Gantian kita yang harus mengasihi orang-orang yang lebih tidak beruntung dari kita.”
“Iya, Sayang. Tentu.” Anthoine mengecup kening Charlie.
“Hai, Sayang… . Minummu kuat sekali, ya… Lapar sekali, ya?”
Charlie masih menggoda bayinya. Nafas Sabrina mendengus-dengus seiring gerakan mulutnya menyesap ASI, terkadang mengeluarkan suara rengekan yang membuat Charlie tersenyum. Dielusnya dahi Sabrina, dikecupnya Sabrina bahkan memberikan cubitan lembut di pipinya yang montok. Anthoine menikmati suasana itu, penuh rasa kebahagiaan memenuhi dada dan begitu yakin, bahwa Sabrina akan menguatkan Charlie di saat pengintegrasian itu tiba.
—oOo—
“Ibu,” Chamille membuka matanya. Mimpi yang aneh. Kwang terbangun mendengar desahannya, menumpukan tubuh di lengan kiri untuk mengamati Chamille. Masih dini hari, udara semakin dingin.
“Kau bermimpi, Sayang.”
Chamille mengangguk. Dia merasakan tenggorokannya yang kering, mulutnya bergerak-gerak, menjilati bibir bawahnya. Kwang mengambil air di sisi kanannya dan mengangsurkannya ke mulut Chamille. “Hati-hati minumnya, Sayang.”
Chamille mengangguk. Saat merasa cukup, dia menarik kepalanya dari batok kelapa. Kwang meletakkannya lagi di tempat sebelumnya. “Mimpi tentang Ibumu.”
Chamille menarik selimutnya sampai ke pundak. “Iya, Kang. Ibu terlihat cantik sekali.”
“Kau merindukannya?” Kwang mengelus kening Chamille.
“Iya,” Chamille mengangguk. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku bermimpi, Ibu, Ayah dan Nathan sangat bahagia menyambut seseorang. Tidak jelas siapa seseorang itu di mimpi.”
“Mungkin orang itu adalah kau. Kau memimpikan saat kita ditemukan,” tebak Kwang. Chamille mengelus perutnya,”Mungkin saja.”
“Kau semakin melankolis menjelang kelahiran bayi kita.”
Chamille terisak, setelah sekian lama, akhirnya Chamille menangis. “Kang, aku takut. Kau benar. Ini salah. Seharusnya aku tidak mengandung di saat seperti ini. Bagaimana kalau aku mati? Bagaimana kalau bayi ini tidak selamat?”
“Sssstt,” Kwang menempelkan telunjuknya di hidung Chamille. “Kau selama ini meyakinkanku. Jangan membuatku panik, Sayang.”
Dan Chamille pun susah payah menenangkan tangisannya, saat Kwang memeluknya. “Dan kau mulai menilai kalau cinta kita salah?” tanya Kwang.
Chamille menggeleng,”Tidak, Kang. Bukan begitu.”
“Karena kalau kau berpikir begitu. Aku tidak tahu apakah masih bisa hidup.”
Chamille menciumi wajah Kwang. “Aku mencintaimu. Jangan ragukan itu.”
“Makanya jangan bicara yang tidak-tidak,” ancam Kwang. Chamille mengangguk. “Janji?”
Sekali lagi Chamille mengangguk.
“Tidurlah lagi, masih terlalu pagi untuk bangun.” Kwang melingkarkan lengannya di atas perut Chamille lalu membenamkan wajahnya di tengkuk leher wanita itu. Nafas hangat Kwang membuat Chamille tertidur kembali. Sekali lagi Chamille memimpikan Charlie. Chamille benar-benar merindukan Ibunya.
Saat mentari mulai menampakkan diri. Mereka terbangun dan beraktifitas seperti biasa. Kwang membuat api unggun dan Chamille duduk, memasak. Wanita itu benar-benar meletakkan pantatnya di tanah. Perut yang semakin besar membuatnya tidak kuat berjongkok lama-lama. Bahkan jika duduk di atas batu kecil.
“Aku akan masuk ke hutan setelah sarapan,” kata Chamille sambil membumbui ikan. Kwang berjengit. Saat nyala api unggun mulai stabil, Kwang mendekati Chamille. “Katakan saja apa yang kau butuhkan. Biar aku yang mencarinya. Kau di sini saja, merajut seperti biasanya.”
“Aku baru tahu apa yang kubutuhkan setelah masuk hutan,” tekan Chamille. Dia menusukkan ikan pada sebatang kayu lalu memasukkannya di atas nyala api.
“Memangnya apa yang kau butuhkan?” Kwang mengambil alih membakar ikan itu. Sudah delapan bulan Camille tidak menjelajahi hutan karena kehamilannya.
“Herbal untuk membantu kelahiran anak kita,” jawab wanita itu. Perlahan dia menunduk lalu mengelus perutnya. “tiga minggu lagi, mungkin dia lahir. Aku harus bersiap mulai sekarang.”
Kwang merasa terenyuh melihat Chamille. “Kita yang harus bersiap. Kau janji memberitahuku apa yang musti ku lakukan ketika kau melahirkan, Camille.”
“Aku..,” Chamille memandang Kwang. Matanya jelas-jelas menampakkan kegusaran. “Aku bahkan tidak tahu apa yang musti dilakukan. Aku tidak pernah melihat wanita melahirkan, kau ingat?”
Kwang langsung berdiri. “Kau bilang kalau kau tahu semuanya. Kau bahkan meyakinkanku untuk tenang.”
Chamille menunduk lagi lalu menangis. “Maaf.”
Kepala Kwang bergerak gusar. Semua ini benar-benar tak dapat dipercaya. Terdampar di sebuah pulau. Menantikan kelahiran seorang bayi. Sama sekali tidak berpengalaman dalam hal ini. Dan dia harus bertanggungjawab. Dia lelaki. Dia telah berjanji untuk menjadi lelaki yang selalu bertanggung-jawab di setiap langkah yang diambil. Kwang berdiri dengan lututnya di depan Chamille, mengangkat dagu wanita itu dan mengusap air matanya. “Kita benar-benar harus menghadapi semua ini bersama-sama. Tidak ada yang boleh sok pintar mulai sekarang.”
Chamille tersenyum walau matanya masih berair. Kwang duduk menghadapi api unggun kembali. Ikan yang tadi sempat dia jatuhkan, diangkatnya dan rupanya belum terlanjur gosong. Akhirnya mereka saling berbagi, menikmati ikan bakar itu. Kwang sebanyak mungkin memberikan bagiannya pada Chamille. Chamille membutuhkan lebih banyak makan dari pada dia.
“Kau mahasiswa kedokteran. Setidaknya kau tahu teori tentang kelahiran,” ujar Kwang di tengah-tengah makan.
“Aku bahkan sering melihat video kelahiran. Tapi hanya video. Ayahku mempunyai banyak koleksi. Bahkan dia menyimpan rekaman saat Ibu melahirkan Nathan.” Chamille agak menerawang. Saat kembali dari lamunan dia menoleh pada Kwang.”Tapi kelahiran itu di peradaban Kwang. Ada bidan dan peralatan medis.”
“Sebelum ada ilmu pengobatan, kau pikir bagaimana cara manusia melahirkan?” Kwang mendongak. Awan berarak di atas. Birunya langit menandakan kalau hari akan cerah sepanjang siang.
“Entahlah…, mungkin… seperti hewan, hanya mengikuti insting kapan tiba waktunya mengejan dan… .”
Kwang bernafas gusar. Dia menarik tangan Chamille, meremas telapak tangan wanita itu kuat-kuat.”Katakan apa saja yang dibutuhkan, menurut teori-teori itu, apa saja yang dibutuhkan manusia saat dilahirkan kecuali bidan dan alat-alat modern tentu saja.”
“Kang,” mata Chamille memerah, perlahan air mata menuruni lekukan pipinya. Mata Kwang memejam lalu menarik kepala Chamille ke pelukannya. Membekap wanita itu erat-erat. “Katakan, Chamille. Kumohon.”
Chamille mengangguk di dadanya lalu menarik diri. Terlepas dari pelukan Kwang, Chamille mulai bicara dengan nafas sesenggukan. “Mereka membutuhkan antiseptic, itu yang paling penting dan gunting steril untuk memotong tali pusat.”
“Kita bisa mendapatkan antiseptik dari tanaman. Kau tahu kira-kira tanaman apa?”
Chamille mengangguk. Dan gunting, Ah, dari mana mendapatkannya? Kwang berpikir keras lalu pandangannya tertuju pada cuilan bambu di bawahnya. Jika memipihkannya, bambu itu bisa digunakan sebagai alat pemotong, lalu steril… bagaimana menyeterilkannya. Kwang bisa merebusnya bersama herbal antiseptik itu.
Kwang manggut-manggut. “Katakan apa lagi, Chamille.”
“Handuk dan selimut yang bersih.”
“Itu kau sudah merajutnya selama ini,” ujar Kwang. “Yang lainnya lagi?”
“Aku butuh…,” Chamille berhenti bicara. “Sudah kubilang, aku akan mengetahui apa yang kita butuhkan jika masuk ke hutan.”
Kwang mengerang. “Kalau begitu, mari masuk ke hutan!”
Dan mereka benar-benar memasuki hutan setelah sarapan. Kwang berjalan di depan Chamille, memangkas tumbuh-tumbuhan yang menghalang hingga Chamille tidak kesulitan berjalan dengan perut yang membengkak. Setiap kali Chamille mengamati daun-daun yang dijumpainya. Terkadang membungkuk setelah kakinya menyandung suatu ubi lalu mengamati ubi itu. Jika begitu, Kwang menarik tubuhnya,”Jangan membungkuk. Lebih baik berjongkok,” gertak Kwang.
Chamille tersenyum lalu bersimpuh di depan tanaman berumbi itu. “Bisa kau gali tanahnya, Kang?”
Kang mulai mengorek-korek tanah itu dengan batu runcingnya.
“Awas, jangan sampai merusak umbinya. Goresan di umbinya akan membuat bakteri tanah masuk ke umbi,”
“Memangnya apa ini?” tanya Kwang.
“Kunyit. Aku memerlukannya untuk memperlancar kontraksi. Kau harus merebusnya dan meminumkannya padaku saat aku sudah merasa mulas-mulas.”
Kwang mengangguk. Tangannya mengorek, membebaskan umbi itu dari tanah yang mengukungnya lalu mencabutnya dengan hati-hati. Dia terlihat cekatan melakukannya, padahal hatinya setengah mati ketakutan.
Chamille meletakkan kunyit di tas anyamannya, dengan bantuan Kwang, dia berdiri dan mulai berjalan lagi. Semakin lama langkahnya melemah tapi dia belum akan berhenti sebelum menemukan semuanya, lalu saat dia menemukan tanaman sereh, dia menyuruh Kwang untuk mencabutnya. Begitu juga saat mereka menemukan daun sirih, Kwang memetik daun tanaman sulur-sulur itu atas perintah Chamille.
“Kedua tanaman ini mungkin sudah busuk ketika aku melahirkan, tapi kau bisa memetiknya kembali dua hari sebelum hari itu tiba. Setidaknya kau pernah melihat contohnya.”
“Apa ini?” Kwang mencium aroma segar yang keluar dari batang sereh.
“Keduanya mempunyai daya antiseptic dan yang ini…,” Chamille mengangkat sehelai daun sirih.”Selain antiseptik juga berfungsi sebagai adstringent, mempercepat penutupan luka. Kau bisa mengoleskannya pada anak kita setelah tali pusatnya dipotong atau bisa juga kita mengoleskan madu. Oh, iya.” Chamille menepuk jidat. “Kang, carilah madu.”
Kang mengangguk. Dia membimbing Chamille ke arah batu besar. Mendudukkannya dengan hati-hati seakan Chamille adalah kaca yang mudah pecah. “Duduklah tenang di sini. Aku akan mencarikan madu untukmu.”
“Hati-hati, Kang. Lebah-lebah itu sangat pemarah.”
Kwang tertawa. “Aku tidak sebodoh dirimu, Sayang.” Kwang mengucek rambut Chamille. Wanita itu mengantarkan kepergian Kwang dengan senyuman. Saat dia sendirian di tempat itu, dia menunduk, memanjakan janin di dalam perutnya dengan belaian dan menyanyikan lagu lembut.
Kwang tersenyum saat sayup-sayup suara Chamille merambat di udara. Dia mendongak, mencari sarang lebah di tiap dahan pohon, diiringi lagu merdu dari mulut Chamille. Lagu yang menenangkan walau pun hati keduanya sama-sama terancam rasa takut. Mereka benar-benar harus menghadapi kelahiran bayi mereka sendiri di pulau asing ini.
—oOo—
“Ada apa?” Charlie keheranan saat melihat Antoine masuk ke kamar Sabrina. Sudah sebulan Charlie keluar dari rumah sakit. Sabrina semakin menggemaskan. Dia baru saja mau menidurkan bayi montok itu, tapi kehadiran Anthoine mengejutkannya. Ditambah dengan kehadiran Stacy di situ.
“Ada yang harus kita bicarakan,” kata-kata Anthoine terdengar begitu serius. Charlie yang ketakutan, tanpa sadar memeluk Sabrina terlalu erat. Bayi itu merengek kesakitan. Stacy melihat itu dan tidak tega. “We can delay it, Anthoine.”
“No,” Anthoine menoleh sejenak pada Stacy. Charlie mundur selangkah saat Anthoine mendekatinya. Perlahan tangan Anthoine terulur. “Berikan Sabrina padaku, Charlie. Kita harus bicara.”
Charlie menggeleng. Ada ketakutan yang aneh. Sabrina adalah kekuatannya, dia enggan menyerahkan Sabrina pada Anthoine. “Tidak, jangan.. .” Charlie semakin erat memeluk bayi itu. Sabrina menangis keras.
“Sayang, kau menyakitinya. Kemarikan dia, Sayang. Hanya pembicaraan biasa, tidak lebih!”
“Lalu kenapa wanita itu di sini?” pandangan Charlie menunjuk pada Stacy. “Wanita ini membawa aura buruk,” mata Charlie berair, setiap kali kehadiran Stacy membuat Charlie ketakutan.
“Tidak, Sayang. Kau salah. Stacy teman kita. Kau bahkan mempercayainya beberapa bulan terakhir ini.”
Tangis Sabrina semakin memilukan, “Oh, Sayang. Lihatlah Sabrina sangat kesakitan. Biar aku menggendongnya.”
Charlie memandang Sabrina lalu meregangkan pelukannya akan bayi itu. dia pasrah saat akhirnya Anthoine mengambil alih Sabrina. Perlahan Stacy mendekati Charlie. Anthoine menenangkan tangisan bayi itu.
“We must talk,” kata Stacy sambil memegang lengan Charlie. Sesaat Charlie menoleh pada Anthoine, begitu juga Stacy.
“Go first! Nathan and Mom is waiting for us at library. I must care Sabrina here, ” kata anthoine pada Stacy.
Wanita itu mengangguk. Perlahan dia menarik lengan Charlie, mengajaknya meninggalkan ruangan itu.
“Anthoine,” panggil Charlie.
“Pergilah, Sayang. Aku menyusul.”
Charlie masih memandang padanya saat Stacy menariknya keluar. Ketika hanya sendirian saja, dengan Sabrina di gendonganny, Anthoine menangis di kamar bayi itu. Diciumnya kening Sabrina yang mulai tenang, memandang padanya dengan mata hitam pekatnya. Mata milik Charlie. “Tenang, Sayang. Ayah di sini.”
Baby sister Sabrina memasuki kamar. Anthoine menyerahkan bayi itu pada pengasuhnya. “Take care our daughter, Mam.”
Pengasuh itu tersenyum. “I will,” lalu meletakkan bayi mungil itu ke dalam box bayinya, mengajaknya bermain dengan menggerak-gerakkan mainan di atas matanya atau bahkan merayunya untuk tersenyum walau pun bayi itu belum memberikan respon yang memuaskan.
Anthoine keluar dari kamar bayi Sabrina. Menutup pintu di belakangnya dengan senyuman lalu menuju perpustakaan. Charlie mengejutkannya dengan teriakan saat dia sampai di perpustakaan.
“NO!”
Ibunya Charlie membenamkan wajah sedihnya di telapak tangan. Nathan berusaha menenangkan Charlie. “Mom, but it’s true!”
Charlie berlari ke arah Anthoine. “Anthoine katakan semua ini bohong! Semua ini bohong! Aku bukan orang gila!”
Anthoine agak terkejut melihat reaksi Charlie. “Bukan gila, Sayang. Hanya berkepribadian ganda.”
“Apa bedanya! Aku bukan orang gila, Anthoine. Bukan!” Charlie memukul-mukul dada Anthoine. Pria itu mendekapnya erat-erat sementara tangisnya semakin menjadi.
“Mom…,” Nathan merasakan tenggorokan pahit menahan air mata sementara neneknya sudah tersedu-sedu dengan sapu tangan di tangan.
“Sayang, sudahlah.” Anthoine membelai rambut Charlie, menyisir rambutnya dengan jemari tangannya. “Kau masih bisa hidup dengan normal. Stacy akan membantumu untuk itu. Kau harus bisa kuat, Sayang. Kau masih mau membesarkan Sabrina, kan?”
Charlie mengangguk. Dia masih menangis di dada Anthoine, membasahi kemeja yang dipakai pria itu dengan air mata dan ingus. “Sabrina membutuhkanmu, Sayang. Karena itu kau harus kuat menjalani terapi itu. Selama ini kami hanya melakukan hipnotis, kami tidak memberikan penenang padamu karena Sabrina. Kau dengar, anak itu penyelamatmu, Sayang. Maka dari itu tetaplah kuat demi anak itu.”
Sekali lagi Charlie mengangguk. Anthoine memandang pada Stacy dengan matanya yang berkabut. “I trust her to you, Stacy.”
“Don’t worry about it,” Stacy berusaha tersenyum. Dalam hati dia juga merasa sedih. Stacy telah menjadi sahabat keluarga d’Varney sejak lama. Walau pun Charlie tidak menyukainya, Stacy tulus mencintai keluarga itu. Melihat keluarga itu bersedih, serasa menyayat-nyayat hatinya.
Anthoine membimbing Charlie menuju kamar mereka. Dengan hati-hati dia menuntun Charlie berbaring di ranjang, lalu menyelimutinya. Charlie meringkuk, nafasnya masih sesenggukan karena tangis. Dan saat intercom yang terhubung dengan kamar bayi Sabrina menyuarakan tangis bayi itu, Charlie memohon pada Anthoine,”Bawa Sabrina kemari, Anthoine. Aku mohon.”
Anthoine mengangguk lalu memberi perintah melalui intercom. Sebentar kemudian pengasuh Sabrina membawakan bayi itu. Charlie menyusuinya. “Kau tenang jika dia bersamamu?” tanya Anthoine sambil mengelus rambut halus yang tumbuh di dekat telinga Sabrina. Charlie mengangguk.
“Maka tetaplah seperti itu, Charlie. Sabrina juga tenang kalau bersamamu. Tabahlah dalam pengobatanmu nanti. Demi Sabrina.”
“Apakah pengobatannya lama,” Charlie sudah mulai tenang. Dia mendekatkan telunjuknya di telapak tangan Sabrina. Reflek Sabrina menggenggam telunjuknya.
“Sangat lama, melelahkan dan juga menyedihkan,” Anthoine menunduk.
“Tapi ada Sabrina. Apa pun kesedihan itu, pasti akan hilang karena Sabrina.” Charlie menatap mata Anthoine. “Jangan pisahkan kami, Anthoine.”
“Tidak akan.”
Ya. Tidak akan dan tidak pernah. Sabrina adalah sumber kekuatan Charlie. Tempat bayi yang baru lahir adalah di sisi Ibunya. Anthoine tidak akan merenggut semua itu dari Sabrina. Bayi itu adalah piala kemenangan. Pengikatnya dengan Charlie di saat pernikahannya melewati masa kelam. Dan dia bersyukur untuk itu. Sementara Stacy merencanakan terapi selanjutnya, Anthoine merasa tenang melihat Charlie menyusui Sabrina dengan penuh kasih sayang.
Setidaknya biarkanlah aku tenang untuk malam ini.
BERSAMBUNG