Yo Won menghela nafas panjang lalu menghembuskannya kembali perlahan. Dengan berbuat demikian, dia berusaha mengontrol emosinya. Hye Na masih di ruang tamu, memberikan penjelasan pada Ji Woon akan kemungkinan batalnya rencana makan malam, sedangkan dia yang shock dengan kenyataan siapa anak ABG yang hidup bersama Hye Na, duduk di meja makan bertemankan sebotol air mineral dingin.
Penghianat! Yo Won menganggap Hye Na penghianat. Bagaimana mungkin Hye Na menampung anak yang sangat dia benci kelahirannya itu?
Sementara Hye Na yang mulai bisa menjelaskan situasinya pada Ji Woon, mengantarkan pria itu keluar dari apartemen. Ji Woon agak enggan meninggalkan Hye Na. “Kau yakin tidak memerlukan bantuanku menghadapi kemarahan Ibumu?”
Hye Na menoleh ke arah dapur sebentar lalu berpaling lagi pada Ji Woon. “Tidak,” katanya sambil menggeleng. “Aku bisa menangani masalah ini sendiri. Doakan aku ya, Kak.”
Harapan Hye Na membuahkan lengkungan manis di bibir Ji Woon. Namun Hye Na terkejut saat tiba-tiba lelaki ini memeluknya. Sesaat Hye Na menikmati kehangatan dada bidang pria itu. “Aku tidak tahu apakah harus bersedih atau senang mendengar hal ini,” desah Ji Woon. “Kenyataan kalau Ryu Jin adalah adik tirimu sangatlah mengejutkan.”
“Aku pun juga terkejut saat pertama kali mendengarnya,” respon Hye Na.
Ji Woon melepaskan pelukannya, lalu menatap mata Hye Na lekat-lekat. “oh, ya. Tentang pernikahan kita? Masih tetap dua minggu lagi, kan?” Ji Woon seolah kawatir jika terjadi penundaan.
“Iya, Kakak…, tenang saja.” Jawaban Hye Na membuat ji Woon menghela nafas lega.
“Oke, kalau begitu… aku akan mengurus semuanya.”
“Iya…, sekarang… Kakak pergi dulu, ya… biar aku urus dulu masalah keluargaku?”
Ji Woon mengangguk. Sekali lagi dia ragu untuk meninggalkan Hye Na. “Kau yakin tidak mau kutemani menghadapi.. . “
“Tidak!” potong Hye Na secara tegas. Ji Woon terbahak dibuatnya, “Oke, selamat malam, Manis.” Jawaban dari Hye Na yang berupa senyuman, membuat Ji Woon lega untuk meninggalkan gadis itu.
Hye Na hanya mampu menatap punggung Ji Woon yang berangsur menghilang di tikungan koridor gedung apartemennya. Dia menghela nafas panjang, menghimpun kekuatan untuk menghadapi kemarahan Yo Won. Langkahnya menuju dapur serasa berat. Di sinilah Yo Won berada, duduk di kursi makan dengan sebotol air mineral dingin. “Kenapa kau menampung anak itu?” Hye Na sedikit tersentak karena rupanya Yo Won cukup mengenali kehadirannya di ruangan itu.
“Ibu, aku mohon mengertilah,” Hye Na bergerak ke kursi di depan Yo Won lalu berusaha memegang tangan Ibunya itu. Tapi Yo Won mengibaskan tangannya. “Kau penghianat, Hye Na!”
Mulut Hye Na ternganga seketika mendengar tuduhan itu. “Penghianat?’
“Iya! Kau penghianat! Kau tahu betul bagaimana sakitnya hati Ibu karena kelakuan orang tua anak itu!”
“Salah satu orang tuanya adalah Ayahku, Ibu!”
“Aku tidak perduli!” bentak Yo Won. Nyata benar sakit hati wanita itu karena bekas suaminya. Hye Na bisa melihat itu dari air mata yang berusaha dibendung oleh Yo Won.
“Ini bukan masalah Ibu perduli atau tidak! Ryu Jin tetaplah adikku walau…
“Dia bukan adikmu! Hanya Jae Min lah adikmu! Hanya anak yang terlahir dari rahimku yang berhak jadi adikmu!”
“Ibu.. Tidak bisa seperti itu….”
“Sekarang…,” Yo Won masih tetap memotong penjelasan Hye Na. Tidak seperti sebelumnya, dia berusaha lebih tenang dan berkata lebih lambat namun tegas. “Pilih aku atau anak itu!” Keputusan itu membuat Hye Na semakin kalang kabut.
“Kakak…,” panggilan Ryu Jin membuat Ibu dan anak itu menoleh. Yo Won hanya sekilas melihat Ryu Jin sebelum berpaling dengan lagak seakan melihat kotoran, sedangkan Hye Na berusaha menampakkan senyum tabahnya.
“Ya, Ru Jin.” Hye Na sebenarnya terkejut dengan penampilan Ryu Jin yang mirip orang hendak bepergian lengkap dengan tas ransel yang sudah tersampir di pundaknya.
“Janganlah jadi anak durhaka kepada Ibu Kakak hanya karena saya,” kata Ryu Jin yang membuat hati Hye Na mencelos. Apalagi saat melihat Ryu Jin mendekati mereka dan membungkuk hormat pada Yo Won. “Jika memang Nyonya menginginkan saya pergi, saya akan pergi.”
“Bagus! Kau sadar benar dengan posisimu!” ujar Yo Won sengit.
“Ibu!” larang Hye Na.
Yo Won menatap Ryu Jin dengan penuh dendam. “Kau mau pergi,kan? Ayo pergi! Tunggu apa lagi, kau!”
“Ibu!”
Ryu Jin membungkuk lagi pada Yo Won lalu berbalik, melangkah meninggalkan ruangan itu. Hye Na yang panik berusaha mengejar. “Tunggu! Kau mau kemana? Sudah kubilang masuk ke kamarmu dan…
“Dan Kakak bertengkar dengan Ibu Kakak?” jawab Ryu Jin saat sampai di ruang tamu.
“Dengar! Bukan hanya sekali ini aku beradu mulut dengan Ibuku.”
“Aku tidak suka dijadikan obyek adu mulut!”
Hye Na berusaha menetralisir keadaan tapi rupanya hal itu malah semakin dianggap runyam oleh Ryu Jin. “Aku tahu dari awal kalau tempatku memang bukan di sini,” kata Ryu Jin sambil melewati Hye Na yang kehabisan kata untuk menenangkan Ryu Jin.
Hye Na tertegun sejenak. Sedetik saja keadaan sudah berada di luar kendalinya. Dia tersadar dan mulai mengejar Ryu Jin yang sudah memasuki lift. Terlambat! Pintu lift tertutup. Hye Na terpaksa turun melalui tangga darurat demi mengejar Ryu Jin. Dia bahkan mencari ke segala arah saat sampai di lobi gedung apartemen. Bahkan bayangan Ryu Jin pun sudah tak tampak lagi. Dengan panik, dia menghubungi HP Ryu Jin, rupanya anak itu sengaja mereject panggilannya. Sekali lagi, dia berusaha menghubungi Ryu Jin. Ryu Jin sudah menonaktifkan nomornya.
Hye Na meneruskan pencariannya di pelataran parkir. Keputusa-asaan semakin tampak di wajahnya karena tidak juga menemukan Ryu Jin. Hye Na mempunyai pikiran untuk menghubungi Jae Min. Bukankah saat Ryu Jin ‘minggat’ beberapa waktu yang lalu, rumah Jae Min yang dia tuju? Ya, apalagi Ryu Jin belum mengenal banyak orang di Seoul. Sudah pasti Ryu Jin akan ke rumah Jae Min lagi.
“Halo! Jae Min?” Hye Na menghubungi Jae Min dengan nafas ngos-ngosan. “Ibu tahu tentang Ryu Jin!”
Jae Min mengumpat di telephon. Hye Na jadi protes.”Ini bukan waktunya bicara kotor! Ryu Jin kabur! Kalau dia ke tempatmu seperti waktu itu, kabarkan padaku!”
Hye Na menutup telephon setelah Jae Min mengiyakan perintahnya. Namun yang tidak Hye Na ketahui adalah Ryu Jin bersembunyi tak jauh dari tempatnya berdiri, tepatnya di balik sebuah mobil di belakang Hye Na, Ryu Jin berjongkok hingga mampu mendengar Hye Na menghubungi Jae Min. Rupanya Ryu Jin tidak mungkin menuju rumah Jae Min lagi, semuanya yang berbau keluarga Goo…., dia merasa tidak berhak di situ. Dia merasa marga yang selalu disandangnya sejak kecil itu, memanglah bukan haknya.
— He is My Brother —
Cast :
Goo Hye Sun as Goo Hye Na
Choi Min Hwan as Goo Ryu Jin
Go Hyun Jung as Goo Yo Won
Choi Shi Won as Goo Jae Min
Kim Gab So as Kim Jae Joon
Won Bin as Yoon Ji Woon
Cameo :
Kim Joon as Woo Bin
Ryu Jin berjalan lunglai membelah malam kota Seoul. Kota yang begitu hingar-bingar itu rupanya tidak ramah padanya. Kota yang terlalu membahayakan jika diarungi oleh anak ABG dari pedesaan seperti dirinya. Namun apa dikata, tak ada satu pun tempat yang dia tuju sekarang. Rumah Goo Jae Min? Dia tahu konsekuensinya, sudah pasti Jae Min akan menghubungi kakaknya dan Hye Na langsung meluncur ke rumah Jae Min. Ke tempat pengacara Kim? Hanya akan menambah luka saja, kebobrokan orang tuanya tentu semakin kentara di depan pengacara itu. Bukankah masalah vila saja belum selesai?
Ryu Jin semakin melangkah. Entah dia sadari atau tidak, dia melewati sebuah lorong yang sangat berbahaya jika dilewati sendirian. Benar saja! Beberapa orang perlahan mengepungnya. Tepatnya ada sepuluh orang. Ryu Jin tidak mengenali sembilan orang lainnya tapi Ryu Jin kenal betul suara orang yang ke sepuluh. “Hm, Goo Ryu Jin, senang sekali berjumpa denganmu di sini!”
Woo Bin! Pekik hati Ryu Jin. Kesembilan orang lainnya sudah berancang-ancang dengan pemukul softball mereka. Ryu Jin semakin waspada, tapi dia yakin kalau kalah jumlah dan kekuatan.
“Gu Jun Pyo pasti senang mendengar semua ini,” seru Woo Bin lagi.
Ryu Jin yakin kalau gerombolen itu akan membalaskan dendam Jun Pyo. Dia berusaha melarikan diri melalui celah salah seorang gerombolan itu yang bertubuh ceking.
“Tangkap dia!” teriak Woo Bin. Sontak gerombolan itu melakukan perintahnya. Ryu Jin berlari sambil mengumpat. Suasana hatinya sudah sangat buruk malam ini dan sekarang ditambah amukan gerombolan yang kurang kerjaan. Tidak punya urusan sendiri selain ikut campur urusan orang lain atas nama solidaritas.
Naas bagi Ryu Jin karena memilih jalan buntu. Dia tidak bisa lagi bergerak. Gerombolan itu mengepung lagi. Menghantamkan tongkat softball di tangan mereka ke tubuh Ryu Jin. Beberapa kali Ryu Jin mampu mengelak tapi karena cara kerja gerombolan itu yang sukanya keroyokan, akhirnya tenaga Ryu Jin habis. Pukulan telak mengenai perutnya. Ryu Jin oleng. Hanya dengan sekali dorong, Woo Bin mampu merobohkan Ryu Jin ke tembok di belakangnya. Tanpa sadar akan bahaya yang terjadi pada lawannya, pimpinan Geng itu membuat sebuah paku karatan yang lumayan besar, yang kebetulan tertancap di tembok, menusuk punggung Ryu Jin. Woo Bin terkejut saat Ryu Jin terjatuh dengan posisi menelungkup. Darah sudah banyak keluar dari punggung Ryu Jin.
Woo Bin panik. Dia menyesali apa yang diperbuat tapi semuanya sudah terlambat.
“Bos! Ayo pergi! Sebelum polisi datang!” salah satu anak buahnya mengingatkan Woo Bin yang mendadak linglung melihat kondisi Ryu Jin. “Tapi…,”
“Ayo, Bos!” Mereka menarik Woo Bin agar meninggalkan tempat kejadian. Ryu Jin yang malang benar-benar sendirian.
“Tidak… semua ini tidak mungkin,” Hye Na menggeleng lemah. Beberapa waktu yang lalu polisi menghubunginya perihal kondisi Ryu Jin di rumah sakit, dan sekarang polisi mengatakan kalau ada kemungkinan pengkeroyokan Ryu Jin dilatar-belakangi pembalasan dendam Geng. Ji Woon yang ikut mendampingi Hye Na di rumah sakit hanya bisa mengelus punggungnya untuk menenangkan. Hye Na merasa tidak mampu menghadapi semua ini sendirian dan merasa perlu menghubungi Ji Woon karenanya. Namun yang tidak dimengerti oleh Hye Na adalah… ikut hadirnya Yo Won di situ. Mau apa wanita itu sebenarnya?
“Apakah mungkin adik anda terlibat dalam keanggotaan geng tertentu?” tanya petugas polisi itu pada Hye Na. Hye Na tidak mampu lagi menahan tangisnya. Pertanyaan polisi itu tidak mampu dia jawab. Baru seminggu dia mengenal Ryu Jin, dia agak ragu bisa mengenal anak itu seratus persen.
“Tidak! Ryu Jin tidak mungkin terlibat hal semacam itu,” Ji Woon menjawab sambil menenangkan Hye Na yang menangis di pelukannya.
“Baiklah, jika nanti dia sadar, satu-satunya jalan untuk mengetahui siapa pelakunya adalah menginterogasi Ryu Jin sendiri. Kami pergi dulu, Nona Goo.”
Ji Woon mengucapkan terima kasih pada petugas-petugas itu. Hye Na masih membenamkan tangis di dadanya. Komplotan geng? Benarkah anak sepintar dan selugu itu, jadi begitu naif sehingga ikut serta dalam pergaulan geng? Tunggu! Dendam geng? Hye Na tiba-tiba sampai pada titik kesimpulan lalu melepaskan diri dari pelukan Ji Woon untuk berdiri di depan Yo Won. “Katakan padaku, Ibu! Apa andil Ibu dalam kejadian ini?”kata Hye Na tanpa ekspresi.
“Apa maksudmu?” tanya Yo Won yang tak habis pikir dengan perkataan Hye Na.
“Dendam antar geng? Sebegitu dendamkah Ibu pada anak itu hingga mengerahkan anggota Yakuza untuk mengeroyok Ryu Jin?” perkataan Hye Na membuat alis Ji Woon bertaut.
“Hah!” Yo Won memalingkan muka dari Hye Na dengan anggun. “Sudah kubilang pengetahuanmu tentang kelompok itu sangatlah minim. Buat apa geng besar macam Yakuza mengeroyok bocah ingusan macam Ryu Jin!”
“Hanya Ibu yang tahu alasannya!” Hye Na masih saja menuduh Yo Won, membuat Ibunya menoleh lagi padanya dan menatap tajam. “Kau ingin tahu jawabnya? Aku tidak tahu! Aku tidak tahu kenapa harus ada geng yang mengkeroyok anak itu! Tapi bisa kupastikan itu bukan Yakuza! Mungkin benar kata polisi itu kalau … kalau… siapa nama anak itu? Ryu Jin! Kalau Ryu Jin memang ikut suatu geng abal-abal!”
“Ryu Jin tidak mungkin sebodoh itu!”
“Siapa yang tahu? Jawab aku sekarang! Berapa lama kau mengenal anak itu? Jawab!”
“Hye Na, sudahlah..,” Ji Woon melerai adu mulut Ibu dan anak itu dengan merangkul Hye Na. Sekali lagi kekasihnya menangis di dadanya.
Tangisan Hye Na terhenti saat dokter yang menangani Ryu Jin keluar ruangan. Tentu saja HYe Na menyambut dokter itu dengan berondongan pertanyaan seputar keadaan Ryu Jin. “Dia masih beruntung karena paku itu tidak mengenai organ vitalnya.”
“Lalu…, apakah dia bisa terkena tetanus? Aku dengar paku yang menusuknya berkarat!” Ji Woon berusaha memperjelas keadaan Ryu Jin.
“Apa anda tahu kalau Ryu Jin mendapat suntikan ATS tiga hari yang lalu?”
“Saya… mungkin dia mendapatkan itu di SMA Shinwa, dia cerita kalau dokter di sana memeriksanya sehabis berkelahi.”
“Itu keuntungan ganda, Nona. Hanya saja, dia kehilangan banyak darah saat ini dan persediaan darah yang sesuai dengan golongan darahnya sangat minim.”
“Katakan padaku, dokter. Apa golongan darahnya?” Hye Na terlihat tak sabar.
“Golongan darah A dengan Rhesus positif.”
“Saya bergolongan darah A,” kata Hye Na hampir terpekik. “Ambil darah saya asalkan Ryu Jin selamat!”
Percakapan itu membuat Yo Won yang masih terdiam di kursinya menyadari sesuatu. Sesuatu hal yang selama ini dia yakini bahwa darah lebih kental dari pada air. Hye Na dan Ryu Jin memang bersaudara, lihatlah persamaan golongan darah di antara mereka. Sebenci-bencinya Yo Won pada Ryu Jin, dia tidak bisa memisahkan Ryu Jin dari Hye Na, kakaknya. Waktu seakan melambat bagi Yo Won, apalagi saat melihat antusiasme Hye Na untuk menyumbangkan darah bagi Ryu Jin.
Hye Na dan Ji Woon memasuki ruang UGD itu hanya sekedar menjalani pemeriksaan untuk mencocokkan darah Hye Na dengan Ryu Jin. Yo Won berdiri dari duduknya, berjalan ke arah pintu UGD. Melongok ke dalamnya melalui lubang kaca pintu UGD.
Kenapa harus anak-anak yang selalu menjadi korban percekcokan orang tua? Tapi salahkah aku jika masih sakit hati atas perselingkuhan Ayah Hye Na dengan Ibu anak itu? Oh, Ya Tuhan, Apa yang harus kulakukan?Aku kurang bijak menjadi Ibu.
Hye Na merasa lega karena darahnya cocok bagi Ryu Jin. Dia menyumbangkan lima kantong darahnya tanpa memperdulikan wajahnya yang berubah pucat sehingga Ji Woon harus memapahnya saat keluar dari ruang UGD. “Kau terlalu memaksakan diri, Hye Na,” sesal Ji Woon.
“Tidak apa, Kak. Yang penting Ryu Jin selamat,” desah Hye Na. Ji Woon mendudukkannya di sebuah kursi di lorong rumah sakit lalu berjongkok dan meremas tangannya. “Duduklah di sini. Aku carikan susu hangat untukmu.” Hye Na mengangguk sambil tersenyum manis. Sekejap Ji Woon menepuk-nepuk tangan Hye Na sebelum berdiri meninggalkan Hye Na.
Yo Won yang melihat Hye Na sendirian semenjak ditinggalkan Ji Woon, mendekati putrinya. Dia menyodorkan sekotak susu kemasan pada Hye Na. Dia terkejut kerana Hye Na menampik bantuannya. Susu kemasan itu terhempas cukup keras hingga pecah di lantai.
“Ibu…,” desah Hye Na ketika Yo Won menatap susu kemasan itu dengan pandangan tak percaya. “Apa sebenarnya arti kami, anak-anak bagi kalian?”
Yo Won menoleh pada Hye Na, menatap pandangan mata Hye Na yang tampak menerawang. “Bahkan kalian mengharapkan kelahiran kami sebagai pengikat tali cinta kalian sebagai orang dewasa yang saling jatuh cinta,” lanjut Hye Na lagi.
“Hye Na…,”
“Dan saat kalian bercerai, kalian sama sekali tak menghiraukan kami. Kenapa? Karena kami gagal mengikat tali cinta kalian?”
“Hye Na…, bukan begitu, Sayang… .”
“Lupakan!”
“Lupakan?”
“Lupakan ocehanku, Ibu. Karena aku hanyalah seorang anak. Tidak pantas rasanya mendikte Ibu.”
Hye Na berdiri agak susah payah. Setidaknya uneg-unegnya selama ini sudah diutarakan. Kesedihan hatinya akibat perubahan karakter sang Ibu semenjak perceraiannya dengan sang Ayah. Sang Ibu yang terlalu berkubang dengan kesibukannya atas nama pengalihan perhatian dari kekecewaan yang terpendam hingga tak menghiraukan anak-anaknya. Ibunya yang tiba-tiba menjadi penuntut yang ulung atas dirinya. Menututnya menjadi yang ter- dan ter- hanya karena anak sulung, sampai pada kisah Jae Min yang naif dan urakan hanya demi mencari perhatian.
Hye Na melangkah tertatih. Dia menangis kembali. Di mana orang tua itu saat dia membutuhkan di masa puber? Di mana mereka saat Hye Na berubah menjadi pribadi yang kaku dan suka meledak? Lima belas tahun kelabu dan dia berusaha tegar menghadapinya. Dia merasa lelah. Peran sebagai anak sulung, yang selalu harus sempurna di depan sang Ibu, sungguh membuatnya merasa lelah. Kali ini bukan hanya hatinya yang lelah, fisiknya pun serasa sangat lemah. Hye Na pun ambruk di lorong rumah sakit. Teriakan panik Ji Woon dan Yo Won adalah hal terakhir dia dengar malam itu.
—oOo—
“Ya…, syukurlah kau sadar,” kata Ji Woon saat melihat Hye Na yang perlahan membuka matanya.
“Di mana, aku?” bisik Hye Na sambil meliukkan tubuhnya. Dia terkejut melihat peralatan medis yang berbentuk mirip lampu dan teropong yang tergantung di langit-langit tepat di atasnya.
“Di ruang UGD, Sayang,” jawab Ji Woon sambil terkekeh.
“Aku… aku tidak akan dioperasi, kan?” Hye Na masih saja melihat benda di atasnya itu ngeri. Ji Woon semakin geli mendengarnya. “Tentu saja tidak. Kau pingsan tadi malam.”
“Tadi malam?” Hye Na mulai mengingat apa yang terjadi. “Jam berapa sekarang?” Hye Na meremas kemeja Ji Woon di dadanya. “Ryu Jin… Bagaimana Ryu Jin?” Hye Na semakin panik.
“Tenanglah,” desah Ji Woon. Selanjutnya pria itu menjawab pertanyan Hye Na. “Pertama, ini jam dua belas siang. Kedua, Ryu Jin sudah sadar sebelum dipindahkan ke kamar. Masa kritisnya sudah lewat. Jangan kawatir, Ibumu menjaganya dengan baik.”
Dahi Hye Na langsung berkerut. “Ibu?”
Ji Woon mengangguk. “Kenapa?”
Hye Na tiba-tiba menyingkap selimutnya dan bangkit. “Aku harus menemui Ryu Jin.”
“Pelan-pelan, Sayang.”
“Tidak bisa, aku harus cepat. Ibu pasti akan menyakiti Ryu Jin lagi.”
“Lagi?” Ji Woon menekan bahu Hye Na saat gadis untuk kembali duduk di ranjang. “Soal geng itu? Bukan Ibumu pelakunya.”
“Maksudnya?”
“Bisa dibilang anak-anak petinggi geng lokal Korea yang membalas dendam karena Ryu Jin memukul salah satu teman mereka.”
“Gerombolan anak-anak nakal SMA Shinwa?” Hye Na mulai menyadari apa yang terjadi.
“Ya, kau tahu juga rupanya. Jadi bukan Ibumu atau pun Yakuza pelakunya.”
Hye Na mendesah. Di satu sisi dia lega karena Ibunya bukan dalang pengeroyokan Ryu Jin tapi di sisi lain, dia merasa bersalah telah berprasangka buruk pada Yo Won.
“Aku tetap harus menemui Ryu Jin,” kata Hye Na sambil menuruni ranjang. “Antarkan aku, Kak.”
“Baiklah,” Ji Woon menghela nafas lalu membimbing Hye Na berjalan menuju kamar Ryu Jin.
“Kira-kira apakah dua minggu lagi, Ryu Jin benar-benar pulih?” tanya Ji Woon saat mereka berjalan di lorong rumah sakit.
“Entahlah, Kak. Kita tanyakan saja pada dokter. Memangnya ada apa dua minggu lagi?”
Ji Woon berdecak dan memberi tatapan jengkel pada Hye Na.
“Eh, Iya. Dua minggu lagi pernikahan kita,” kata Hye Na sambil nyengir, menyadari arti tatapan Ji Woon. Pria itu jadi tak habis pikir dan mengucek puncak kepala Hye Na saking gemasnya.
“Masih kuat jalan? Atau aku ambilkan kursi roda saja? Kita masih harus naik lift menuju kamar Ryu Jin,” tawar Ji Woon yang merasa Hye Na belum kuat betul berjalan. Hye Na menggeleng. “Aku bukan orang lumpuh yang musti pake kursi roda, Kak.”
Sekali lagi Ji Woon tersenyum. Dia masih saja memapah Hye Na memasuki lift lalu berjalan menyusuri koridor lantai tiga, tempat kamar Ryu Jin berada. “Nah, ini dia,” seru Ji Woon saat sampai di depan kamar Ryu Jin.
Saat membuka pintu kamar Ryu Jin, hal yang membuat Hye Na tak percaya adalah… saat dia melihat Yo Won yang menyodorkan gelas, membantu Ryu Jin minum melalui sedotan. Ryu Jin terbatuk-batuk karena tersedak. Yo Won bahkan menepuk-nepuk pelan punggung Ryu Jin. “Minumnya pelan-pelan saja.”
Saat Yo Won melihat Hye Na mendekat. Dia merasa harus menjauhkan diri dan berbisik pada Ryu Jin, “Aku tinggal sebentar.” Dia bahkan menarik lengan Ji Woon untuk meninggalkan ruangan itu, memberikan kesempatan pada Hye Na agar bicara berdua dengan Ryu Jin.
“Aku tinggal sebentar,” bisik Ji Woon pada Hye Na sebelum meninggalkan ruangan itu.
Pada mulanya suasana kaku di antara keduanya yang ada, lalu Hye Na tersenyum, meraih telapak tangan Ryu Jin lalu mengenggamnya. Ryu Jin merasa kalau telapak tangan Hye Na serasa hangat, dia membalas senyuman Hye Na.
“Kau anak nakal yang selalu membuatku kawatir,” omel Hye Na.
Ryu Jin menghela nafas. “Kenapa kakak harus mengkawatirkan aku?”
“Karena kau adikku. Apalagi sekarang… darahku mengalir di tubuhmu,” tegas Hye Na. Mulut Ryu Jin manyun mendengarnya. “Apakah aku dihukum?”
Hye Na memutar kedua bola matanya. “Tentu saja kau dihukum karena membuatku kawatir setengah mati. Kau dihukum menjadi adikku seumur hidup!”
“Jadi adik wanita kaku dan emosian seperti Kakak? Wah, dosa apa aku di kehidupan sebelumnya?” candaan Ryu Jin membuahkan cubitan dari Hye Na di lengan anak itu. Ryu Jin meringis karenanya.
“Kau juga harus sudah sembuh dua minggu lagi!” perintah Hye Na. “Kalau tidak… , kau tidak boleh hadir di pernikahanku!”
“Menikah? Kakak menikah? Dengan siapa?” kabar itu sungguh mengejutkan Ryu Jin. Hye Na jadi sewot. “Ya…, kau tidak lihat aku datang dengan siapa tadi?”
“Oh, Yoon Ji Woon? Kok bisa?”
“Aush! Sudah jangan banyak tanya!” Hye Na tambah sewot. Ryu Jin tersenyum tipis, padahal dalam hati sudah sangat kegelian melihat wajah Hye Na yang memerah. Untuk tertawa terbahak-bahak, rasanya punggungnya masih ngilu.
Setidaknya keadaan Ryu Jin sudah membaik dua minggu kemudian walau pun sesekali punggungnya masih terasa ngilu. Dia menghadiri pernikahan Hye Na dengan duduk di atas kursi roda. Jae Min – lah yang bertugas mendorong kursi roda itu kemana pun Ryu Jin ingin bergerak. Termasuk saat Ryu Jin mau menyapa pengantin pria yang sudah siap di depan altar.
“Kau gugup?” tanya Jae Min pada Ji Woon. Ryu Jin menatap Ji Woon yang tampak tinggi dengan stelan yang berpotongan pas dengan tubuhnya.
“Sedikit,” jawab Ji Woon. Dia semakin salah tingkah saat membenahi dasi kupu-kupunya yang sebenarnya tidak bermasalah. “Bagaimana penampilanku?”
“Cukup tampan,” jawab Jae Min.
“Cih! Tidak ada yang lebih tampan dariku di ruangan ini,” protes Ryu Jin yang berbuah tatapan protes dari Jae Min dan Ji Woon.
“Hai! Jae Min, kenapa kau di sini? Bukankah kau seharusnya jadi pengiring pengantin Hye Na?” Ji Woon bingung dengan keberadaan Jae Min di situ.
“Hye Na adalah cucu kesayangan kakek. Sudah pasti kakek ingin jadi orang yang mengantarkan Hye Na menuju altar. Nah, itu dia!”
Percakapan ketiganya terhenti saat pintu gereja terbuka. Hye Na tampak cantik dengan gaun pengantinnya, berjalan ke altar dengan diiringi sang kakek serta si kembar Hye Mi dan Hye Ri yang tampak cantik berbaris di depan mereka. Jae Min mendorong kursi roda Ryu Jin ke dekat tempat duduk Yo Won.
Hari ini keluarga besar Goo menyaksikan Hye Na dan Ji Woon saling bersumpah setia. Berjanji untuk saling berbagi suka dan duka dalam ikatan pernikahan. Yumi meneteskan air mata haru. Yo Won menyeka air matanya dengan tissue, mencoba agar tidak terbawa suasana. Dia menoleh pada Ryu Jin yang duduk di kursi roda di sebelahnya. Wajah anak itu tak kalah sumringah.
“Kau tidak mungkin tinggal dengan Hye Na setelah ini, bukan?” tanya Yo Won tiba-tiba. Ryu Jin menoleh padanya dengan dahi berkerut. “Setelah ini…, mereka mungkin akan membuatmu risih jika kau berdekatan dengan mereka,” lanjut Yo Won sambil menunjuk Hye Na dan Ji Woon yang kini berciuman di altar.
“Kau akan tinggal bersamaku. Aku sudah membicarakan hal ini dengan Hye Na,” kalimat itu bagaikan Guntur yang menggelegar bagi Ryu Jin.
—oOo—
Hye Na menghela nafas sambil melentangkan tangannya, lalu menghembuskannya kembali perlahan. Selepasnya pesta pernikahan tadi, Hye Na dan Ji Woon langsung bertolak ke Jeju. Mereka akan menikmati bulan madu di Villa milik keluarga Goo di Jeju. Tentu saja pengacara Kim sudah memberesi masalah dengan pihak bank, sehingga segel ‘disita’ sudah lenyap seluruhnya dari setiap sudut vila itu. Dan sekarang di sinilah Hye Na, di pantai belakang Vila itu, berjalan menuju perairan yang tenang diikuti Ji Woon yang berjalan di belakangnya.
Saat kakinya menyentuh air yang menjilat-jilat itu, dia berhenti, mengitarkan pandangannya di panorama yang indah lalu tersenyum pada Ji Woon. Pria itu membalas senyumannya lalu merangkulnya mesra, memberikan ungkapan cinta dalam ciuman yang hangat dan penuh gairah.
Ji Woon tersenyum saat melepaskan ciumannya, tangannya masih menangkup pipi Hye Na yang kini memerah. “Aku mencintaimu, Nyonya Yoon.”
“Aku juga mencintaimu, Tuan Yoon.”
Ji Woon tertawa bahagia karenanya lalu merangkul Hye Na, mengitarkan pandangan ke sekeliling. “Laut tenang malam ini,” ujarnya.
Hye Na mengangguk. “Inilah yang selalu aku rindukan dari tempat ini.”
Tiba-tiba ada ide liar di benak Ji Woon. “Kau pernah lihat film ‘Breakingdown’? Bagaimana kalau kita berbulan madu ala ‘Breakingdown’.”
“Bulan madu ala Breakingdown?”
Ji Woon berkerling mencurigakan. “Berenang telanjang bersama-sama lalu… .”
“Hm, sepertinya aku tahu kelanjutannya,” Hye Na menyipitkan mata. Ji Woon mencolek hidung Hye Na sambil berujar,”Istri pintar… .”
Tentu saja Hye Na pintar menebak. Hye Na memberikan pukulan kecil di dada Ji Woon. Suaminya tertawa melihatnya merajuk lalu memeluknya erat-erat.
“Yang tak kumengerti adalah kau ngotot berbulan madu ke sini,” ujar Ji Woon sambil melepaskan pelukan. “Oh, iya, tentu saja, setelah ini, kita berbulan madu sepuasnya di apartemenku di Amerika,” tebak Ji Woon.
Tapi Hye Na menggeleng. “Aku tidak akan ikut kakak ke Amerika,” keputusan sepihak yang membuat Ji Woon terkejut. “Kenapa?”
Hye Na menghela nafas lalu memandang lautan lepas kembali.
“Apa karena Ryu Jin?” tebak Ji Woon. “Ayolah, Sayang. Kau dengar, kan.. niat tulus Ibu untuk merawat Ryu Jin selama kita di Amerika. Kau harus memberi kepercayaan pada Ibumu untuk melakukan niatannya itu.”
Hye Na tersenyum saat menoleh pada Ji Woon. “Aku ingin anakku lahir di Korea.” Ji Woon tertawa mendengar ucapan Hye Na. “Kita bisa menunda mempunyai anak kalau begitu.”
Giliran Hye Na terkekeh karena ucapan Ji Woon. “Bagaimana bisa menunda kalau anak itu sudah ada di perutku?” Mata Ji Woon melebar seketika.
“Malam itu Kakak terlalu serius meyakinkan cinta kakak hingga membuatku hamil,” Hye Na tersipu mengakuinya. Sungguh peristiwa konyol yang dialami mereka yang nyata-nyata pasangan dengan pendidikan yang tidak bisa dibilang rendah.
Ji Woon bahkan tak bisa berucap apa-apa. “Ya, Tuhan…, aku… .” Mendadak Ji Woon bagai orang linglung. Hye Na masih saja terkekeh melihatnya memandangi wajah lalu turun ke perut istrinya. “Aku… aku sudah jadi calon ayah … di malam bulan maduku?” Hye Na mengangguk cepat. Ji Woon memeluk lagi. “Terima kasih, Sayang.” Langit di atasnya tampak cerah saat Ji Woon menengadah. Bintang serasa dekat hingga dia bagaikan mudah memetiknya. “Terima kasih, Tuhan,” desahnya lagi sambil menutup mata.
“Hm, Kakak!”
Ji Woon melepaskan pelukannya dan memandang Hye Na yang memainkan kancing di dadanya. “Bagaimana dengan bulan madu ala ‘Breakingdown’-nya?” tanya Hye Na. Ji Woon tampak menimbang-nimbang sesuatu. Bulan madu ala ‘Breakingdown’ dengan keadaan Hye Na yang hamil muda? Oh, Tidak! Jangan jadi gila.
“Kita istirahat saja,” kata Ji Woon sambil merangkul Hye Na, mengajaknya kembali ke vila. Hye Na jadi merajuk, “Yah, Kakak… katanya mau… .”
“Tidak!” tolak Ji Woon. Tegas dan tanpa tedeng aling-aling. Dia bahkan bergegas kembali ke vila. Mau tak mau Hye Na mengikutinya walau masih menggoda untuk melakukan bulan madu ala ‘Breakingdown’.
“Jadi tidak jadi, nih?”
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Karena anak kita.”
“Memangnya kenapa anak kita?”
Oh My God, Hye Na. Pleasse, deh!….
Sementara itu… Apa yang dilakukan Yo Won untuk mendidik Ryu Jin? Rupanya Ibu satu ini tidak belajar dari pengalaman. Cara mendidiknya masih sama dengan cara dia mendidik Hye Na dan Jae Min. Lihat saja tingkahnya yang tiba-tiba menghadapkan Ryu Jin dengan beberapa gepok uang di salah satu ruangan megah di mansion mewahnya.
“Ini ada uang di depanmu. Apa yang akan kau lakukan dengan uang itu? Jika kau sebagai Goo Jae Min, kau akan menghabiskan uang itu untuk hal-hal yang tidak perlu. Jika kau jadi Goo Hye Na, kau akan menginvestasikan uang itu di bursa saham hingga berlipat ganda. Dan sekarang… Kau!… Goo Ryu Jin.. Apa yang akan kau lakukan?”
Ryu Jin berpikir sejenak. Di tangannya tergenggam uang itu. Lima juta Won bukanlah jumlah yang sedikit. “Bagaimana kalau aku ikut audisi drama?” tanya Ryu Jin.
“Tidak!” bentak Yo Won. “Kau tidak boleh jadi actor playboy macam Ayahmu!”
Well…, Ryu Jin…. Selamat berakrab-akrab dengan Go Yo Won, ya…. HEhehehe….
TAMAT
Good Bye 2011, Wellcome 2012
HAPPY NEW YEAR 2012
WISH YOU ALL THE BEST
THANK FOR THE ATTENTION
SISICIA
😉