THE SECRET II (Temptation of Island) Part 13

THE SECRET II

(Temptation of Island)

Part 13

kala segalanya jelas setelah pengintegrasian itu, ada kerenggangan diantara hubungan mereka. Anthoine merasakan kesepian yang tertahan, Charlie lebih murung, lebih suka tidur di kamar bayi bersama Sabrina. Peraduan yang selama ini hangat semakin mendingin, tanpa charlie dan sabrina yang selalu tertidur di tengah~tengah mereka. Sungguh pria ini begitu merindu. Sang istri tinggal di satu atap, namun dia tak berani mendekat.

Dari Stacy,Anthoine tahu jika ada kebingungan di benak Charlie. Charlie bingung dengan perasaannya, terlebih identitasnya, jika dia sebenarnya adalah Charlotte Whitely padahal semua kartu identitasnya bernama Charlie Adams. tengoklah kartu penduduk, pasport, akta nikah, bahkan yang tercantum di akta kelahiran anak-anak mereka. ‘Apakah pernikahan kami tidak sah?’ selalu itu yang dipertanyakan Charlie pada Dr.Rae, Stacy bahkan ibunya. Anthoine mendengarkan obrolan mereka di balik pintu kamar bayi Sabrina waktu itu. Ibu dan anak itu berbincang tanpa mengetahui keberadaannya. Charlie mengamati Sabrina yang menyusu padanya, begitu kehausan dengan matanya yang menatap jenaka.Mata Sabrina semakin ekspresif, mata coklat kemerahan seperti Nathan dan Chamile juga mata Anthoine. Kenapa gen lelaki itu begitu kuat.
‘Pernikahanmu syah,Sayang. Walau pun dengan nama lain.Dan kau pikir, berapa orang di Kanada ini yang mengganti namanya setiap tahun? Banyak sekali. Mereka melakukan itu dengan alasan yang kurang lebih sama denganmu, menghapus masa lalu,’ tanggapan dari ibu Charlie.
‘Ibu, sebenarnya… jika saya masih mengingat perihal Charlote, apakah aku bisa jatuh cinta pada Anthoine?’
‘Entahlah,’ sang ibu menggedikkan bahu,’Banyak kemungkinan. Tapi tidaklah sulit jatuh cinta pada pria sebaik Anthoine.’ lalu wanita tua itu menggelengkan kepala sambil menutup mata, membayangkan kemungkinan terburuk. Seketika kedua tangannya terulur, menekan kedua pundak Charlie.’Hal terburuk yang bisa terjadi adalah… kau masih terkukung dengan dendam kesumatmu pada Tuan Rothman.’

Charlie sesaat mengernyit mendengar nama itu. kegusaran nampak saat dia merubah posisi duduk lebih menyandar. Sabrina mulai tertidur. Bayi montok itu begitu nyaman di pelukan ibunya, degup jantung Charlie seakan simphoni yang menenangkan baginya. ‘Ibu…, menurut Ibu, pantaskah aku menerima cintanya?Kenapa dia mau menikahiku. Apalagi jika dilihat dari masa laluku, aku janda, sudah tidak virgin, sangat kontras dengan dirinya. Aku yang tidak pantas.’

‘Ah, kau tahu, Charlie. untuk hal itu, sebaiknya kau pikirkan sendiri. Tapi Ibu harap, pikiranmu bukan pemikiran egois seperti si ‘Bouwens’. Ingatlah masih ada anak-anak. Ibu harap… jika ibu boleh berharap… kalian seperti dulu lagi. Ibu mohon… demi cucu-cucu ibu.’ Sang Ibu menepuk-nepuk pungung tangan Charlie lalu keluar ruangan setelah memberi kecupan singkat pada Charlie dan Sabrina. Di pintu, dia berpapasan dengan Anthoine, sejenak beliau menoleh pada charlie lalu bertanya pada Anthoine,’kau ingin menemuinya?’

Charlie menoleh sebentar pada Anthoine lalu beringsut, masih duduk di sofa tapi kali ini memunggungi Anthoine. Anthoine tahu setelah itu Charlie menangis. ‘Tidak,Ibu. Aku belum berani.’ Sang ibu menghela nafas. Pintu di belakangnya menutup. Anthoine masih memandangi pintu yang tertutup itu walau sang mertua melenggang menuju kamarnya sendiri. Pintu itu….ataukah ketakutan mereka…. kini membatasi antara Anthoine yang gundah dan Charlie yang terisak lirih sambil memeluk erat Sabrina.

 

—oOo—

Tak ada kata yang bisa diungkapkan saat kaki Chamille mendarat di geladak kapal ‘Bouwens 117’.  Kwang menurunkannya dari gendongan dan beralih mengambil Il Hwan dari Yun So. Kapten Jin He mulai memberikan perintah-perintah pada anak buahnya. Mereka tertegun sesaat melihat Chamille, sebelum akhirnya omelan Jin He membubarkan. Mata Chamille mengerjap, kapal itu sungguh mirip dengan kapal yang membuatnya tenggelam. Seketika mimpi buruk itu berkelebat. Kwang yang berusaha menolongnya, sementara ombak mengombang-ambingkan segalanya dan saat-saat di mana dia tenggelam. Chamille memejam, nafasnya mendadak sesak. Seakan dia merasakannya kembali, dia ambruk. Samar-samar dia mendengar Kwang meneriakkan namanya. Pria itu berhasil memegangi tubuhnya, sebelum kepalanya membentur lantai.

Tangisan Il Hwan-lah yang menyadarkannya. Bayi itu merengek, Ayahnya berusaha menenangkan dengan menepuk-nepuk pantatnya. “Cup cup, Sayang. Ibu sedang tidak bisa menyusuimu sekarang.” Chamille tersenyum mendengar suara Kwang di antara tangisan Il Hwan. Perlahan dia membuka mata, menoleh kepada Kwang yang berdiri membelakanginya.

“Kang.” Panggilan itu membuat Kwang menoleh padanya. Pria itu tersenyum dan dia terpana. Kwang jauh lebih rapi sekarang. Jenggotnya sudah dicukur, dia juga merapikan rambutnya. Dan baju yang Kwang kenakan sekarang…. seragam ABK?

“Kau sudah sadar?”

Il Hwan berhenti menangis saat Kwang mendekati Chamille. Sepertinya bayi itu mengenali keberadaan Ibunya. Chamille mengulurkan tangannya, meminta Il Hwan, tapi Kwang menidurkan Il Hwan di sampingnya untuk  memudahkannya menyusui.

Saat menatap Kwang yang duduk di tepi ranjang, Chamille menyadari kalau penampilan pria itu sudah berubah. Bau bersih sabun tercium di udara, Kwang tersenyum padanya lalu menunduk demi mengecup keningnya dan Il Hwan yang menyusu rakus di dadanya.

“Kau tampan sekali, Kang.” Chamille mengangkat tangannya, menelusuri dagu Kwang yang licin tanpa jengggot. Kwang mengecup tangan Chamille yang berada di pipinya. “Kau juga. Sudah sangat bersih.”

Chamille mengernyit. Perlahan, dia mengangkat selimut di dadanya. Tidak ada lagi pakaian primitive di tubuh Chamille. Kini dia memakai piyama pria… atau bisa disebut atasan piyama pria karena Chamille yakin piyama itu kedodoran untuknya. “Kau yang memandikanku?”

Kwang mengangguk. Chamille menghela nafas lega.”Oh, syukurlah. Aku pikir orang lain.”

“Kau pikir aku rela orang lain melakukan itu?”

Chamille tersenyum. Il Hwan sedikit merengek sehingga Chamille mengelus-elus kepala bayi itu agar tenang. “Kau pasti sangat repot sekali. Mengurusku… menenangkan Il Hwan.”

Kwang mengelus lembut punggung Il Hwan. Bayi itu semakin tenang, merasakan kasih sayang kedua orang tuanya lewat sentuhan. “Aku senang melakukan ini,” ujar Kwang. “Aku merasa sudah terikat dengan kalian.”

Chamille tersenyum. Namun dia teringat hal yang dia takutkan selama ini, kemarahan keluarganya. Akankah mereka menerima kehadiran Kwang dan bayi mereka? Chamille senang karena telah ditemukan, namun di sisi lain, kemurkaan Anthoine menjadi momok yang semakin lama kian mendekat.

Seakan merasakan ketakutan istrinya, tentu saja Kwang merasakan ketakutan Chamille karena wajah wanita itu berubah pucat.”Apa yang kau pikirkan, Sayang? Jangan berpikir terlalu keras?”

“Kwang…,” air mata mengalir di pipi Chamille.

“Ada yang sakit?”

Chamille menutup matanya, menggeleng demi menjawab pertanyan Kwang. “Bagaimana jika kita sudah sampai di daratan, kita melarikan diri?” ucapan Chamille begitu mengejutkan Kwang.

“Apa maksudmu?” pria ini bahkan menarik tangannya dari punggung si bayi. Mata Kwang menatap Chamille tajam.

“Kita melarikan diri dari Ayahku,” terdengar keparauan di suara CHamille. Kwang berpikir sebentar. Melarikan diri? Tidak! Kwang menggeleng cepat.

“Kwang, Kau tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh Ayahku,” suara Chamille hampir menjerit, membuat Il Hwan yang hampir tertidur jadi terusik. Bayi itu menjerit keras. Dengan cekatan, Kwang mengangkat bayi itu di gendongan lalu menepuk-nepuk pantatnya dengan lembut.

“Kwang…” Chamille bangkit dari rebahnya.

“Tidak!” tegas Kwang. “Aku akan menghadapi keluargamu. Apa pun yang terjadi aku akan menikahimu secara resmi!”

“Tapi…

Hampir saja mereka bertengkar, suara ketukan di pintu membuyarkan. Tanpa diperintah, pintu sudah terbuka dan Yun So masuk dengan nampan berisi makanan di tangannya. Kwang masih sibuk menenangkan Il Hwan saat Yun So mendekati pasutri itu untuk meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang. “Anda sudah sadar rupanya,” kata Yun So sambil menatap Chamille. Dia bisa melihat kesembaban di mata Chamille dan saat menoleh pada Kwang, walau pun Kwan berusaha mendatarkan ekspresinya, Yun So menyadari kalau dia memasuki kamar dalam waktu yang tidak tepat.

“Saya hanya disuruh Kapten mengantarkan ini,” Yun So menunjuk pada nampan. “Kami rasa kalian memerlukannya. Teh hangat akan memulihkan kesehatanmu, Nyonya.”

“Kapten Jin He…,” Kwang tersenyum mengingat pria yang hampir dia celakai di pondoknya. “Katakan di mana dia? Aku ingin bertemu.”

Yun So mengangkat bahu. “Seperti biasa di ruang navigasi. Memerintah dan berlagak seperti bos.”

Il Hwan sudah berhenti menangis. Kwang menyerahkannya pada Chamille. Wanita itu menggigit bibirnya, menahan untuk tidak melanjutkan pertengkaran mereka. “Aku akan menemuinya. Ada hal yang harus aku bicarakan,” Kwang tidak tahu kepada siapa dia bicara. Chamille melihat mata Kwang menatapnya waktu mengucapkan hal itu. Dia yakin Kwang sedang marah. Perlahan, Chamille menunduk, menatap Il Hwan yang terlelap. Bayi itu cepat tertidur jika di dekapan Kwang. Justru memperparah ketakutan Chamille.

Kwang keluar dari kamar. Yun So mengikutinya setelah membungkuk hormat pada Chamille. Chamille masih sibuk dengan pikirannya.

 

—oOo—

“She was found?” pekik Charlie.

Nathan mengangguk cepat. Senyum sumringah menghiasi wajahnya. “Yes, Mom. They found Chamille last night. Dad will go to Korea soon.”

“Hah!” Charlie menghela nafas. Lalu tertawa dengan kelegaan hati. “Chamille found. My home was found.” Tangan Charlie terulur. Nathan menyambut uluran tangan Ibunya. “Oh, Nathan. I am so happy. It’s a miracle. We miss her for a year and…,” ucapan Charlie terputus, sekali lagi dia tertawa lalu merasakan matanya pedih. Charlie menangis haru.

“Yes, Mom. It’s a miracle.”

Charlie mendadak seperti kebingungan. Dia berjalan tergesa ke kamar Sabrina. “I will pick her up. Yes. I will go to Korea.” Hampir saja kakinya menendang daun pintu, Charlie berhenti, berpikir ulang. Korea? Ketakutan terpendam itu datang lagi. Kebimbangan melanda. “Why must Korea?” tanya Charlie sambil berbalik pada Nathan.

“Because most of the crue is Korean,” jawab Nathan. Mata Charlie bergerak gusar. Korea adalah momok baginya. Di sana dia kehilangan segalanya. Akankah Korea merenggut sekali lagi miliknya. “Mom, what happened?” Nathan menangkap tubuh Charlie yang mendadak oleng.

Charlie berusaha menenangkan diri. Dia menepuk-nepuk lengan Nathan yang memegangi tubuhnya. “It’s oke. I just…,” Charlie menimbang-nimbang sesuatu lagi. Dia merasa perlu bicara dengan Anthoine. Ya, Anthoine dan… Ah, padahal hubungan mereka belum membaik sejak pengintegrasian itu.

“Mom?” Nathan merasa kalau Charlie seperti orang ling-lung. Charlie memaksakan diri untuk tersenyum. “I will see your Dad,” ujar Charlie sambil keluar dari perpustakaan. Nathan merasa senang. Kemunculan Chamille bisa membuat kedua orang tuanya rukun kembali.

Langkah Charlie terhenti saat sampai di depan pintu kamar yang selama ini dia tempati bersama Anthoine. Charlie bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kali memasuki kamar ini. Charlie mengatur nafas, menghimpun kekuatan untuk menemui Anthoine. Dengan keberanian yang lemah, dia mengetuk pintu di depannya.

“Masuk!” suara Anthoine terdengar dari dalam. Charlie merasakan keberaniannya menghilang. Dia berbalik, bermaksud mengurungkan niat. Tapi… bagaimana masalah Chamille? Sekali lagi Charlie bimbang. Charlie mengetuk pintu lagi.

“Aku bilang masuk!” suara Anthoine memelan saat dia membuka pintu dan melihat Charlie berdiri di depannya.

“Hai, Aku… .”

Oh, jadi sekarang mereka adalah orang asing satu sama lain?

“Ya?” Anthoine menunggu Charlie meneruskan ucapannya.

Charlie menunduk. Anthoine melihat ada rasa malu di wajah istrinya. “Kita harus bicara,” Charlie tiba-tiba mengangkat wajahnya.

“Eh,” dan giliran Anthoine yang salah tingkah. “Masuklah,” Anthoine mundur, memberi jalan bagi Charlie untuk memasuki kamar. Charlie melihat kalau Anthoine memang sedang bersiap-siap untuk perjalanannya. Travel bag terbuka di atas ranjang, begitu juga dengan celana, kemeja, apa pun yang mungkin dipersiapkan Anthoine di Korea nanti. Charlie merasa kalau dirianya bukan istri yang baik. Perlahan dia duduk di tepi ranjang, merapikan pakaian-pakaian itu lalu menatanya satu per satu ke dalam travel bag. Anthoine tidak pintar berbenah. Selama ini, jika pria itu bepergian, Charlie lah yang mendata apa saja yang diperlukannya dan menatanya dengan rapi di travel bag. Anthoine menatap Charlie dalam diam. Akhir-akhir ini dia memang pendiam, menunggu sang istri mendekat. Menunggu kemesraan yang dulu pernah ada. Namun lihatlah kini, mereka berdiri dalam jarak.

“Kenapa harus Korea?” tanya Charlie lirih.

Akhirnya… . Chamille adalah alasan Charlie menemui Anthoine. “Untuk lebih memudahkan proses evakuasi. Kapten kapal adalah orang Korea jadi… . Kau mau ikut?”

Charlie menggeleng. “Aku takut.”

“Takut?” selangkah Anthoine mendekat pada Charlie.

Charlie mengangguk. “Takut kehilangan lagi. Negara itu merampas segalanya dariku.”

Anthoine menutup mata, merasakan sejenak keheningan. “Kau akan membawanya untukku, kan?” tanya Charlie. Anthoine mengangguk. “Dan jika aku berhasil membawanya?”

Charlie mengangkat wajahnya. Pertanyaan Anthoine bernada tawar-menawar. Anthoine berjongkok di depannya, meremas kedua tangan Charlie demi meyakinkan cinta mereka. “Jika aku berhasil membawanya, akankah kau tetap bersikap seperti ini?”

“Anthoine…, aku… .”

“Aku mencintaimu.”

Kepala Anthoine semakin maju. Perlu keberanian saat dia melakukan ini. Bisa saja Charlie menghindar. Bisa saja Charlie menolaknya, marah dan hancurlah penantian penuh kesabaran yang selama ini dia lakukan. Namun sebaliknya, wanita itu terdiam, menanti ciumannya dengan hati berdebar. Hingga sentuhan kecil di antara bibir mereka, membuahkan sengatan kerinduan tiba-tiba meletup. Keduanya tersadar jika telah lama saling merindukan. Anthoine menatap mata Charlie, tidak ada amarah di sana. Pandangan memohon-lah yang ada. Perlahan, Anthoine menarik kepala Charlie.

Perlahan, ciuman itu menjalarkan kehangatan di aliran darah mereka. Charlie menyadari cinta Anthoine-lah yang selama ini membuatnya nyaman. Anthoine berkali-kali jatuh cinta padanya dan kali ini… dial ah yang jatuh cinta, mendambakan lelaki itu. Saat pembatas telah terhapus, Anthoine menggapai kerinduannya dan cintanya.

Tanpa pembatas lagi. Menghangatkan kembali ranjang besar mereka yang selama ini dingin. Anthoine merengguk hasrat yang menyala dalam setiap sentuhan mereka. Hingga keduanya tersadar hari menginjak senja, dengan mata mengantuk, Anthoine menatap wajah istrinya. Rona kebahagiaan terpancar, Charlie semakin cantik di mata Anthoine.

“Terima kasih,” Anthoine mengelus sepanjang lengan atas Charlie dengan telunjuknya. Charlie tersenyum. Diciumnya bibir Anthoine lagi. “Bawa Chamille untukku, Sayang. Berjanjilah.”

Kini  ganti Anthoine yang tersenyum. “Tentu. Dia pasti terkejut melihat Sabrina.”

Mereka berdua tertawa. Menyadari betapa sederhananya mereka rukun kembali, Charlie merasa kalau selama ini dialah yang terlalu membesarkan masalah. Dalam hati Charlie berjanji, akan lebih bijak lagi dalam menilai kehidupannya.

—oOo—

“Apa yang dikatakan Tuan Shin padamu?” tanya Yun So. Saat ini dia sedang berada di ruang navigasi bersama Jin Hee. Pembicaraan Jin Hee dengan Hyun Kwang sore tadi sepertinya serius dan Yun So tidak berani mendekat waktu itu.

Jin Hee menyesap kopi dari mug – nya. Udara serasa dingin, dia berharap tidak terjadi badai. Setelah meletakkan mug di meja, dia menjawab pertanyaan Yun So. “Dia berkata akan menjadi ABK selama pelayaran ini.”

Yun Soo mengangkat bahu. “Ya, dia adalah ABK di Bouwens Inc. Lalu apa lagi?”

“Hanya…,” Uap dingin menyembul dari lubang hidung Jin Hee. “Bertanya bagaimana karakter Anthoine d’ Varney.”

Yun Soo terkekeh. “Apa yang terjadi saat orang Kanada itu mengetahui kalau dia sudah bercucu.”

Jin Hee menduduki meja, “Apa yang dikatakan Brian Rothman mengenai hal ini?”

Yun Soo terkesiap. “Kau memberitahunya?”

Jin Hee mengangguk.

“Pria itu yang paling berambisi menemukan Chamille. Pria itu mencintai Chamille. Seharusnya kau tidak mengatakan padanya tentang keadaan Chamille.”

Jin Hee mengkerutkan kening. Kenapa juga tiba-tiba Yun Soo begitu perduli. “Brian Rothman adalah komando utama ekspedisi ini. Tentu saja aku harus melaporkan selengkap-lengkapnya.”

“Akan ada perang setelah ini.”

Jin Hee menghembuskan nafas. “Jangan berlebihan. Itu bukan urusan kita. Setelah gadis itu kembali ke tangan keluarganya, tugas kita selesai.”

Yun So ingin membantah. Selama ini Jin Hee bekerja dengan penuh profesionalitas. Apa yang dikatakan kaptennya itu benar. Namun entah kenapa, Yun So merasakan kalau nantinya akan ada hal yang menyedihkan. Mungkin kisah klasik tentang si papa yang mencintai putri raja. Ditambah pangeran licik, tentu saja. Ah, Yun So membuang pikiran itu jauh-jauh. Malahan dia mulai meyakini kata-kata Jin Hee barusan, “ITU BUKAN URUSAN KITA!”

 

BERSAMBUNG

Tinggalkan komentar