Tulisan ini diangkat dari kisah nyata yang terjadi di tahun 1998, jadi kalau ada yang keberatan….. silahkan protes pada masa lalu:
Hal yang selalu aku nikmati jika bertamasya di pantai, sekedar menghilangkan kepenatan akibat kesibukan profesi adalah menyendiri dengan notes kecil dan pensil. Bukan, aku tidak pandai melukis. Aku hanya mampu bermain kata di atas kertas, sementara ombak berbuih menjilat-jilat kakiku, dan pantatku berkarpet hamparan pasir putih.
Di beberapa kaki sana, Paulus, kedua asistenku, dokter Gardho, pak bos, dan keluarga mereka menikmati keindahan pantai dengan cara mereka sendiri. Kadang aku tertawa mengamati polah anak-anak yang turut serta di sini. Lihatlah si Rafli, anak Mbak Anik yang protes pada Mbak Tri karena Mbak Tri terlalu narsis, sedikit-sedikit berfoto atau si Iwan, anak pak Bos, yang sepertinya takut ombak sehingga memilih membuat istana pasir di dekat karang sana.
Hm, semilir angin pantai tropis menerpa wajahku. Sekejap kututup mata, menikmati hawa surgawi itu, diantara suara desiran akibat ombak yang bergulung dan daun nyiur yang bergesekan. Ini adalah kunjungan keduaku di pantai Srau, Pacitan. Pantai yang kurang dikembangkan sebagai areal pariwisata ini, malah begitu mempesonaku dengan keaslian alamnya. Jika berada di sini, aku selalu teringat lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’. Bahkan kini dalam hatiku mulai menyenandungkan lagu itu.
Well, lagu itu menggambarkan keindahan pantai Indonesia. Dengan melihat pantainya saja, bahkan beberapa bangsa di Eropa begitu serakah ingin menguasainya. Dan keanekaragaman penduduknya…., mau cari warna kulit apa pun ada di sini, mulai dari warna putih sampai hitam legam. Mulai dari yang berambut lurus sampai yang keriting, begitu heterogen. Namun sedapat mungkin hidup rukun di negeri ini.
Tak dipungkiri, beberapa kali negeri ini berada di titik nadir. Dan kisahku ini nantinya, mungkin adalah salah satu dari titik nadir itu, namun kuharap….. akan ada pelajaran yang bisa kita petik dari sana.
Di sana…, kala itu….., di bulan Mei tahun 1998….
PROUD TO BE INDONESIA
Theme Song :
Rayuan Pulau Kelapa.
Pencipta dan Pengarang Lagu / Lirik : Ismail Marzuki
Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala
Reff:
Melambai lambai
Nyiur di pantai
Berbisik bisik
Raja Kelana
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah Airku
Indonesia
Pagi Hari….
“Masa menduduki gedung parlemen selama tiga hari, dan sepertinya belum akan bubar sebelum tuntutan mereka di…
Bip!
Papa mematikan televise yang sedang asyik kami tonton. “Waktunya berangkat sekarang,” perintahnya sambil berjalan menuju teras. Robi, adikku langsung mengikutinya karena sekolahnya dan kantor Papa searah sehingga bisa membonceng motor papa, sedangkan aku bersungut-sungut karena harus berjalan kaki menuju pemberhetian bus. Nasib… nasib….
“Si! Peralatan tempurmu ketinggalan!” teriak Mama. Ternyata beliau mengingatkanku pada tas berisi alat-alat dan buku praktikum yang memang kulupakan. Alhasil aku segera balik kanan untuk menenteng tas yang amit-amit beratnya itu. Nasib… nasib… nasib jadi murid ‘Sekolah Menengah Farmasi’… alias ‘SMF’ yang sering diplesetkan kakak kelas menjadi ‘Sekolah Marahi Frustasi’.
Alhamdulilah, tidak perlu terlalu lama menunggu, bis dengan jalur yang kumaksud segera datang. Siap-siap berebut tempat duduk!!!
Hore! Aku dapat kursi juga, tapi…. Bersebelahan dengan koh Ahong! Gubrak!
“Pagi, Sisi… Mau school, kah?” tanyanya. Aku meringis-ringis gaje. “I… iya, koh.”
Masih untung, pemilik toko besi ini tidak mengajakku bicara bahasa kanton hanya karena mengira aku keturunan Thionghoa. Dulu pernah Koh Ahong melakukan itu, waktu Papa menyuruhku membeli paku di tokonya. Dia dengan PEDEnya berbicara bahasa kanton padaku. Aku Cuma bisa nyegir dan bilang, “Itu bahasa daerah mana, ya?”
“Haya… Oe ni gimana, ho?… gak bisa bahasa nenek moyang,” katanya waktu itu.
“Oh, Koh kenal nenek moyang saya, ya?”
“Oe punya nama siapa?” dia malah bertanya balik.
“Sisi!”
“Sisi?”
Aku mengangguk.
“Nama China?”
Aku mulai mengkernyitkan dahi. “Aku kan orang Jawa, Koh.”
Dia mulai mengamatiku secara serius. Pake manggut-manggut segala. Aku jadi risih. Ada yang salah dengan penampilanku? Dan yang paling bikin aku geli lagi saat aku pulang dari tokonya dan harus menyeberang jalan menuju rumah, seorang cowok berwajah Arabian menegurku, “Hati-hati, Cik. Jalannya sedang rame.”
Cik? Tacik? Oh, jadi…
“Gimana kabar Papamu, Si?” tanya Koh Ahong sekarang. Aku mau tak mau menoleh ke arahnya untuk menjawab,”Baik-baik saja, Koh.”
“Papamu sudah lama gak maen di toko Koh buat beli material.”
“Kan rumah sudah jadi, Koh,” responku. Memang ketika renovasi rumah waktu SMP dulu, Papa sering membeli bahan bangunan yang masih kurang di toko besi Koh Ahong. Dan kejadian dia mengajakku bicara dengan bahasa Kanton itu juga terjadi pas masa-masa renovasi dulu.
“Gemblegan! Gemblegan!” Kernet bus mulai meneriakkan lokasi dimana aku harus turun. Aku segera berdiri. “Duluan, Ya, koh!” Pamitku pada Koh Ahong. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Matanya yang sipit jadi semakin sipit kalau tersenyum begitu. Dan Aku mulai bersatu dengan desakan anak-anak sekolah lain yang mulai menuruni bis.
Siang Hari…
Jadwal ujian semesteran sudah keluar, kami mulai mencatat.
“Ujian untuk kelas dua akan dimulai setiap jam delapan pagi. Jangan sampai ada yang terlambat!” Bu Trisunu, wali kelas kami sekali lagi mewanti-wanti. “Ingat! Kartu ujian selalu dibawa.”
“Iya, Bu!” Anak-anak koor serempak.
Saat Bu Trisunu keluar kelas, seperti biasa anak-anak mulai ribut. Termasuk aku tentu saja yang bersorak-sorak aneh, “Cihui! Ujian sudah datang! Sebentar lagi aku jadi paling senior di sekolah ini.”
Dwi yang kebetulan hari ini duduk di sampingku karena Nu’lin memilih menempati bangkunya. Kayaknya Nu’lin lagi ada ‘something’ sama Yunita, teman sebangku Dwi. Tapi no problemo, lah… Toh aku dan Dwi juga berteman baik.
“Eh, Yakin mau jadi senior, Si? Senior yang kau taksir, sebentar lagi lulus, dong! Jadi senior tapi Jomblo apa enaknya?”
Yah… mulai, deh si Dwi nyindir. Aku memonyongkan bibir. Dwi cengar-cengir, apalagi saat mataku yang sipit jadi semakin sipit menatapnya. Sudah kebiasaanku berekspresi seperti itu kalau merasa tersindir. Aku teruskan mencatat jadwal ujian. Walau sebenarnya hatiku galau juga. Senior pujaan…. ! Oh…, sebentar lagi kita berjauhan. Lebay!
“Setelah ujian ini…,” Dwi mulai ngomyang sendiri.”Harus focus pada tes KDU. Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia. Kalau Bahasa Inggris, aku yakin kau tidak begitu kesulitan, sedangkan aku?”
Aku menghentikan kegiatan menulisku untuk menatapnya, “Tapi kau yang paling jago Matematika, ajari, dong!”
“Gak mau! Kita kan bersaing.”
“Uh, Pelit!”
Aku mencubit lengan Dwi sampai meringis. Kali ini giliran aku yang cengar-cengir menikmati penderitaannya.
Dwi memang murid kesayangan Pak Sri Widodo, Guru Matematika di sekolah ini. Masih kuingat perkenalanku pertama kali dengan Dwi. Perkenalan karena ulangan matematika pertama kali di kelas satu. Pak Sri Wid memang orangnya aneh, setiap kali pelajaran matematika selalu diawali dengan ulangan. Soalnya hanya satu tapi waktu mengerjakannya lima menit. Katanya,”Deg-degannya satu menit, mengerjakannya empat menit.”
Gubrak! Yang benar aja, Pak? Yang ada malah tangan jadi gemetaran terus selama lima menit dan pikiran jadi gak konsen. Boro-boro kalau soalnya mudah, orang soalnya selalu hitungan Aljabar yang ruwet. Tapi anehnya, kalau sudah ada satu anak yang selesai kurang dari lima menit, waktu mengerjakan langsung dihentikan. “Kumpulkan!” Nah, Lho… anak-anak mulai kelabakan kalau Pak Sri Wid sudah teriak begitu.
“Nulis soalnya saja belum,” nyiyir Tri Mulyani.
Aku jadi kepikiran, siapa sih anak yang bisa mengerjakan soal secepat itu? Yap! Jawaban anda betul! DWI! Apalagi saat Pak Sri Wid mulai mendekatinya dan berbisik-bisik, memujinya dengan acungan jempol. Jiah!
Seperti halnya anak-anak yang lain, aku juga mendekati Dwi untuk minta diterangkan soal matematika tadi di jam istirahat sekolah. Kayaknya dia lebih senang berteman denganku, buktinya… dia selalu menoleh padaku dan tersenyum. Persahabatan kami berlanjut. Aku mulai berkenalan dengan keluarganya. Dia bukan berasal dari keluarga yang berada. Adiknya banyak dan dia merupakan anak yang tertua. Rumahnya juga kunilai tidak layak untuk ditempati orang sebanyak itu. Dan yang paling miris lagi adalah saat aku bertanya,”Apa pekerjaan Bapakmu?”
Dia menjawab,”Tukang becak, memang kenapa, Si?”
Aku menggeleng,”Tidak apa-apa.”
Dia memalingkan muka dan mendesah,”Kadang aku minder berteman denganmu.”
“Kenapa?”
“Kau cantik dan dari keluarga berada.”
Aku mengibaskan tangan di mukanya,”Ah, Papa Cuma pegawai hotel. Mama saja yang pintar berhemat.”
“Hemat dan anaknya Cuma dua, jadi gak repot,” potongnya.
“Hehehehe, tapi syukurilah apa yang ada. Kau juga cantik, aku suka rambut bergelombangmu yang lebat dan tulang pipimu yang tirus.”
Aku memang selalu kagum dengan kecantikan Dwi yang menurutku mirip dengan penyanyi ‘Evi Tamala’ kalau saja kulitnya lebih putih.
“Tapi aku suka kulit putihmu dan rambutmu yang pirang.”
“Rambut jagung, kali…,” candaku. Dia cekikikan menutup mulutnya.
Oalah…, rambut kaya gini kok dikagumi. Aku malah mengira rambutku ini mirip warna rambut orang yang terkena penyakit cacingan. Bahkan gara-gara rambut ini, kakak kelas mencap aku keganjenan waktu OSPEK, mereka mengira aku sok artis dan mengecat rambutku. Alhasil, jadilah aku obyek bulan-bulanan mereka. Tapi gak papa, ding! Yang penting ketua OSIS naksir aku. Oh…, senior idaman…, please…, don’t Go!
Tet! Tet! Tet! Suara Bel istirahat membuyarkan lamunanku. Anak-anak yang sudah selesai mencatat jadwal ujian keluar dari kelas untuk menuju ke kantin atau menunaikan sholat Ashar. Bahkan Nu’lin mendekati kursinya di sampingku untuk mengambil mukena. “Sholat, yuk!” ajaknya padaku dan Dwi.
“Oke!” Aku mulai memberesi buku dan peralatan tulis, lalu mengeluarkan mukena. “Tidak sholat?” tanyaku pada Dwi.
Dia menggeleng. “Lagi mensis.”
“Oh,”
Aku berjalan ke arah mushola dengan Nu’lin. Seperti biasa, sebelum sholat selalu diawali dengan rutinitas berwudhlu. Antrian panjang dimulai di area wudhlu. Bagi yang berjilbab, memilih area yang dalam sedang yang tidak di luar. Aku berjilbab mulai pertengahan semester kelas dua, jadi aku masuk antrian di area dalam. Di antrian paling depan adalah Evita, dan ternyata antrian semakin panjang saja.
Evita sempat mengira kalau aku nonmuslim waktu kelas satu dulu. Lagi-lagi hal ini disebabkan oleh penampilan fisiku. Ada kejadian lucu waktu pertama kali sholat di sekolah ini, dan kejadiannya juga di area wudhlu. Aku juga mendengar apa yang dia katakan pada Widyastuti waktu itu, tapi kudiamkan saja. Dia bilang, “Lho… lho, Tik! Ni anak kok ikut antri, sih.”
Tutik pun melirikku. Aku yakin itu. Malahan dia berbisik pada Evita, “Lho, Wudhu, Vit!”
Ya, ampun! Lo antri di sini ya jelas mau wudhu to, Mbakyu… masa mau minum air kran! Selidik punya selidik, dia misspresepsi antara aku ma Anita. Aku yang muslim dikira Kristiani, Anita yang Kristiani dikira Muslim. Lucu juga, banyak orang yang tertipu dengan penampilanku. Saat aku memutuskan berjilbab, aku tidak tahu apa alasanku. Kalau kau bilang itu hidayah? Bukan! Atau karena ikut-ikutan? Big No! Aku selalu punya style sendiri. Bahkan teman yang mengenalku sejak SMP juga heran, mereka mengira kalau aku termasuk orang yang tidak mungkin mempunyai pikiran untuk berjilbab.
Jangankan temanku, orang tuaku pun mewanti-wanti niatku itu, Mama bilang,”Kamu yakin, Si? Komitmennya besar sekali, Lho. Kalau nantinya kau memutuskan lepas lagi, kamu malu, lho?”
“Ah, gak tahu lah, Ma. Yang penting sekarang aku mau pakai jilbab. Titik!”
Papa yang paling keras menentangku. Beliau memang tidak melarang secara frontal, tapi kata-katanya selalu menyindir. Seperti waktu aku mengeluh, rambutku rontok karena Papa mengganti shampoo untuk keluarga. Papa malah bilang,”Ya tentu saja rontok! Rambutmu, kan kau tutup terus!”
Sabar…! Sabar…!
Sore Hari, mendekati pukul 16.00 WIB
Dalam setengah jam, kami menyelesaikan ibadah sholat Ashar. Anehnya, bel masuk belum juga berbunyi. Malahan banyak siswa dan guru bergerombol di pagar sekolah. Dalam perjalanan dari mushola ke kelas, kami melewati jembatan yang menghubungkan lantai dua gedung laboratorium dan lantai dua gedung kelas. Di jembatan ini, Ari Sulist memberi kabar pada kami, “Kayaknya semua pelajaran hari ini kosong!”
“Apa? Minggu depan, kan sudah semesteran? Masa kosong?” protesku tidak percaya.
“Lihat saja, tuh!” Ari menunjuk langit di sebelah utara. Asap hitam terlihat mengepul di langit.
“Apa itu?” tanya Evita.
“Matahari Singosaren katanya dibakar,” jawab Anik. Aku menyipitkan mata.
Segerombolan anak berlari melewati kami. Kami berpandangan penuh tanya. Mereka bergabung dengan anak-anak lain yang bergerombol di pagar dan pintu gerbang sekolah. Aku, Ari Sulis, Anik, Evita dan Nu’lin mengikuti gerombolan itu, tapi saat akan menuruni tangga, Dwi menarik tanganku untuk mengikutinya di ujung lain gedung ini, sehingga terpisah dari mereka.
Di sinilah kami sekarang, dari sini semuanya terlihat jelas karena di depan kami adalah dinding kaca di lantai dua. Arus jalan yang seharusnya satu-satunya arah dari Wonogiri ke Solo mulai semrawut karena bis ingin berbalik arah. Bau asap samar-samar tercium. Suasana bertambah muram dengan teriakan klakson yang bersahut-sahutan. Dan aku bisa mengira kalau wajah-wajah di bawah sana sedang panik.
“Demonstrasi, Si,” kata Dwi. Aku mengalihkan pandangan dari jalanan yang semrawut itu untuk memandangnya. “Mereka ingin Pak Harto ‘lengser’.”
Pandangan mataku tambah menyipit. Sayup-sayup suara pembawa acara di berita pagi itu terdengar lagi di telingaku walau terpotong karena Papa mematikan televisi, “Masa menduduki gedung parlemen selama tiga hari, dan sepertinya belum akan bubar sebelum tuntutan mereka di…
“Aku tidak tahu lagi, apakah masih bisa sekolah lagi setelah ini,” keluh Dwi bahkan sambil menutup mukanya dan mulai terisak. Aku tidak tahu apa maksudnya. Memangnya apa pengaruh dari lengsernya Pak Harto dengan sekolah kami? Dan bagaimana bisa seseorang seperti Dwi yang selalu kukenal dengan semangatnya bersekolah walau dalam keadaan ekonomi yang minim jadi sepesimis itu?
Tidak! Aku tidak mengerti. Yang aku tahu, dia pasti sangat sedih sekarang, dan aku harus menenangkannya. Tapi sayangnya aku bukanlah sahabat yang pandai menenangkannya ketika sedang kalut. Aku hanya membiarkannya menangis, menatapnya dengan keprihatinan dan menepuk-nepuk punggungnya. Aku yakin dengan bahasa tubuh semacam itu, dia tahu kalau aku perduli.
“Kenapa Dwi menangis?” pertanyaan Nu’lin membuatku terkaget. Tiba-tiba saja anak itu sudah ada di belakang kami.
“Dia bilang, dia tidak tahu apakah setelah ini masih bisa sekolah lagi,” jawabku.
Seperti tahu apa yang dimaksudkan Dwi. Nu’lin memeluknya. Aku semakin bingung. Sebenarnya ada apa, sih? Apa hubungannya lengser Pak Harto dengan sekolah kami?
Tepat Pukul 16.00 WIB
Kata-kata Ari Sulis benar. Semua pelajaran hari ini kosong, bahkan sekolah dipulangkan. Guru mengumumkan, untuk yang rumahnya jauh menginap dulu di kos teman yang dekat sekolah atau menunggu jemputan. Aku termasuk yang berumah jauh. Tapi aku merasa kalau aku harus pulang. Apa pun yang terjadi, aku harus pulang. Hanya rumah-lah tempat yang aman bagiku.
Beberapa teman antri di telepon umum lobi sekolah, menelphon orang tua masing-masing untuk dijemput. Sedangkan aku, di rumah tidak ada telephon. Ada, sih telephon tetangga, tapi aku juga gak tahu nomer telephonnya. Tapi pokoknya aku nekat pengen pulang. Apa pun yang terjadi!
Aku bahkan menerobos pintu gerbang yang mulai ditutup satpam untuk melindungi anak-anak yang masih bertahan di gedung sekolah. Busyet! Para Satpam itu pakai menanyai kami mau pergi kemana, ketat banget. Aku berbohong pada mereka. Aku bilang, “Kos-kosanku di Dawung wetan, dekat, kok.”
Sepertinya mereka percaya omonganku. Memang, sih, pada awal kelas dua dulu, aku sempat kos tiga bulan di Dawung wetan, mungkin itu sebabnya mereka percaya. Tapi….
Saat aku berhasil melewati barikade itu, aku jadi bingung sendiri. Arah Mojosongo, rumahku, menuju utara. Padahal jalan begitu ruwet karena arus berusaha keras balik arah ke selatan. Aku berjalan menuju perempatan Gemblegan dengan perasaan linglung. Memanggul ransel besar dan menenteng tas berisi buku dan alat praktikum tadi. Udara sudah tidak layak untuk dihirup. Terpaksa kusingkap jilbabku untuk menutupi hidung.
Sesampai di depan rumah Bu Endang, salah satu guru Praktikum Resep, ternyata Bu Endang berdiri di depan rumah, melihat keadaan yang semakin kacau. Mungkin dia mengenaliku dari seragam yang kupakai bahkan bertanya, “Mau pulang kemana? Kalau rumahnya jauh mending balik ke sekolah lagi!”
Sekali lagi aku berbohong.”Kos saya dekat, kok, Bu. Di gang habis perempatan.”
Bu Endang manggut-manggut. Ya, Allah… maafkan hambamu ini. Dua kali sudah aku berbohong. Padahal di perempatan Gemblegan saja, belum tentu ada bus. Dan ternyata benar, perempatan yang selalu ramai dengan bisnis pengangkutan itu, kini kosong melompong. Tidak ada bis menuju Mojosongo. Yang dari Mojosongo pun disinyalir berbalik arah saat sampai di Matahari Singosaren. Aku mulai bisa mengira-ira kalau pusat huru-hara masa pasti ada di kawasan Singosaren, maka kuputuskan untuk berjalan kaki menuju rumah dengan menghindari route Singosaren.
Aku memotong jalan ke perempatan Notosuman, lalu menuju jalan yang langsung menghubungkan ke daerah Pasar Kembang. Tapi naas, masa malah sudah sampai di situ, bahkan berlawanan arah denganku. Mereka meneriakkan hal-hal yang sama sekali tidak aku mengerti, mereka menjerit,”Reformasi! Reformasi!”
Bahkan ada yang bilang, “Turunkan Soeharto!” kalau yang ini sih aku tahu maksudnya.
Tapi ngeri juga. Apalagi melihat tampang-tampang mereka yang kelihatannya sangar. Aduh, gimana, Nih!
“Nak, mau kemana?” seorang bapak-bapak menyapaku.
“Pulang, Pak.”
“Rumahnya mana? Bahaya pulang sendiri, lagi gawat begini.”
“Rumah saya dekat, Pak. Di gang belakang Sami Luwes itu,” aku menunjuk ke toserba yang kumaksud. Bapak itu manggut-manggut, “Ya sudah. Hati-hati, ya!”
Aku mengangguk. Aku berbohong lagi. Kalian tahu jarak antara sekolah sampai Mojosongo? Bayangkan saja, Sekolahku ada di Dawung, ujung selatan dari kota Solo. Sedangkan Mojosongo, di ujung utara kota Solo. Kira-kira saja sendiri.
Di perempatan Pasar Kembang, massa sengaja membakar ban bekas. Suasana mencekam semakin terdramatisir. Aku berjalan semakin meminggir, menghindari masa yang berjalan berlawanan arah denganku. Beberapa toko tak luput dari penjarahan mereka. Hukum dan Polisi hanya bisa menyembunyikan taringnya sekarang. Botol-botol beling mereka lemparkan ke segala arah, meluapkan amarah mereka. Aneh, sebenarnya kenapa mereka marah? Aku hanya bisa berdoa, semoga selamat dari lemparan botol-botol itu.
Toserba yang kutunjuk tadi sudah tak layak disebut toserba. Hangus! Asap mengepul dari atapnya. Aku yakin toserba itu pasti juga dijarah sebelum dibakar. Novotel yang baru saja diresmikan pembukaannya juga begitu mengenaskan. Sebuah toko kecil di depan Novotel dijarah, dan anehnya, si empunya toko ada di tempat, tapi mendiamkannya saja dengan tatapan pasrah. Aku mengelus dada. Ya, Allah! Sudah begitu brutalkah manusia?
Tepat Pukul 17.00 WIB
Aku sudah hampir sampai di daerah Pasar Legi. Alarm dari beberapa Bank yang memang sudah porak poranda berbunyi begitu saja. Asap dan kabut hitam tebal makin mengepul. Sesaat aku batuk-batuk. Rupanya cadar buatan dari jilbabku tak mampu menghalau udara pengap. Toko-toko di areal ini, bernasib sama dengan toko-toko yang aku lewati tadi, menjadi korban penjarahan masal dengan pelaku yang tidak mungkin dikenali karena saking banyaknya.
Beberapa orang tampak mengetuk-ketuk sebuah ruko yang tertutup. Aku mendengar dengan jelas teriakan salah satu pria di situ, dia bilang,”Koh! Cik! Keluarlah, bisa terpanggang kalian jika terus di dalam.”
Kepalaku mendongak, mengikuti pandangan orang-orang yang juga ada di situ. Astaghfirlahalladzim! Api sudah membara di atas ruko. Orang-orang yang mengetuk pintu ruko itu semakin keras berteriak, “Koh! Kebakaran!”
Semua menjadi lega saat pintu ruko terbuka. Sepasang suami istri renta keluar dari dalamnya. Sang istri membawa kain bungkusan yang aku yakini berisi pakaian seadanya. Saat ku menatap ke wajah mereka, hatiku miris, roman ketakutan tampak di sana.
Tiba-tiba sebilah papan berbara api jatuh dari atas. Sontak semua orang berlari menghindar sambil berteriak, termasuk diriku. Kewalahan juga berlari dengan rok panjang yang kupakai dan bawaan yang super berat. Di otakku masih terbayang wajah ketakutan suami istri renta itu, trenyuh hatiku rasanya. Semoga saja ada tempat berlindung bagi mereka malam ini.
Sementara senja semakin mempersuram suasana. Sebutan Solo sebagai ‘Kota yang tidak pernah tidur’ sepertinya tidak berlaku lagi. Lihat saja, hari masih sore, tapi suasana sudah seperti kota mati. Pasar Legi yang selama ini hiruk pikuk dengan kegiatan niaga, kini senyap. Bangunan-bangungan bank yang mengitari area ini sudah hancur lebur. Alarm yang berbunyi tak kuasa menangkal kejahatan karena sekali lagi, hukum dan polisi menyembunyikan giginya saat kejahatan dilakukan secara masal. Bahkan pemadam kebakaran pun, dimana fungsinya sekarang? Di saat kota membara karena huru hara. Memikirkan semua itu, air mataku menetes. Kini aku tahu arti dari perkataan Dwi. Aku rasa, untuk saat ini, bukan hanya Dwi yang mempertanyakan nasibnya di kemudian hari, tapi juga semua orang yang hidup dan mencari nafkah di Solo. Sebut saja pemilik, karyawan-karyawan Toserba dan Ruko yang dijarah dan dibakar tadi, pegawai Bank bahkan pekerja di bidang pariwisata dan perhotelan seperti Papa. Jika Papa saja mempertanyakan nasib di kemudian hari, lalu bagaimana denganku yang masih dibawah lindungan Papa? Bagaimana dengan cita-citaku selama ini? Memikirkan semua itu, aku terduduk di trotoar sepi dan menangis.
“Nduk, kok sendirian di sini?”
Aku mendongak saat seseorang memanggilku. Seorang pria yang sepertinya seumuran Papa, duduk di sepeda motornya. Aku mengamati orang itu, dan sama sekali tidak mengenalinya.
“Ku antar, yuk!” tawarnya padaku. Tentu saja aku menggeleng. Di saat seperti ini, tidak bijaksana menerima pertolongan dari orang yang tidak dikenal. Kita bahkan tidak bisa membedakan kebaikan atau keburukan yang terbungkus kebaikan.
“Kamu anak perempuan Pak Bambang Sayuti, kan?”
Pandangan mataku melebar saat nama Papa disebut. Sekali lagi kupandangi wajah di depanku itu. Tetap saja aku tak mengenalinya, tapi aku yakin dia mengenaliku. Dan aku mulai percaya padanya. Apalagi saat ini ku tak mampu melanjutkan perjalanan lagi. Kakiku serasa kebas dan menebal. Punggungku mulai sakit menahan beban berat. Dan akhirnya aku mengangguk, aku berdiri, naik ke sepeda motornya. Rupanya dia benar-benar mengenaliku, arah sepeda motornya benar-benar menuju Mojosongo walau pun terkadang berbelok melewati gang-gang karena menghindari massa huru-hara. Di saat itu, aku merasa angin sorga bertiup. Aku merasa aman sekarang, walau pun udara sore serasa panas, dan asap makin terkonsentrat di udara.
Mendekati pukul 18.00 WIB
Saat kami sampai di perempatan dekat rumah, keadaan semakin kacau di sini. Pria itu kebingungan mau menghindar kemana lagi. Aku jadi tidak enak hati karenanya. Aku putuskan untuk turun di sini saja, toh rumah juga sudah dekat.
“Yakin, Nduk?” Pria itu sepertinya sangsi akan keputusanku. Aku mengangguk mantap. “Terima kasih sudah mengantar.”
Pria itu tersenyum lalu membalikkan motornya. “Berhati-hatilah,” pesannya sebelum motornya meraung meninggalkanku. Sekali lagi aku memantapkan hati melanjutkan perjalanan. Aku seberangi jalan yang biasanya rame dengan bus-bus besar, karena merupakan jalur keluar kota ke arah Jawa Timur dalam keadaan normal, namun kini rame dengan ban-ban bekas yang dibakar oleh orang-orang yang kurang kerjaan namun merasa tercampakkan oleh system.
Akhirnya…, tibalah aku memasuki gang rumahku. Semua tetangga heboh dengan kedatanganku. Papa baru saja mengeluarkan motor untuk menjemputku di sekolah. Beliau juga tak kalah terkejut. Kulihat penampilan Papa yang memakai jaket panjang bahkan menutupi mukanya. Mama menyongsongku dengan pelukan. “Bagaimana bisa kau pulang sendiri?” tanyanya dengan kawatir.
“Jalan kaki sampai Pasar legi lalu ada orang di sana yang mengantarku dengan motor,” jawabku.
“Siapa?” tanya Papa setelah menstandardkan motor. Semua tetangga mengerubungi kami.
“Gak tahu, dia malah tahu kalau aku anak Papa. Dia menyebut nama Papa.”
Mata Papa semakin menyipit.
“Kamu kok berani-beraninya pulang sendiri?” tanya Bi Ado, tetangga sebelah. Aku menoleh padanya dengan dahi berkerut.
“Untunglah sekarang dia pakai jilbab, kalau tidak… kita tak tahu apa yang terjadi,” seloroh Mbak Lastri, orang yang tinggal di sebelah kanan rumah kami. Mama mengangguk, sekali lagi menangis memelukku.
“Sudahlah, ayo sekarang masuk!” perintah Papa yang tentu saja diamini oleh Mama dan semua tetangga pun membubarkan diri untuk masuk ke rumah masing-masing.
Malam Hari.
PLN mengadakan pemadaman listrik dari jam enam sore tadi. Alhasil kota Solo gulap gulita sepanjang malam. Bunyi sirine sesekali meraung, memecah keheningan malam. Rumah-rumah yang ada di komplek perumahan Mojosongo, yang selama ini menggantungkan diri pada listrik untuk mendapatkan air, harus berhemat air, termasuk rumah kami. Kami sekeluarga memutuskan untuk tidak mandi, karena air terbatas yang sudah tertampung di bak mandi harus di hemat untuk berwudhlu dan berbasuh setiap buang air. Gang rumah kami yang biasanya terang dan ramai dengan anak-anak kecil yang bermain, kini terlihat sepi. Hanya bapak-bapak yang bertugas berjaga-jaga di setiap sudut kampong, tampak bercakap-cakap.
Toko Besi Koh Ahong, ternyata juga tak luput dari penjarahan. Bahkan mobil barunya dikeluarkan paksa oleh massa dari garasi rumahnya yang memang berada di pinggir jalan besar, lalu dibakar. Koh Ahong dan keluarganya menumpang inap di rumah Mbah Roso, tetangga sebelah kiriku, karena merasa terancam jika berada di rumah sendiri.
Aku, Robi, Papa dan Mama, tidur di ruang tengah selepas Isya’. Hanya keremangan cahaya lampu teplok yang menerangi ruangan tengah, sedang ruangan lain dibiarkan tanpa penerangan. Suasana malam hari di rumah ini, yang biasanya terang benderang, hingar bingar dengan suara TV atau tape recorder karena Papa dan Mama berkaraoke, serasa muram kini. Semuram pikiranku memikirkan perkataan Dwi tadi siang.
Apa kabarnya sekolah? Besok tetap masuk atau tidak? Bukankah hari Senin sudah ujian? Bagaimana bisa jika keadaan kota saja seperti ini? Semua begitu tidak pasti malam ini. Bukan saja bagiku, tapi aku rasa …. Juga bagi semua orang, yang masih punya pikiran jernih.
Keesokan harinya.
Tepat pukul lima pagi, PLN baru menyalakn aliran listrik kembali. Seperti halnya hari biasa, kami mengawali rutinitas pagi dengan Sholat Subuh berjama’ah, lalu antri mandi. Tapi Papa melarang kami masuk sekolah. Robi selalu menurut, tapi aku bersikeras masuk sekolah. Aku beralasan tidak mau ketinggalan pelajaran karena Senin sudah ujian semesteran.
“Mau pelajaran gimana? Suasana kota masih tidak menentu begini!” Papa ngotot melarangku. “Aku yakin sekolahmu juga pasti diliburkan.”
“Tidak, Pa. Kemaren tidak ada pengumuman libur.”
“Pokoknya Papa bilang tidak usah masuk!”
“Pokoknya aku mau masuk!”
“Berani membantah, ya!”
Aku langsung menciut kalau Papa sudah menampakkan taring. Hanya perkataan yang tegas tanpa bahasa tubuh menghardik, dan aku sudah ketakutan. Lari menaiki tangga menuju lantai dua, memasuki kamar dan membanting pintunya keras-keras dengan perasaan dongkol. Lalu berbaring di tempat tidur, menutup muka dengan bantal dan menangis.
Jam setengah tujuh pagi, seperti dugaanku, Papa pergi ke kantor. Aku mengganti seragamku dengan kaos oblong dan celana jeans serta jilbab bertali ke belakang, sedangkan seragamku, kumasukkan ke dalam tas yang biasa kupakai untuk hang out bersama teman-teman. Aku memutuskan ke sekolah tapi tentu saja tidak sepengetahuan orang tuaku.
Benar saja, saat sampai di ruang tengah. Mama melihatku dan bertanya,”Mau kemana?”
“Ke rumah Endah, Ma. Tanya tentang catatan yang belum lengkap,” Aku berbohong lagi. Kali ini tak tanggung-tanggung karena yang kubohongi Ibu kandungku sendiri.
“Oh, naik apa?” Mama manggut-manggut sambil bertanya lagi.
“Naik sepeda federal.”
“Ya sudah, hati-hati.”
Aku tersenyum menang! Menang pada kebohonganku! Aku Cuma berdoa agar Tuhan memaafkanku sekarang. Dan akhirnya sepeda federal keluar juga dari rumah, dan aku mengendarainya ke selatan, arah ke sekolahku, bukan ke utara, arah rumah Endah.
Di sepanjang perjalanan. Huru-hara kemaren masih memberikan sisa kemuraman walau pun jalanan mulai ramai. Namun kebanyakan pekerja akhirnya berbalik lagi menuju rumah masing-masing karena lokasi kerjanya sudah habis termakan huru-hara. Rupanya kekawatiranku benar-benar terjadi. Alhasil, aku harus melawan arus, sementara mereka menuju pinggiran kota. Aku menuju pusat kota, tempat sekolahku berada.
Beberapa sekolah yang kulewati benar-benar tutup. Dan sekolahku…, sama seperti sekolah-sekolah yang lain, pintu gerbangnya tertutup rapat-rapat. Di depannya ada pengumuman yang ditulis di papan triplek dengan spidol marker, “Sekolah diliburkan selama seminggu sejak tanggal pengumuman ini ditulis.” Lengkap dengan tanggal dan tanda tangan pembuat pengumuman yang aku yakini sebagai tanda tangan kepala sekolah. Berarti ujian mau tak mau juga diundur. Aku berjalan gontai menuju sepeda federalku dan mengendarainya lagi dengan perasaan ling lung.
Kemaren, di pagi hari, di waktu yang sama, aku bertemu teman-temanku dengan hati riang. Menerima materi yang memusingkan tapi begitu menyenangkan karena suasana yang penuh kepastian. Kami begitu ceria menatap hari, bahkan membuat sediaan pil yang bulat-bulat kecil dan menertawakannya karena ada yang peyok beberapa di sebabkan kurang ahli. Tapi sekarang? Apa yang akan terjadi? Jika dalam suasana normal, mungkin aku akan bersorak gembira sekolah diliburkan, tapi ini bukanlah liburan yang menyenangkan. Sama sekali tidak menyenangkan!
Aku memberanikan diri melewati Singosaren. Areal perbelanjaan ini kacau balau. Ruko-ruko, toko bahkan Toserba terbesar di areal ini, gosong karena di bakar huru-hara kemaren. Lalu lintas padat merayap, aku harus mengendarai sepedaku pelan-pelan. Pemadam kebakaran, petugas SAR dari Perguruan Tinggi Negeri kota ini tampak masih melakukan pertolongan. Pecahan-pecahan kaca menghiasi sepanjang jalan raya, bau-bauan aneh menusuk hidung. Kasak-kusuk terdengar, ditemukan lima mayat gosong di toko sepatu “Famous”. Aku begidik ngeri mendengarnya. Orang-orang itu pasti terjebak di dalam gedung saat huru-hara dan tidak sempat keluar. Dan pagi hari itu, udara serasa semakin panas saja di Kota Solo.
Aku sampai di rumahku kembali jam Sembilan pagi. Aku bilang pada Mama kalau Endah sudah menelphone Bu Atifah dan tahu kalau sekolah diliburkan selama seminggu. Tentu saja aku tidak bilang kalau aku tahu sendiri kabar itu dengan melihat papan pengumuman yang terpampang di pintu gerbang sekolah. Mama Cuma manggut-manggut. Aku yakin Mama sebenarnya tahu kalau aku berbohong, karena aku memang tidak pandai berbohong jika di depan orang tuaku. Namun kali ini, mungkin ada alasan kenapa Mama tidak menegurku, malahan menyuruhku makan karena memang aku belum makan pagi tadi.
Dan waktu kulihat apa yang dimasak Mama, hanya sayur orak-arik telur. Tidak ada lauk enak seperti biasanya. Pasar belum pulih, harus menghemat bahan makanan yang ada mulai sekarang. Aku makan sambil menonton televise yang tentu saja mengabarkan keadaan huru-hara yang terjadi di beberapa titik di wilayah Indonesia di antaranya di Jakarta dan … sialnya di Solo juga, kota kelahiranku.
Tiba-tiba saja Mama menutup pintu depan dengan kesal. Aku yang terkejut menoleh padanya. Mama ngomel-ngomel,”Kurang ajar, mau apa orang asing itu melirik-lirik rumah ini! Mau cari-cari rumah orang berkulit putih buat dijarah!”
“Mama ini kenapa, sih?” Aku ikut-ikutan berdiri di dekat jendela. Menatap obyek pengamatan Mama.
“Lihat saja itu orang! Bikin tidak tenang saja!” masih omel Mama.
Aku mengibaskan tangan,”Sudahlah, Ma. Jangan suudzon. Kita kan baik-baik saja di kampong ini. Rukun sama tetangga kiri kanan. Tidak mungkin orang semacam itu berani macam-macam sama kita. Papa saja sempat dicalonkan jadi ketua RT, kan?”
Aku kembali lagi ke piring makananku yang baru kuhabiskan separuh. Di saat itulah ada berita di televise, di Jakarta, ada gadis dengan kulit yang sama sepertiku, diperkosa di saat huru-hara berlangsung. Sekali lagi aku begidik ngeri. Kemaren aku pulang sendiri, aku jadi teringat perkataan Mbak Lastri, “Untunglah sekarang dia pakai jilbab, kalau tidak… kita tak tahu apa yang terjadi.”
Oh Ya, Allah. Kenapa semua itu terjadi? Bertahun-tahun aku hidup di sini, tidak ada yang mempermasalahkan warna kulit di antara kami. Provokasi busuk! Kenapa begitu menimbulkan sara? Mereka berdalih system yang tidak menguntungkan, padahal jika ditilik…., ada juga beberapa system yang tidak menguntungkan bagi kami. Sebut saja kami yang tidak bisa masuk jajaran Pegawai Negeri Sipil, atau bagi mahasiswa kedokteran, yang tidak bisa mengenyam pendidikan spesialis di beberapa perguruan tinggi Negeri, belum lagi perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang tidak boleh dilaksanakan terang-terangan serta kesenian Barongsai yang dilarang. Kami tidak mempermasalahkan semua itu. Kami tidak bisa duduk di jajaran Pegawai, kami bisa melakukan hal lain yaitu berniaga. Dan karena keuletan berbisnis dan berniaga itulah, secara ekonomi, kami bisa lebih kuat. Semua ini tergantung dari bagaimana kita menyikapi rintangan yang berupa system itu.
Ibaratkan saja ketika kau berjalan, ada batu besar yang menghalagi jalanmu. Apa yang kau lakukan? Kamu bisa tetap di situ, menyumpah-nyumpah karena keadaan begitu tidak adil bagimu, atau kau berbalik, mengambil jalan lain yang lebih lapang, atau mungkin kau ambil palu, sedikit demi sedikit menghancurkan batu itu, hingga bukan hanya kau yang akhirnya bisa melewati jalan tapi juga orang lain, dan kau dikenang sebagai orang berjasa. Tapi kau juga harus menghormati perbedaan keputusan orang lain. Karena seperti yang didengungkan oleh semua ustadz di dunia ini, “Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu kaum, kecuali jika kaum itu yang mau mengubahnya.”
September 2011, hari ini.
Radio HP-ku menyiarkan suasana Ambon yang mencekam, karena itulah, aku jadi teringat masa huru-hara di Solo, padahal yang lain masih bermain-main dengan keasyikan alam pantai Srau. Aku tersenyum sekarang, aku tahu ada beberapa hal yang membuat bangsa ini kaya, yaitu keanekaragaman suku bangsa, kepercayaan dan kebudayaan. Sebuah bangsa yang besar dan begitu heterogen, namun keheterogenan itu bisa jadi boomerang saat isu sara tersulut. Mungkin kita harus selalu mengingat sejarah Bangsa ini berdiri jika provokasi mulai berdengung. Semua suku bersatu padu mewujudkan proklamasi. Bahkan serempak mengatasi agresi militer Belanda yang berupaya mengusik kedaulatan pasca Proklamasi. Bisakah hal ini kita lakukan sekarang? Karena saat ini, musuh yang paling membahayakan, bukanlah berasal dari luar, tapi dari dalam yang menggerogoti bangsa ini sendiri. Kerukunan harus selalu terjaga, mungkin ini semboyan klise. Tapi… bagi orang yang sudah pernah merasakan bagaimana rasanya suasana mencekam akibat huru-hara, percayalah… aku tahu sekali, bahwa kerukunan itu begitu berarti.
Byur! Air asin tiba-tiba mengguyur kepalaku. Aku mendongak. Si Rafli cengar-cengir berhasil membuatku basah kuyup. “Yang lain sudah pada basah. Mbak Sisi melamun saja, sih!”
“Awas, Ya!” Aku meletakkan bawaanku dan mengejarnya. Bocah usil itu menghindar ke arah ombak. Tiba-tiba saja Paulus, Mbak Tri dan Pak Bos mengukungku. Paulus dan Pak Bos memegang tanganku, menyeretku ke ombak yang datang dan…
Byur! Akhirnya aku jadi yang paling basah di antara kami. Semuanya tertawa-tawa senang mendapat hiburan gratis dari penampilanku sekarang.
Well, untuk saat ini, biarkan aku merasakan rayuan pantai ini. Sebuah pantai yang sangat indah, dengan hampatan pasir putihnya, air asinnya yang begitu biru, karang-karang tinggi yang tampak kokoh terterjang ombak dan daun-daun kelapa yang menjulang di antara batang-batang yang tinggi, bergesek-gesek tertiup angin. Aku hidup di Negara ini, lahir di Negara ini. Makan, minum, buang hajat di Negara ini. Bahkan aku mengabdikan profesi di Negara ini. Aku begitu menikmati kecantikan bangsa ini dan kerukunan suku bangsanya. Karena aku bangga menjadi Orang Indonesia.
TAMAT
NB :
Beberapa hari setelah huru-hara, Soeharto ‘lengser keprabon’. BJ Habibie menggantikannya. Setahun berikutnya, Timor-timur lepas dari genggaman Indonesia. Setahun berikutnya, diadakan PEMILU pertama dengan jumlah partai terbanyak, dan Amien Rais dengan gerbong “Poros tengah”-nya, menggolkan Abdul Rahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia, namun beberapa pihak yang tidak setuju, melakukan huru-hara lagi di Kota Solo, suasana mencekam lagi, tapi tidak semencekam kejadian di tahun 1998.
Sampai sekarang aku dan Papa tidak tahu siapa pria yang memberi boncengan motor dari Pasar Legi sampai perempatan dekat Mojosongo. Anggap saja dia malaikat yang diutus Tuhan ketika aku sedang putus asa dalam perjalanan pulang.
Kami lulus SMF di tahun 1999. Dwi yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena keterbatasan ekonomi menikah setahun setelah kami lulus. Nu’lin merantau ke Jakarta dan bertemu jodohnya di sana. Ari Sulis melanjutkan kuliah di Jogjakarta. Evita melanjutkan kuliah di Universitas Muhammadyah Surakarta. Anita bekerja di Jakarta sebagai sekretaris di sebuah sell distributor obat dan meninggal di tahun 2007 karena penyakit TBC. Tri Mulyani bekerja di Jakarta di sebuah rumah sakit sebagai Asisten Apoteker. Aku tidak tahu kabar Anik dan Widiastuti sampai sekarang. Yunita dan Endah memutuskan kuliah setelah lulus SMF, sedangkan aku bekerja dulu selama setahun sebagai Asisten Apoteker di apotek sebelum akhirnya kuliah di S1 Farmasi sekampus dengan Endah dan Yunita.
Terima kasih pada semua karakter real yang menghiasi kisah ini. Semoga kedamaian bangsa ini selalu menyelimuti kehidupan kita. Amin.