THE MAESTRO (part 1)

THE MAESTRO

part 1

Long-long time Ago….

Rumah kecil itu memang terlihat lebih menonjol diantara rumah-rumah lain di komplek. Sebuah rumah dua lantai dengan modelnya yang sedikit kuno. Apalah arti model sebuah rumah, mengingat fungsi utamanya sebagai pelindung dari ekstrimnya cuaca. Kenyamananlah yang selama ini diciptakan manusia di dalam rumah. Dari sini kita mampu berkesimpulan betapa manusia merupakan makhluk lemah. Namun bukan hal itu yang membuat rumah pensiunan tentara-Kolonel Goo itu begitu menonjol dilihat mata, hari ini. Hal ini lebih disebabkan oleh mobil Roll Royce mewah yang terparkir di pelataran yang tak lain adalah milik Aldian Lee, calon menantu keluarga ini, yang membuat tetangga kanan  kiri mencibir karena iri. Tak ada yang menyangka bahwa salah satu cucu keluarga itu mampu menggaet Aldian. Siapa yang tidak mengenal Aldian Lee, calon pewaris tunggal pengusaha Harriot Lee. Setiap orang pasti berpikir jika hal itu hanya dilakukan untuk keluar dari kemiskinan yang menyelimuti rumah ini. Itulah mengapa rumah ini selalu dibicarakan oleh ibu-ibu kompleks, tak luput pula penghuni rumah ini yang terdiri dari Kolonel Goo, dua orang cucunya, Alicia yang kini tengah berusia dua puluh tahun dan adiknya yang baru berusia enam tahun-Joana, serta seorang nani pengasuh, Mina Im.

Kakak beradik itu sudah yatim piatu, ibu mereka meninggal karena melahirkan Joana. Hal ini bisa dimengerti mengingat umur sang ibu yang sudah tua ketika mengandung Joana, sedangkan ayah mereka yang seorang pilot itu meninggal karena kecelakaan pesawat yang dikemudikannya. Tiga tahun yang lalu, saat pertama kali mereka memasuki rumah ini untuk hidup di bawah asuhan kakek mereka. Alicia selalu mengurung diri di kamar, menangisi nasib malangnya tanpa perduli pada Joana. Sedang Joana, sikecil ini terlalu muda untuk memahami kesedihan yang ada disekelilingnya.

Betapa cepatnya waktu berlalu, hingga dalam dua tahun, kebahagiaan di rumah ini kembali. Pertemuan Alicia dan Aldian mampu mengubah pandangan gadis muda tersebut tentang kehidupan. Aldian-lah pemacu semangat hidup Alicia. Dan hari ini adalah saat pertama Alicia memperkenalkan calon suaminya itu pada sang Kakek.

Alunan melodi yang dihasilkan oleh permainan piano, kini mampu memecah suasana yang hening, sayup-sayup irama “Love story” terdengar dari ruang tengah rumah ini, menghentarkan dinding-dinding tua di sekitarnya. Terlihat dekorasi ruangan yang tanpa barang mewah kecuali sebuah piano yang kini tengah dimainkan Aldian. Kesedihan, hal itulah yang mampu ditangkap oleh setiap telinga yang mendengar lagu ini. Tak ada yang dapat mengerti kenapa dia harus memainkan melodi sedih pada saat seperti ini. Tak ada yang tahu, begitu juga Aldian. Yang dia fikirkan hanyalah bagaimana membuat kakek sang kekasih itu terkesan.

Aldian berhasil, telinga tua itu dengan penuh pemahaman menikmati alunan pianonya. Alicia tak lepas memandang dengan perasaan bangga. Dan rupanya hal ini juga menarik perhatian Joana. Si kecil Joana segera keluar dari kamar, meninggalkan tugas menggambarnya yang setengah jadi. Sambil berlari menuruni satu-satunya tangga yang menghubungkan lantai atas dengan lantai dasar. Setelah hampir sampai di ruang tengah, dia berhenti. Perlahan dia mendekati Aldian. Dipandangnya jari-jemari Aldian yang menari-nari, memencet tut demi tut piano, mengikuti not demi not yang ada di buku music hingga terdengarlah irama indah itu. Kekaguman terpancar dalam pandangan gadis kecil ini hingga mata bulat yang indah itu semakin berbinar, sementara kakek dan sang kakak yang terlena tidak menyadari kehadirannya.

Akhirnya usai sudah permainan piano itu. Kakek dan cucu-cucunya itu bertepuk tangan. Aldian pun mengucapkan terima kasih, terlihat Joana yang sedari tadi berdiri di samping kanannya. Dia tersenyum dan Joana membalas dengan tawanya yang khas anak-anak.

“Hei, siapa gadis kecil yang cantik ini?” ujar Aldian sembari mencubit pipi Joana. Alicia segera menyadari kesalahannya yang tidak mengikutsertakan adiknya dalam pertemuan ini. Dia segera memperkenalkan Joana pada Aldian.

”Dia adalah Joana, dongsaengku. Kami selalu memanggilnya Joan,” kata Alicia. “Joan, ini adalah calon suami Uni, namanya Aldian Lee.”

Joana mengangguk-anggukkan kepalanya yang mungil dan berhias rambut hitamnya yang panjang dan lebat.

“Kau suka piano, Joan?” Aldian memulai pembicaraan.

Senyuman Joana semakin melebar saja, dan anggukan kepalanya itu semakin cepat seiring jawaban dengan suara nyaring yang dia berikan,”Ne…., habis oppa mainnya bagus. Oppa mau mengajariku, kan?”

“Boleh!” Aldian mengangkat tubuh kecil Joana dan mendudukkan di pangkuannya. Dia lalu memperkenalkan Joana tentang dasar-dasar memainkan piano.

Joana tertawa-tawa saat tangannya dalam genggaman Aldian, dituntun dalam memencet tut piano, hingga lagu dengan nada sederhana terdengar dari alat music itu,’Tinckle-tinckle little star’

“Do.. do..sol…sol… la… la… sol. Fa… fa… mi… mi… re… re… do,” senandung Aldian sembari tangannya membimbing bocah kecil di pangkuannya. Dan hal itu berlanjut setiap dia mengunjungi Alicia. Rupanya Aldian memang serius  menepati janjinya pada Joana, hingga membuat Alicia sedikit kesal. Kedekatan Aldian pada si kecil Joan sering membuat Alicia cemburu.

“Kau melupakan rencana kita malam ini.” Protes Alicia, di malam itu, saat dia menghantarkan Aldian menuju mobilnya di depan rumah. Aldian memang lupa waktu, mengajari Joana sampai larut, hingga rencana mereka untuk jalan-jalan di luar pun batal.

Pria tampan itu hanya tertawa dan penuh rasa bersalah dia minta maaf pada kekasihnya yang sedang mayun itu, “Miane… .” Direngkuhnya tubuh itu lalu membawanya dalam pelukan dadanya yang bidang,”Lain kali masih ada waktu untuk kita jalan-jalan.”

Alicia masih saja kesal. “Aku benci kalau dia lebih menarik perhatianmu dari pada aku. Aku selalu iri padanya.”

Aldian melonggarkan pelukan lalu menatap lurus ke bola mata Alicia,”Iri?”

“Ne… , Iri,” pasti Alicia sambil mengelus dada bidang itu.”Aku iri karena dia tidak terpengaruh saat orang tua kami meninggal, dia masih saja bermain dengan riang sedangkan aku harus bersedih.”

“Hai, dia masih tiga tahun waktu itu, tentu saja dia belum bisa merasakan,” Aldian berusaha menyadarkan  kekasihnya.

“Kadang aku berharap kami bertukar tempat,” ucap Alicia asal. Aldian tertawa mendengar semua itu, hingga timbul suatu gurauan konyol di otaknya,”Kalau begitu, dia yang akan menikah denganku dan kau yang jadi anak kecil dengan pelajaran pianonya.”

Mendengar gurauan itu sontak bibir Alicia tambah manyun. Aldian pun jadi tambah geli lalu mempererat pelukannya atas Alicia, menghirup bau harum tubuh kekasihnya itu dan berbisik,”Tapi kau-lah yang akan menikah denganku, seorang gadis yang membuatku lupa segalanya hingga memutuskan cepat-cepat menikahimu setelah lulus SMA.”

 Yup, kecemburuan itu tidak menggagalkan rencana  mereka. Pernikahan keduanya berlangsung sangat meriah. Tak ada alasan yang membuat Alicia cemburu lagi. Kebahagiaan benar-benar terasa di rumah ini, bahkan wajah tua Kolonel Goo semakin sumringah. Apalah yang diharapkan pensiunan tua itu selain kebahagiaan cucunya. Cucu yang merupakan generasi penerus, penerus perjuangan, penerus impian dan penerus kehidupan.

Namun entah kenapa kebahagiaan itu tidak dapat berlangsung lama. Seakan-akan rumah kecil ini begitu alergi dengan kebahagiaan, hingga sangat kerasan dengan sejuta penderitaan. Alicia meninggal karena kecelakaan pada perjalanan bulan madu mereka, sedangkan Aldian harus mengalami operasi pemasangan platina pada kakinya yang retak.

Mata tua Kolonel Goo semakin mencekung, tak ada lagi gairah hidup di sana. Semakin lama, ketahanan tubuh yang dulu pernah dia gunakan untuk membela Negara dari tirani itu hilang dan akhirnya nyawa sudah enggan bersemayam di dalamnya. Beliau meninggal dua bulan setelah kematian Alicia.

Angin bulan Desember bertiup sembari membawa hawa dingin. Alam seakan tahu kesedihan yang memenuhi hati Aldian. Tak ada yang dapat dia lakukan selain berdiri, memandangi dua gundukan tanah pemakaman dua orang yang sangat dicintai. Dia tetap di sana, tak perduli kakinya yang masih belum lepas dari balutan perban, tak perduli tubuhnya yang masih ditopang oleh tongkat penyangga jika harus berdiri. Mungkin kesedihan sudah merupakan zat adiktif ampuh bagi dirinya, hingga tidak dapat merasakan lagi sakit lahiriah.

Joana terdiam melihat perilaku kakak iparnya. Entah apa yang berkecamuk dalam otaknya. Adakah dia tahu bahwa sudah sebatang kara? Setiap orang yang mengetahui nasibnya memandang dengan penuh simpati, kasihan… . Apakah dia menyadari itu?

Joana mendekati Aldian, mencoba meraih tangan kakak iparnya itu. Kehangatan genggaman tangan kecil Joan membuat Aldian sadar dari lamunan. Disekanya air mata yang terbendung di kelopak bawah matanya, lalu menoleh ke arah Joan. Berusaha memberi senyuman pada anak kecil itu walau pun hatinya menolak. SEakan dengan senyuman itu, dia ingin mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja. Sungguh munafik, dia ingin meyakinkan orang lain padahal dia sendiri tidak yakin apakah keadaan nanti benar-benar baik.

Hari-hari berikutnya seakan berjalan lambat. Kesunyian masih terasa di rumah ini. Aldian belum memutuskan apa pun. Waktu demi waktu dia habiskan untuk melamun. Apakah dia bersedia menjadi wali bagi si kecil Joan? Sedang Joan sendiri hanya mengurung diri dalam kamar. Persis dengan apa yang dilakukan almarhum kakaknya saat kedua orang tuanya meninggal. Setiap kali Mina, nani pengasuh menengok sambil membawakan makanan. Terlihat dia terbaring di atas tempat tidur menatap langit-langit. Mina juga melihat nampan sarapan tadi pagi. “Hanya dimakan sedikit,” pikirnya dalam hati. Namun hal itu masih membuat  Mina lega, setidaknya dia masih mau makan.

Tubuh kecil Joan ternyata belum mampu menahan lapar. Hal itulah yang membuat dia terbangun di malam hari, keluar kamar dan bergegas ke dapur. Sesaat kemudian perutnya sudah penuh dengan biscuit dan susu. Joan segera kembali ke kamar namun ketika melewati ruang tengah, dia berhenti.

Terlihat dari tempatnya berdiri, Aldian tengah duduk di hadapan piano yang terbuka. Mata Aldian memandang tajam ke arah tut-tut piano namun dia tidak hendak memainkannya. Satu per satu rasa berjejal dalam hati seakan tidak mau mengerti bahwa hati itu telah penuh. Dia mencoba mengatur nafas. Jika dia mau, dia bisa menghancurkan piano itu, namun tak mungkin mengingat Alicia sangat mencintai piano itu.

Aldian tetap terduduk. Sunyi… .

Namun tidak demikian bagi Joan yang masih berdiri di tempatnya memandangi Aldian. Di telinga gadis kecil itu mulai terdengar irama yang begitu pelan. Harmoni itu teramat pelan. Dia yakin dibalik diamnya Aldian ada sebuah irama yang Aldian mainkan. Namun irama itu begitu pelan. Sangat-sangat pelan hingga hampir-hampir Joan tak dapat mendengarnya. Joan terduduk, lalu merebahkan tubuhnya di atas lantai. Telinganya ditempelkan di lantai dan berharap dengan melakukan itu, irama hati Aldian terdengar lebih jelas.

Ternyata Joana salah. Irama itu masih sangat pelan. Namun dia tidak putus asa, tetap menempelkan telinganya di lantai yang dingin itu hingga akhirnya tertidur.

 

BERSAMBUNG

THE SECRET II (Temptation of Island — Part 6)

THE SECRET II

(Temptation of Island)

Part 6

Cassidy sama sekali tak mempercayai penglihatannya. Hal yang begitu samar. Mungkin hanya mimpi. Tidak! terlalu nyata untuk dianggap sebagai mimpi karena wanita itu benar-benar duduk di sana. Angkuh, sombong dan berani-beraninya mengotak-atik laptopnya. Dia mengerjapkan mata berulang-ulang. Mengetuk-etuk batok kepala sendiri dengan gumaman tak jelas. Sialan! Benar-benar alkohol sialan! Dia minum sedikit tapi efeknya benar-benar merepotkan bagi orang yang tidak biasa minum sepertinya.

Dan Cassidy benar-benar ingin menghukum mata-mata kecil di balik layar laptopnya itu. dia semakin mendekat, namun anehnya wanita itu  tak bergeming. Benar-benar spionase tangguh. Atau mungkin terlalu naif. Ya, wanita itu terlalu naif. Entah siapa yang menyuruhnya, pasti sangat menyesal telah menugaskan wanita bodoh seperti itu.

Cassidy sampai sudah di depan mejanya. Memicingkan mata demi melihat lebih jelas wajah yang hanya diterangi sinar dari layar laptop. Mata yang terpicing itu melebar kemudian. Sungguh-sungguh tak dapat dipercaya! Begitu mengejutkan, mulutnya ternganga. Dia gemetar. Bahkan gelas piala yang berada di tangannya terjatuh, membuahkan bunyi pecahan yang membuyarkan konsentrasi wanita yang dianggap penyusup itu.

Wanita itu mendongak ke arahnya. Wanita itu…

“Nyonya d’ Varney..,” Cassidy memanggil dengan tenggorokan yang tercekat.

Charlie berdiri dengan angkuh. Begitu congkak, sama sekali berbeda dengan yang terlihat sebelum-sebelumnya. Dan pakaian yang dia kenakan…, garis-garis tegas, potongan simple, warna-warna tanah khas kaum feminis? Bukan! Itu bukan Charlie d’Varney. Itu… itu Charlie Bouwens… Tapi…

“Bi… Bibi?” Cassidy semakin bingung. Tidak mungkin!

“Benar-benar bodoh!” Charlie melipat tangan di dada. Alisnya meninggi dengan tatapan menghardik. Tatapan yang selalu Cassidy temui dulu, saat dia masih menjadi asisten Charlie.

“Bibi, ini benar kau?”

“Tentu saja, Bodoh!”

Terdengar kekesalan dari suara Charlie. Wanita ini bahkan memejamkan mata saat mengumbar kejengkelan. Dan sekarang… Cassidy tampak seperti anak yang harus dihukum karena Charlie menunjuk-nunjuk padanya. “Aku menyerahkan Bouwens Inc padamu bukan untuk kau buat bangkrut!”

Ya, Tuhan… Ini nyata? Charlie mengingat semuanya? Cassidy mencubit lengannya sendiri dan meringis. Bukan mimpi!

“Bouwens Inc bergerak di Industri media. Siapa yang menyuruhmu memasuki bisnis pariwisata?” sekali lagi! Interogasi tegas yang menghukum.

Cassidy tidak focus dengan interogasi itu. dia menyeberangi meja. Mengabaikan kemarahan wanita itu untuk memeluknya. “Bibi, ini benar kau?”

Charlie berontak. Ditendangnya bagian vital Robert. Pria itu terbungkuk-bungkuk menahan sakit.

“Kau menginvestasikan uangku untuk kapal rongsokan tak berguna dan menghambur-hamburkan uang untuk pencarian gadis tak berguna dengan kapal itu?”

Robert  tersentak. Gadis tak berguna? Charlie menganggap Camille gadis tak berguna? Apa mungkin seorang Ibu menganggap anaknya tak berguna? Ini mimpi. Ini pasti mimpi. Aku mohon bangun. Siapa pun bangunkan aku sekarang juga.

“Hentikan pencarian! Batalkan investasi ini! Pulang segera ke Korea!”

Tunggu! Perintah yang tidak mungkin! Masih menahan rasa sakit, Robert meraih pundak Charlie. “Bibi sadarlah! Camille itu putrimu!”

Charlie menyeringai. Tatapannya membunuh ke arah Robert. Menoleh pada tangan Robert yang masih di pundaknya dan pria itu menurukan tangan perlahan. “Jangan bodoh, Robert. Jantung Pamanmu terlalu lemah untuk memberiku anak.”

Mata Robert mengerjap. Kebingungan semakin menderu. Wajah Charlie serasa berputar di depannya. Bukan! Bukan hanya wajah, ruangan ini berputar bahkan dunia jungkir balik. Robert terhuyung. Alkohol itu benar-benar bereaksi sekarang. Dia berusaha menahan tubuhn dengan bersandar di meja.

Aku mohon. Aku mohon jangan jatuh sekarang. Aku ingin memastikan semua ini nyata. Wanita ini nyata.

Tangan Robert menggapai. Dia ingin memegang Charlie sekali lagi. Namun matanya semakin mengabur. Dia jatuh. Benar-benar jatuh dan pelayan menemukannya esok harinya. Dia masih merasakan sisa pusing semalam tapi tidak ada lagi Charlie.

Antoine dan Brian menemuinya di siang hari, membicarakan kabar yang terdengar dari tim penyelamat Camille yang dikomandoi Charlie dari darat. Sementara Brian mendengarkan penjelasan Antoine, Robert tidak focus.

Begitu bertolak belakang. Jika yang semalam adalah orang yang sama dengan yang sekarang ini mengomandoi tim pencari Camille dari kamarnya, kenapa tindakannya begitu bertolak belakang? Apakah yang semalam memang mimpi?

Charlie muncul kemudian. Marah dan merasa dikhianati. Kesedihan seorang Ibu begitu kentara karena kabar tentang ditemukannya puing kapal ditutupi darinya. Wanita itu bahkan tak mau mendengarkan penjelasan suaminya. Menuduh Antoine sebagai pihak yang paling bersalah dan membentak Brian. Saat Robert tak tahan lagi, dia mengatakan kalau itu yang terbaik baginya. Charlie membentaknya, mengklaim kalau dia sama sekali tak mengenal Charlie.

Yang lebih mengejutkan… saat Charlie dengan jelas berucap, menyatakan rasa bencinya pada Antoine. Pria yang selama lebih dari dua puluh tahun menjadi suaminya itu, Robert melihat sekejap ada gurat kesedihan di wajah Antoine. Sebelum akhirnya wajah itu berubah menjadi raut kecemasan. Charlie pingsan!

Robert begitu mengkawatirkan Charlie. Dia tahu semua ini tidak pantas. Tapi kejadian semalam, yang dia sendiri ragu menyebutnya  mimpi. Karena Charlie memang di sana, mengotak-atik laporan keuangan dari laptopnya bahkan wanita itu tahu password rahasianya. Robert tahu itu. Robert yakin sudah mematikan laptop sebelum mendatangi bar tapi laptop itu masih menyala bahkan setelah dia tersadar dari pingsan. Dan Robert menyesal karenanya. Seharusnya dia merubah password setelah Bouwens Inc berada di tangannya. Ya, Pasword itu masih tetap sama, password dengan kombinasi angka, huruf dan sandi yang dirancang Charlie Bouwens. Charlie lah yang memberitahukan password itu setelah menyerahkan Bouwens Inc padanya.

Jika benar Stacy Longbotom sudah mencuci otak Charlie, harusnya Charlie tidak mengingat sandi itu. tapi Charlie ingat. Kemungkinan ingatan Charlie sudah kembali. Tapi bagaimana mungkin dia tidak mengingat Camille, menganggap Camille gadis tak berguna? Bahkan dia tidak mengingat Antoine. Yakin kalau tidak mungkin punya anak karena Williams berpenyakit jantung?

Robert mau mengatakan semua ini pada Antoine, tapi dia tak yakin yang semalam itu mimpi atau nyata. Apalagi yang menyebabkan Charlie pingsan sungguh diluar dugaan. Charlie hamil. Antoine mengatakan dengan jelas kalau Charlie hamil. Dia tidak bisa mengganggu kebahagiaan itu, dia mengurungkan niat. Bahkan kata-katanya tidak focus karena memang bingung harus memulai dari mana. Dari kejadian Charlie marah-marah di ruangannya sebelum pingsan, atau dari kejadian semalam yang dia sendiri ragu akan kesadarannya? Tapi kenapa kata-kata Antoine seolah meyakinkkannya… bukan…, Antoine bukan meyakinkannya. Antoine mengucapkan itu lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa tidak ada lagi Charlie Bouwens, hanya ada Charlie d’Varney sekarang, istrinya.

Berhari-hari Robert memikirkan semua itu. Dia bahkan mengontrol perkembangan Charlie. Sialnya, dia berlaku seperti orang iseng. Mengarahkan teropong ke pavilyun Antoine. Mengawasi aktifitas suami-istri itu. Charlie yang setiap pagi disibukkan oleh morningsickness. Antoine yang berlaku sebagai suami yang baik dengan menyediakan segala keperluan istrinya. Di siang hari, pria itu akan pergi ke pantai, kembali mengarahkan tim pencari Camille, sedangkan Charlie yang masih lemah memaksakan diri bekerja di depan  atlas, kompas bahkan hitungan navigasi, memberi perintah pada tim pencari dengan                   telekomunikasi satelit.

Setiap hari, tak pernah berhenti. Robert semakin ragu kalau kejadian malam itu nyata. Lalu siapa yang menyalakan laptopnya dengan password yang tepat?

Dan malam itu, saat dibalik teropongnya dia melihat Antoine mencium kening Charlie. Robert bisa melihat dengan jelas keromantisan suami-istri itu. Robert memejamkan mata, menghalau rasa cemburu di hatinya. Teropong itu pecah  menjadi korban kemarahannya.

Bodoh! Wanita gila! Pelacur!

Dia menghela nafas, berusaha mengkoreksi kesalahannya. Ini salah! Semua ini salah! Bagaimana mungkin aku menjadi maniak, memata-matainya dan cemburu. Mereka suami-istri. Antoine berhak akan Charlie dan aku…

Aku….

Ini adalah obsesinya. Kejadian semalam adalah benar mimpi. Kejadian yang merupakan buah obsesinya pada Charlie yang meletup-letup. Sekian kali Robert berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa alkohol memang membuatnya melihat yang tidak-tidak malam itu.

—oOo—

Goa sudah terang dengan obor di beberapa titik yang dia nyalakan, Kwang melihat Camille masih seperti posisi tadi siang, duduk di tempat tidurnya. Tapi kali ini ada aktifitas lain yang gadis itu lakukan. Entah apa, Kwang hanya menebak-nebak. Gadis itu menarik-narik gumpalan kapas di tangannya, serat yang terkandung di kapas membuahkan helaian panjang yang dia gulung di sebatang ranting. Sesekali tampak helaian itu terputus dan Camille harus dengan hati-hati mengulang prosesnya.

Kang hanya bisa melihat dari tempat tidurnya. Semenjak kejadian memalukan antara mereka berdua karena masalah datang bulan, hubungan diantara keduanya masih kaku. Camille yang biasanya cerewet lebih pendiam. Dia mungkin malu, pria yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya melihat dalam keadaan seperti itu.

Camille merasa kalau Kang memperhatikannya. Dia berhenti dengan kapas-kapas itu, membanting semuanya dan berbaring membelakangi Kang.

Kang menghela napas, berbaring dan berbalik membelakangi Chamille. Suara malam semakin kentara karena kesunyian di antara mereka. Kang bisa mendengar nafas Camille terpantul di dinding-dinding goa. Nafas penuh emosi. Entah apa yang membuat gadis itu marah, Kang tidak tahu.

“Kenapa kau tahu segalanya tentang aku, kau bahkan sudah melihat saat aku dalam keadaan paling lemah dan menyedihkan, tapi aku tidak tahu sama sekali tentang kau?”

Kang mendengar gerutuan Camille. Jadi itu yang membuat Camille marah? Jadi itu yang membuat  semuanya serba kaku beberapa hari ini?

“Apa untungnya, saat kita ditemukan, kau kembali ke keluargamu, aku kembali ke pekerjaanku dan selesai,” masih dalam posisi saling membelakangi mereka mengobrol.

“Ini tidak adil. Tentu saja aku berhak tahu tentangmu. Bagaimana pun kau adalah satu-satunya manusia di pulau ini yang bersamaku selama sebulan. Rasanya ini salah. Tidak sopan! Kau harusnya memperkenalkan diri. Jangan berlaku sebagai pahlawan tanpa nama… bukan… bukan  pahlawan tapi … hantu yang sok jadi pahlawan!”

Camille berbalik saking jengkelnya. Punggung Kang berkilat-kilat terterpa cahaya dari api obor. “oh, ya, tentu saja! Setelah kita ditemukan, aku akan mencarimu, bahkan aku akan menyuruh Brian mencari tahu siapa dirimu biar semuanya jelas!”

“Brian? Siapa Brian?”

Camille tersentak. Selama sebulan dia tidak mengingat Brian, pria yang sempat membuatnya jatuh hati selama kunjungan singkatnya di Seoul. Apa kabarnya pria itu sekarang? Perdulikah Brian terhadap menghilangnya dirinya di lautan?

“Dia temanku di Bouwens Inc, dia pasti membantuku!”

Kang berbalik. Dia bangkit dan mendekati Camille. Bahkan dia berjongkok di depan Camille, mencengkeram kedua sisi lengan Camille yang masih terbaring. “Teman? Benar hanya teman?”

Wajah Camille berubah pucat. Tak disangka Kang begitu marahnya, tapi kenapa? Dan Kang berusaha melembekkan wajahnya yang mengeras. Apa-apaan ini? Dia cemburu? Dia cemburu saat Camille menyebutkan nama pria lain? Sebulan ini Camille tidak pernah menyebut nama pria lain selain ayah dan kakaknya dan sekarang… Brian… siapa Brian?

Cengkeramannya di lengan Camille semakin mengendur. “Maaf… .” Kang melepaskan Camille dan duduk membelakangi Camille. Gadis itu ikut duduk dan kebingungan.

“Kau marah? Aku minta maaf kalau membuatmu marah.”

Tunggu! Kenapa aku jadi sedih kalau dia marah? Ini aneh. Camille sama sekali tak mengerti arus di hatinya. Ada apa memangnya? Bukankah memang benar kata-kata Kang, mungkin lebih baik dia tidak tahu segalanya tentang Kang. Pria itu bagaikan magnet.  Semenjak Camille memergoki Kang tanpa busana di air terjun, saat pertama dia sadar di pulau ini, Camille sudah merasakan keanehan di dirinya sendiri. Hatinya yang tak terkontrol, selalu ingin mencari perhatian Kang. Dia bahkan menikmati kekawatiran Kang. Dan punggung itu… Damn! Kenapa dia selalu tidur bertelanjang dada. Sungguh aneh mereka bisa bertahan sejauh ini.

“Aku punya Bibi di salah satu desa kecil di Jeju,” Kang mulai bersuara. Mata Camille menyipit, membuka telinga lebar-lebar. Kang menghela nafas. “Dan juga adik… adik perempuan.”

Kang mulai membuka jati dirinya. Camille mendengarkan dengan baik, menanti dengan sabar tanpa menyela. Jika memang Kang mulai jujur, dia tidak ingin suaranya membuat pria itu berubah pikiran, tertutup seperti sebelum-sebelumnya. Camille ingin tahu semuanya. Mendengar Kang menyebutkan Bibi lalu adik…, Camille ingin Kang meneruskan semuanya, mungkin memastikan pria itu belum beristri atau mungkin belum ada wanita yang menunggunya selama terdampar atau bahkan menangisinya setelah mendengar berita dia menghilang. Camille semakin bingung. Apa untungnya semua itu? Apa pedulinya Kang sudah beristri atau belum? Semakin aneh saja, kau, Camille…

“Aku yakin mereka sudah mendengar berita tenggelamnya kapalku. Mungkin mengira aku sudah meninggal.” Kang kembali duduk di tempat tidurnya. “Apakah itu cukup?”

Camille tidak tahu, dia ingin tahu lebih tapi kenapa Kang malah bertanya hal itu cukup baginya atau tidak. Camille ingin bertanya tentang orang tua Kang, tapi dia tahu Kang selalu marah jika ditanya tentang orang tuanya.

“Sepertinya memang tidak cukup,” Kang bisa menebak isi otak Camile. Ya, tidak akan cukup hanya segitu.

“Aku tidak suka kau menanyakan orang tuaku karena memang aku tidak punya,” sambung Kang.

Jadi begitu… Kang tidak suka ditanya masalah agama karena memang tak beragama dan Kang tidak suka ditanya tentang orang tuanya karena memang tidak punya. “Lalu marga Shin?” Camille keceplosan, dia seharusnya diam dulu tapi rasa penasaran sudah tidak bisa ditahan.

“Dari Ibuku .., tentu saja…”

“Kau bilang kau tidak punya orang tua,” Kenapa Camille berlaku sebaliknya? Semakin menuntut. Bersiap-siaplah menerima kebungkaman Kang lagi.

Tapi ternyata sekarang lain. Kang lebih terbuka. Gadis ini menyebut pria lain karena kebungkamannya. Dan karena itu dia ingin ‘show up’? untuk apa? Untuk merayu Camille dengan cerita sedih? Apakah taktik seperti ini masih berlaku bagi wanita seperti Camille. Oh, Gila! Kenapa harus terdampar dengan gadis secantik itu. Kang memejamkan mata, berusaha mengusir pikiran yang tidak-tidak.

“Orang tua adalah Ibu dan Ayah. Aku hanya punya Ibu tapi tidak punya Ayah … jadi…,” Kang menggelengkan kepala. Pulau ini benar-benar membuat keduanya gila. Dalam hati Kang berdoa agar segera ditemukan.

“Ibuku bahkan tidak tahu siapa Ayahku? Terlalu banyak pria dan dia tidak mungkin menuntut tanggung-jawab karena memilih pekerjaan yang beresiko seperti itu,” akhirnya… aib itu… aib itu mulai dia katakan. Ini bodoh, jika dia ingin menarik perhatian Camile, seharusnya dia menceritakan latar-belakang yang baik. Keluarga yang harmonis, bukan kenyataan kalau dia anak wanita penghibur.

Camille masih mendengarkan. Matanya masih menatap dengan penuh perhatian. Kang menebak-nebak apa yang mungkin dipikir gadis itu. Mungkin jijik setelah tahu kalau dia anak pelacur, tapi tidak… tidak ada kernyit jijik di wajah cantik itu. Hanya kernyit menunggu… entah apa yang ditunggu… Kang sekali lagi menerka-nerka. Mungkin dengan meneruskan ceritanya, Kang bisa tahu apa yang ditunggu gadis itu.

Dan cerita itu berlanjut dari bibir Kang. Begitu lancar tanpa selaan dari Camille.

Bibinya selalu menceritakan latar-belakangnya secara lengkap. Gamblang. Bisa saja sang Bibi menutupi semua itu dan mengarang cerita bodoh kalau Kang anaknya sendiri. Tapi bibinya tidak bisa melakukan itu. keluarga almarhum suaminya melarang, tidak rela jika nama ‘Ok’, marga suaminya melekat pada anak haram. Karenanya Kang tahu semuanya. Dia tahu bahwa empat bulan sebelum dia lahir, Ibunya tiba-tiba pulang dengan perut yang membuncit. Wanita itu, Shin Hae Young hamil lima bulan.

Bibinya, Shin Hae Deok sedang berduka karena kematian suaminya dan semakin pusing karena ulah Hae Young. Adiknya tidak mau mengaku tentang ayah bayinya, bukan hanya tidak mengaku, bahkan Hae Young tidak tahu yang mana. Bodoh sekali. Hae Young yang liar! Cantik tapi selalu mempermalukan keluarga. Penduduk desa mengusirnya selepas lulus SMA karena kedapatan menggoda anak tuan tanah, dia merantau ke Bussan dan Hae Deok sama sekali tak perduli waktu itu. Tapi sekarang lain, Hae Deok berpikir, seburuk-buruknya Hae Young, tetaplah adiknya.

Hae Deok merawat kehamilan adiknya itu. bersabar walau penduduk desa mencibirnya bahkan bersabar dengan ulah Hae Young karena setelah bayi itu lahir, adiknya itu tidak mau menyusui. Hae Young kecewa karena bayi itu laki-laki. Dia bahkan mengomel kalau-kalau bayi itu punya sifat seperti ayahnya yang hidung belang jika besar nanti.

Jangankan menyusui, menggendong bayi itu pun tidak pernah. Shin Hyun Kwang, nama itu diberikan oleh sang Kakek saat Hae Deok bingung-bingungnya karena Hae Young kabur lagi  dan keluarga suaminya menuntut hak warisan.

Mungkin ini kehendak tuhan, saat Hyun Kwang bayi menangis sekeras-kerasnya, Hae Deok menjulurkan payudaranya ke mulutnya dan bayi itu mulai menyesap. Ajaib! Air susunya keluar, berkali-kali Hae Deok mengucapkan syukur. Kesehatan bayi mungil itu berangsur membaik, bahkan tumbuh menjadi anak yang cerdas.

Sesekali, entah malaikat mana yang menempel di hatinya, membuat Hae young mengunjungi desanya kembali. Dia selalu membelikan oleh-oleh pada Hyun Kwang, mungkin dia sudah sadar dan Hae Deok bersyukur karenanya.

Hyun Kwang selalu memuji kalau Ibunya cantik. Cantik dan selalu berpakaian bagus. Dan Hae Young menjanjikan pendidikan yang lebih baik di Bussan. Entah apa maksudnya, Hae Deok berharap perkataan itu sungguh-sungguh. Anak secerdas Hyun Kwang memang harus meneruskan pendidikannya di kota. Bukan hanya stagnan di desa pegunungan seperti itu.

“Bibi…, aku lulus!” teriakan riang Kwang memenuhi rumah. Hae Deok memeluk bocah berusia lima belas tahun itu. Tahu kalau saat melepas Kwang ke Bussan hampir tiba. Kwang pasti akan melakukan niatannya, meneruskan sekolahnya di Bussan.

“Aku akan mencari Ibu. Ibu selalu bilang alamatnya di sini.” Kang menyodorkan secarik kertas pada Hae Deok. Mereka sedang berkemas untuk keberangkatan Hyun Kwang ke Bussan. Hae Deok menerima kertas itu lalu memasukkannya di saku kemeja Hyun Kwang. “Jaga tulisan ini baik-baik, Nak. Hanya ini yang bisa membawamu pada Ibumu.”

Hyun Kwang mengangguk dengan senyum di bibirnya. Di kepalanya sudah terbayang pertemuan dengan Ibunya. Bagaimana lega rasanya dipeluk Ibunya yang cantik. Sore itu Hae Deok mengantarkan kepergian Hyun Kwang dengan lambaian tangan di dermaga. Kapal penyeberangan itu semakin menjauh, membawa Hyun Kwang menjemput mimpi.

“Dan kau bertemu Ibumu?”

Kang menekuk siku lengannya, menjadikan telapak tangannya sebagai bantal. “Iya, dan sangat kacau! Alamat itu sebuah bar dengan beberapa kamar di tingkat tiga dan salah satunya ditinggali Shin Hae Young, Ibuku.” Kang kembali menelusuri ingatannya.

Saat menapaki bar itu. Tentu saja sepi karena dia sampai di pagi hari dan Bar hanya buka di malam hari.  Hyun Kwang remaja mengamati sekeliling interior bar itu. Beberapa pemabuk masih tertidur di sudut-sudut dan petugas berusaha mengusir. Hyun Kwang mendekati seorang wanita yang memberi perintah pada petugas itu. wanita dengan dandanan seronok tapi beraut kurang tidur, yang menatapnya dengan pandangan curiga.

“Apakah Shin Hae Young ada di sini? Dia memberikan alamat ini padaku?” Hyun Kwang mengulurkan secarik kertas yang selalu dipegangnya pada wanita itu.

Wanita seronok itu semakin memicingkan matanya dengan wajah yang semakin mendekat. “Kau! Siapa kau?”

“Saya Shin Hyun Kwang, anaknya,” Hyun Kwang menunduk sopan. Wanita itu memutar bola matanya bosan lalu memberi tanda dengan jarinya agar Kwang megikuti. Wanita itu berjalan tidak sabar dan mendumel. Hingga sampai di depan sebuah kamar, dia mengetok pintu dengan asal. “Hei…, Rose! Kau pikir Bar ini panti asuhan? Urus anakmu ini! Kau harus cari cara untuk membayar kamar ini, atau kalau tidak kau harus pergi dari sini!”

Tidak ada jawaban. Kwang menatap pintu itu bingung dan wanita itu semakin emosi. “Rose! Buka pintunya atau kudobrak!”

Gertakan itu berhasil. Pintu perlahan terbuka dan kepala berwajah pucat nongol setelah itu.  Wanita itu menunjuk pada Kwang. “Dia tidak bisa tinggal di sini! Ingat itu!”  Begitu  saja. Wanita itu pergi dan wanita berwajah pucat dari dalam kamar, yang Kwang kenali sebagai Ibunya menariknya ke dalam kamar. Hae Yeoung menutup pintu dibelakangnya lalu mencengkeram kuat lengan Hyun Kwang. “Mau apa kau ke sini?”

“Ibu… Aku lulus tingkat Yunior. Ibu janji mau menyekolahkanku di sini kalau lulus.”

Hae Young mendesis. Dia menegak dan berkacak pinggang. Bingung dengan janjinya sendiri. “Bodohnya kau mempercayai perkataanku.”

“Ibu… .”

Kwang merengek. Hae Young semakin bingung. Gelombang mual mulai naik dari perut menuju kerongkongannya. Dia tak tahan lagi dan lari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi perutnya di wastafel. Tidak ada yang keluar, hanya cairan kehijauan.

“Dasar laki-laki! Bisanya Cuma… Huek!” sekali lagi dia muntah di wastafel.

“Ibu sakit?” Kwang menepuk-nepuk punggung Hae Young. Tatapan Hae Young mengarah pada Kwang. Pandangan orang kebingungan. Sebentar lagi kandungannya pasti kelihatan dan.. Kwang… Oh, Kenapa juga anak ini ada di sini? Dia tidak bisa menggugurkan bayi ini. Dia memang pelacur, tapi dia bukan wanita yang tega menggugurkan kandungan. Bagaimana pun, bayi ini sudah menjadi bagian darinya. Sama seperti Hyun Kwang, dia tidak bisa tinggal di bar ini lagi.

Hae Young masuk kembali ke kamar, membuka lemari, menarik koper besar dan mulai berkemas.

“Ibu…, Ibu mau kemana?”

“Sudah diam, Kwang!” bentak Hae Young. “Kau tidak dengar apa yang dibilang wanita itu tadi? Kau tidak bisa tinggal di sini! Ibu juga tidak bisa tinggal di sini!”

“Kami hanya berjalan tak tentu arah di kota,” Suara Kang semakin menampakkan kesedihan. Camille mendekatinya, menepuk-nepuk pundaknya. Dia sudah duduk kembali di atas tempat tidur. Cerita itu masih panjang dan Camille masih menampakkan raut prihatin. “Oh, Kang. Bagaimana kau tahu?”

“Aku tahu… Ibu selalu menghindari tatapan mataku. Itu juga menandakan kalau Ibu juga bingung mau pergi kemana.”

 

Hae Young memang kebingungan. Hae Young tidak mungkin kembali lagi ke desa. Kakaknya pasti memberikan wejangan-wejangan yang membuat kupingnya panas. Penduduk desa pasti semakin mencibir. Sekali lagi dia kecolongan, dia tidak bisa mengingat pria yang memberinya benih. Dia yakin pria-pria itu memakai pengaman, atau mungkin ada salah satu yang sobek waktu itu? Ah, dia tidak tahu.

Sementara Kwang yang berjalan di sampingnya semakin kelelahan. Dia tahu itu. Anak itu sesekali memandang penuh tanya dan dia terpaksa menghindari tatapannya. Hingga saat dia melihat sebuah rumah kecil dengan tulisan ‘For Rent’ di pintunya, Hae Young tahu ini saatnya mereka berhenti. Rumah kecil itu berhasil mereka sewa. Tentu saja sangat jauh dari kata nyaman. Hanya ada sebuah kamar, sebuah ruang tamu yang seruangan dengan dapur dan kamar mandi. Hyun Kwang merasa rumahnya di desa malah lebih layak.

Seperti janjinya,  Hae Young menyekolahkan Hyun Kwang di sekolah gratis program pemerintah. Kondisi keuangan tidak memungkinkan Hyun Kwang terdaftar di sekolah favorit, ditambah kondisi kesehatan Hae Young yang semakin memburuk.

Mulanya Hyun Kwang mengira itu sakit biasa, tapi melihat perut ibunya yang semakin membesar, dia tahu kalau Hae Young sedang hamil. Dia sangat senang waktu pertama kali melihat itu, bahkan berusaha mengelus perut Hae Young tapi tangannya ditepis oleh Hae Young.

“Ibu, di dalam situ ada adikku,” Hyun Kwang merajuk sambil cemberut.

“Diam, kau, Kwang! Tidak usah mengurus Ibu!” hardik Hae Young. Dia menyesap rokoknya, mengepulkan asap di udara.

“Ibu…, Ibu tahu, kan… merokok bisa mencelakai adik?”

Hae Young mendelik. “Iya! Dan aku memang sengaja melakukannya. Apa perdulimu, Kwang! Sudah kubilang jangan mengurus Ibu!”

Hae Young masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya dari dalam. Dia menangis, menumpahkan semuanya di atas bantal. Hal ini terlalu berat baginya. Uang tabungannya semakin menipis dan dia tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Tapi Kwang tahu apa yang harus diperbuat. Ini waktunya mencari kerja. Ibunya tidak mungkin bekerja dalam kondisi seperti itu dan dia yang harus turun tangan. Sangat sulit mencari pekerjaan. Semuanya enggan menerima pekerja seumuran Kwang. Mereka tidak mau disalahkan jika mempekerjakan anak di bawah umur.

Hingga dia mengenal Tuan Bae, pemilik warung kelontong. “Kami tidak bisa menerimamu, Nak.” Dan Kwang pun berbalik lesu. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Istri Tuan Bae melihat kelesuhan Kwang, sambil menggendong anaknya yang masih berumur satu tahun, dia menghampiri suaminya, “Kasihani dia, Sayang. Setidaknya berikan dia pekerjaan paruh waktu.”

“Tapi…

Nyonya Bae memberikan tatapan meyakinkan dan Tuan Bae tidak bisa menolaknya. Akhirnya Tuan Bae memanggil Kwang yang belum jauh dari warungnya. “Hei, Kau! Kemari!”

Kwang menoleh. Sambil memastikan dialah satu-satunya orang yang dipanggil, dia mendekati Tuan Bae kembali.

“Kau bantulah aku setiap pulang sekolah. Tapi ingat! Jangan sampai prestasimu turun gara-gara bekerja di warungku! Aku tidak mau disalahkan karena itu.”

“Iya…, tentu saja, Tuan. Terima kasih.”

“Berteima kasihlah pada istriku. Kalau tidak karena wanita baik ini yang meyakinkanku, aku tidak akan menerimamu!”

Kwang membungkuk hormat pada Nyonya Bae. “Terima kasih, Nyonya. Terima kasih!”

Kwang adalah remaja yang ulet. Kejujurannya membuat Tuan Bae mengacungkan jempol. Prestasi di sekolahnya pun tidak menurun karena aktifitasnya di warung Tuan Bae. Saat ujian akhir semester, dia mendapat peringkat pertama. Nyonya Bae yang sedari awal tahu keadaan Kwang, begitu kagum dan menyuruh suaminya ke rumah Kwang, memberikan hadiah berupa bahan pangan padanya. Wanita itu sangat baik tapi begitu naif. Dia tidak sadar kalau sudah mengirim suaminya ke kandang ular.

Kwang tidak tahu bagaimana semuanya berawal. Yang dia tahu, Tuan Bae hanya sekali mengunjunginya, yaitu waktu mengantarkan bahan pangan atas suruhan istrinya dan Tuan Bae memang bertemu dengan Hae Young waktu itu. Tapi Kwang tidak tahu kalau Tuan Bae juga menemui Hae Young saat Kwang sekolah bahkan jika Kwang bertugas menjaga warungnya. Hingga Nyonya Bae tahu semuanya. Wanita yang biasanya baik budi itu marah dan mengarahkan warga untuk mengusir Hae Young dan Hyun Kwang.

Semuanya telah terjadi. Bukannya menyesal, Hae Young malah memaki Nyonya Bae. “Lihat saja dirimu! Pantas kalau suamimu mencariku! Makanya punya suami itu di jaga!”

Kwang menyeret Ibunya meninggalkan rumah dengan perasaan malu. Berkali-kali dia meminta maaf pada Nyonya Bae untuk kesalahan yang dia lakukan. Mereka harus menghindari amukan warga  dengan meninggalkan rumah kontrakan itu padahal waktu itu kandungan Hae Young sudah seperti meledak.

Camille mendengarkan semua itu dan tak habis pikir. “Dia menggoda Tuan Bae? Dia menggoda Tuan Bae dalam keadaan hamil? Hah?” Camille menggeleng-gelengkan kepala. Ingin rasanya tertawa tapi takut menyinggung Kwang.

“Itulah yang terjadi. Aku sangat malu pada Nyonya Bae. Aku sudah banyak berhutang budi padanya dan Ibuku malah berlaku seperti itu dengan suaminya.” Kwang menunduk.

“Itu bukan salahmu, Kang,” Camille memiringkan kepalanya, sekali lagi memberkan tatapan penuh perhatian.

“Ini cukup, Camille. Aku tidak mau bicara lagi.”

“Kenapa?”

“Kau pasti jijik padaku setelah ini.”

Camille mendorong pundak Kwang. “Jangan bodoh! Kenapa harus jijik?”

“Aku anak wanita penghibur.”

Camille memotong kalimat Kang. “Tapi kau bukan!”

Ya, walau pun kadang semua hal tentang Kang begitu menggoda. Ups! Bicara apa, aku?

“Ceritakan lagi.., apa yang terjadi setelah itu? Kalian kembali ke desa?” Camille masih saja penasaran. Wajah ovalnya  penuh rasa ingin tahu. Kedua tangannya memegang telapak tangan Kang. Camille belum mendengar Kang menyebut nama wanita, kekasih atau istri dan itu yang ditunggunya. Dia tidak tahu apakah Shin Hyun kWang akan mengakui begitu saja. mengakui kalau dia punya istri atau pun kekasih.

Kang menggeleng. “Kali ini aku yang kebingungan. Ibu masih saja mengomel sepanjang perjalanan. Ingin rasanya menyumpal mulutnya tapi itu tidak mungkin. Dia Ibuku.”

 

Hyun Kwang berjalan menyusuri malam dengan Hae Young yang masih mengomel di sampingnya. Keramaian Busan membuatnya tambah pusing. Dia tidak bisa berpikir jernih dengan Hae Young yang masih menyalahkan Nyonya Bae atas perselingkuhan suaminya.

“Ibu, aku mohon diamlah!” sudah hilang akal. Hyun Kwang membentak Hae Young. Ibunya menganga melihat tingkah lakunya. “Kau membentakku? Kau berani membentakku sekarang?”

Hyun KWang menelan ludah. Berusaha meredamkan emosi, dia terus berjalan, menggandeng tangan Hae Young. Hingga Hyun Kwang merasa jalan Hae Young semakin melambat, dia berhenti dan melihat Hae Young yang sudah merintih-rintih, membungkuk memegangi perut.

“Ibu…, Ibu kenapa?”

Hae Young terduduk di tanah. Mereka sudah sampai di jalan yang sepi. Tak ada seorang pun di situ dan Hae Young menahan kontraksi yang semakin lama semakin terasa.

“Adikmu… dia… dia…,” Hae Young bersuara di antara nafasnya yang turun naik. Dan kontraksi itu berhenti tapi Hae Young tahu kalau inilah saatnya. Dia menggenggam tangan Hyun Kwang dan memohon. “Nak, aku mohon carilah tempat bernaung agar Ibu bisa melahirkan.”

“Kita ke rumah sakit,” Hyun Kwang akan menarik lengan Hae Young di pundaknya tapi Hae Young mengibaskannya. “Kita tidak punya uang untuk membayar rumah sakit.”

“Tapi, Ibu…

“Cukup! Dengarkan kata Ibu! Ah..!”

Kontraksi  itu datang lagi. Kwang harus bertindak cepat. Dia merangkul Hae Young, memapahnya mencari tempat bernaung. Sebuah gudang tak terawat  di pinggiran kota terpilih sebagai tempat. Kwang membersihkan lantainya dan   Hae Young langsung berbaring di atasnya, menikmati kontraksi yang semakin lama semakin pendek jarak timbul-tenggelamnya.

“Ibu… apa yang harus aku lakukan?” Remaja sekecil itu menghadapi kelahiran sendirian tentu saja dia kebingungan.

“Diam saja di situ, Kwang,” Hae Young mengatur nafas. Jeda kontraksi datang dan dia agak menghela nafas sekarang tapi dia masih meringkuk, menahan rasa sakit di rahimnya dan pergerakan bayi yang dia rasakan semakin ke bawah. “Turunlah, Sayang… capai kebebasanmu,” Hae Young mendumel. Perkataan yang tidak bisa ditangkap Kang. Dia bisa mengingat semuanya sekarang, dia ingat bagaimana pergerakan bayi ketika melahirkan Kang dan dia bahkan ingat kapan harus mengejan. Ini belum saatnya. Waktu masih panjang, bahkan air ketubannya belum pecah.

“Kwang, kemarilah!”

Kwang mendekati Hae Young, memegang tangannya. “Ini saatnya kau melihat bagaimana dulu aku melahirkanmu. Ah… Huft! .. . Sama seperti adikmu… aku… aku tidak tahu … siapa ayahmu. Jangan coba mencarinya karena aku juga tidak…. .Ah!… .”

“Iya…, Iya, Ibu… aku tahu!” Kwang menangis melihat penderitaan Ibunya. Kenapa Ibunya harus mengungkit masalah itu sekarang? Kenapa?

“Kwang… kau… tahu… Tuan Bae… Bae… menjanjikan biaya persalinan untuk Ibu.” Wanita itu mendesis-desis menahan rasa sakit. Tulang punggungnya serasa mau lepa dari tulangnya. “Kwang.. kwang… bisakah… kau… pijat punggungku, Kwang…”

Kwang masih menangis. Tangannya terulur ke begian belakang Ibunya, memijat sepnjang tulang belakang Ibunya.

“Ya… benar… benar seperti itu…sshhh..,”

“Maafkan Ibu, Kwang. Ibu lemah dan membuatmu malu di depan NYonya Bae.”

“Ibu, sudahlah.”

Hae Young mendongak, menatap wajah putranya yang begitu baik hati. Putra yang sempat dia ingkari setelah kelahirannya. Dulu dia menyusahkan kakaknya saat melahirkan anak itu dan sekarang dia merepotkan anak itu karena kelahiran adiknya. “Kau anak baik, Kwang… Jagalah adikmu. Berjanjilah kau akan menjaga adikmu.. .”

“Ibu… Ibu…,” Hyun Kwang merasa perkataan Hae Young aneh. Kita akan menjaganya bersama-sama, Ibu. Kita akan kembali ke desa. Aku tidak perduli dengan pendidikanku lagi. Semuanya pasti bahagia jika kembali ke sana.

Saat Hae Young merasa tiba saatnya untuk mengejan. Hyun Kwang melihat sang Ibu berpacu dengan maut, mendorong keluar bayi itu. Bahkan remaja ini bisa merasakan rasa ngilu di perutnya. Teriakan Hae Young membuat kepalanya berdenyut, dan dia memeluk tubuh Hae Young yang semakin basah oleh keringat. Selalu mendorong sampai kepala bayi itu keluar.

“Oh, ya Tuhan… Ya, Tuhan..,” Hae Young terkejut melihat kepala bayi yang muncul lalu tertawa sesaat dan melihat wajah Kwang yang masih merangkulnya. “Kwang…, ke bawahlah, jika tangannya sudah terlihat… tarik dia keluar.”

“Tapi…

“Lakukan sekarang!”

Kwang tergagap dan beralih ke bawah Hae Young. Dia gugup karena Hae Young mendorong lagi dan kepala bayi itu berputar, membebaskan bahu dan tangannya yang akhirnya terlihat.

“Sekarang…Akh…,” sekali dorongan lagi dan Kwang menarik tubuh bayi itu keluar walau dengan tangan gemetaran. Malam ini serasa melelahkan bagi mereka berdua. Sebuah mimpi buruk bagi Kwang yang tidak boleh terulang lagi di masa depan. Kwang berjanji dalam hati.

“Itulah kenapa kau marah ketika kutanya pernah atau tidak melihat wanita melahirkan?” Camille manarik kesimpulan dari kisah masa lalu Kang. Pria itu mendongak, menghembuskan kekesalan di udara. “Adikku perempuan.”

Camille tersenyum. “Aku tahu itu, kau sudah mengatakannya.”

Kang menatap wajah Camille. Wajah yang lebih teduh dari sebelum-sebelumnya. Ada kesimpulan lain yang ditarik oleh wanita itu dan Kang tidak mungkin tahu sekarang.

“Tangisan Nam Yoen membuat semua orang tahu kehadirannya. Mereka mengevakuasi Ibu. Pendarahan setelah itu tak juga berhenti. Ibu meninggal seminggu kemudian.”

“Itu buruk, Kang.”

Kang menghela nafas lalu berbaring kembali. “Sudahlah, jika tidak begitu kami tidak kembali ke Jeju.”

“Bibimu pasti terkejut melihatmu pulang bersama bayi,” tebak Camille.

“Iya, tapi dia cukup pintar menebak kalau itu adikku. Pengumuman tentang sekolah pelayaran aku baca dari Koran sebulan setelah aku tiba di Jeju. Sekolah gratis, langsung disalurkan ke perusahaan pelayaran jika prestasimu bagus. Dan aku harus berusaha untuk itu. Aku berhasil. Perusahaan pelayaran raksasa mengkontrakku tiga tahun sebelum aku bergabung dengan Bouwens Inc.”

Camille pikir inilah saatnya, inilah saatnya mengetahui lebih lanjut kehidupan pribadi Kang jadi dia bertanya. “Lalu cerita selingan di antara usahamu itu?”

Kang tertawa mengejek. “Kau pikir apa? Menjalin hubungan dengan wanita-wanita penggoda macam Ibuku?”

“Jahat sekali kau menuduh dia wanita penggoda!”

Kang terkekeh. Camille mendorong lagi pundaknya. “Tidurlah!”

Camille mengangguk. Dia menuruti perintah Kang, berjalan ke tempat tidur dan berbaring.

“Kang… tidak ada wanita yang menunggumu, kan?”

Dahi Kang berkernyit mendengar pertanyaan Camile. Maksudnya?

“Kang,” wanita itu masih menuntut jawab. Walau berbaring, Camille masih menghadap pada Kang. Matanya yang lebar seakan bisa menembus keremangan goa.

Kang menghela nafas. “Ada, Bibi dan adikku.”

“Kalau kekasih atau istri?”

Apa? Wanita ini… gila!

“Itu tidak penting bagimu!”

“Jawab saja…, ada… atau tidak….”

Kang membalikkan badan dengan jengkel. Camille tersenyum penuh kemenangan. Kang belum mempunyai istri atau pun kekasih. Dia lega mengetahuinya. Tunggu! Kenapa harus lega? Memangnya itu penting? Benar kata Kwang, itu tidak penting bagimu!

Itu tidak penting bagimu, Camille… Itu tidak penting!

Sama sekali tidak penting!

 

BERSAMBUNG

akhirnya…. selesai juga part ini… membingungkan.. gua juga bingung… mungkin part ini akan mengubah pendapat kalian tentang Kang mau pun Charlie, tapi part ini memberi clue tentang Kang dan juga Robert Cassidy… jangan menebak-nebak karena aku tidak suka jika ceritaku ketebak. Ngok!