Goo Yo Won berjalan dengan mantap menuju kantornya. Para orang kepercayaannya, seperti biasa mengikuti dari belakang. Goo Yo Won adalah cerminan wanita yang berhasil dalam karier tapi kurang beruntung dalam urusan rumah tangga. Perceraian dengan Ayah Hye Na terkadang membuatnya sensitive jika ada orang yang menyinggung. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengurus perusahaan warisan keluarga demi melupakan kegagalannya itu. Tak dipungkiri, temperamennya yang keras mampu membuat perusahaan tua itu semakin meroket dan sifat kerasnya itu pula yang diwarisi Hye Na.
Gerakan anggun Goo Yo Won semakin kentara saat menduduki kursi kerjanya. Bak seorang permaisuri yang menduduki singgasana, nyaris tanpa cela sedikit pun bahkan saat semua pengikutnya duduk di tempat masing-masing hanya dengan anggukan kepalanya sebagai perintah.
“Ada masalah ?” tanya Yo Won pada akuntannya.
Jawaban takut-takut terlontar dari mulut akuntan itu. “Be…be.. gini, Nyonya. Hutang Nona Goo Hye Na sudah jatuh tempo.”
“Lalu?” Yo Won mulai membuka berkas yang disodorkan manajemen pemasarannya walau pun pertanyaan masih dia ajukan pada akuntannya.
“Saya sungkan memerintahkan debt collector buat menagih.”
Pandangan Yo Won beralih lagi pada sang akuntan. “Hutang tetaplah hutang. Kirim orang untuk mengingatkan kalau dia belum juga membayar.”
“Tapi, Nyonya. Dia itu putri anda.”
Yo Won menghela nafas. Tampak bosan dengan perdebatan itu. “Hye Na harus membayar pinjaman itu karena itu uang perusahaan.”
Akuntan itu mau tak mau mengangguk. Apalagi saat Yo Won mengibaskan tangan, memberi bahasa tubuh mengusir.
“Apalagi ini? Bagaimana bisa penjualan merosot drastis?” Saat akuntan itu membuka pintu, Yo Won mulai mengomeli manajer pemasarannya.
Perkenalkan, Goo Yo Won. Ibunda Hye Na dan Jae Min. Wanita bertangan besi dengan pandangan mata yang tajam. Tak ada yang berani menentang kehendaknya. Dia mempunyai instiusi bisnis yang tajam, tak seorang pun memungkiri hal itu. Masih keturunan ‘Penggede’ Yakuza di Jepang. Hal itulah yang membuat bisnisnya di Jepang lancar bagaikan air yang mengalir dan lawan-lawan bisnisnya semakin segan. Namun, sebenarnya Yo Won mempunyai sisi lembut yang selalu tampak sebelum bercerai dengan Ayah Hye Na.
Sikapnya ‘tanpa tedeng aling-aling’bisa terlihat saat akuntannya mengingatkan tentang hutang Hye Na tadi. Beberapa tahun yang lalu, Hye Na memang meminjam uang perusahaan karena perkiraannya terhadap suatu saham meleset. Setiap bulan, Yo Won mengirimkan debt collector ke apartemen Hye Na dan setiap bulan pula debt collector itu datang di hadapan Hye Na dengan perasaan sungkan.
He is My Brother
Cast :
Goo Hye Sun as Goo Hye Na
Choi Min Hwan as Goo Ryu Jin
Go Hyun Jung as Goo Yo Won
Choi Shi Won as Goo Jae Min
Kim Gab So as Kim Jae Joon
Won Bin as Yoon Ji Woon
Cameo:
Yoon Eun Hye as Uhm Sae Yon.
Hye Na mengeluarkan semua pakaian kotor dari dalam kamar. Ryu Jin baru saja keluar dari dalam kamar saat melihatnya begitu sibuk dengan buntalan besar itu.
“Apa itu?” tanya Ryu Jin sambil menunjuk buntalan besar.
“Kau pikir apa? Sudah pasti baju kotor.”
Mata Ryu Jin langsung terbelalak. “Sebanyak itu?”
Hye Na mengangguk sambil menaruh buntalan itu di lantai. Dia menuju ke handphone yang berada di atas meja untuk menghubungi layanan laundry apartemen.
“Hallo, ada banyak baju kotor di apartemen 213, tolong segera diambil,” perintahnya. Ryu Jin mengkernyitkan dahi.
“OKe! Seperti biasa, aku taruh di depan pintu,” kata Hye Na sebelum mematikan telephon.
“Kakak bicara dengan siapa?”
Hye Na menghempaskan pantatnya di sofa. “Petugas laundry,” jawabnya sambil menggapai majalah di meja.
“Buat apa ada mesin cuci kalau masih menghubungi laundry,” omel Ryu Jin sambil duduk disamping kakaknya.
“Ah, diam, kau! Badanku terlalu pegal buat mencuci. Sudah, angkut buntalan itu ke depan pintu masuk. Sebentar lagi petugas laundry datang.”
Ryu Jin bergerak malas melakukan perintah Hye Na. Pintu apartemen tertutup lagi dan Ryu Jin kembali duduk di samping Hye Na. “Kakak di rumah saja kalau minggu?”
“Hm,” Hye Na mengangguk saja. Pandangannya masih terkonsen pada bacaan di tangan.
“Membosankan kalau begitu,” desah Ryu Jin sambil merebahkan punggung di sandaran sofa.
“Apanya yang membosankan?” gumam Hye Na.
“Hidup kakak,” sahut Ryu Jin,.
“Membosankan bagaimana?”
“Ya, membosankan. Kerja dari Senin sampai Sabtu, Minggu hanya di rumah. Pantas saja sampai tua belum punya pacar.”
Cerocosan Ryu Jin membuat Hye Na naik pitam. “Apa kau bilang?” Hye Na menatap Ryu Jin secara tajam.
“Sampai tua belum punya pacar!” ulang Ryu Jin sambil nyegir.
“What ever you said!”
Ting tong! Bel apartemen berbunyi. “Tumben-tumbenan petugas laundry itu memencet bel,” pikir Hye Na.
“Bajunya sudah kukeluarkan, lho.”
“Ya…, siapa juga yang menyalahkanmu?”
Ting tong! Sekali lagi bel itu berbunyi. “Iya sebentar,” teriak Hye Na. dia lalu memerintah Ryu Jin, “Buka pintunya!”
“Uh, aku mlulu yang buka!” walau pun mengeluh, bocah ABG itu membuka pintu juga.
“Maaf, apakah Nona Goo ada?” tanya sang tamu saat Ryu Jin membukakan pintu.
“Siapa, kau?”
“Saya orang suruhan ibunya, untuk menagih hutang.”
Gubrak! Ryu Jin rasanya ingin pingsan sekarang juga.
Hari Kelima Bersama Adik ABG
“Jadi Kakak punya hutang pada Ibu Kakak dan musti membayar lima juta Won setiap bulannya?” tanya Ryu Jin saat debt collector sudah pergi dengan uang hasil tagihannya.
“Iya, memangnya kenapa?” Hye Na mengangguk mantap.
“Agak aneh melihat Ibu yang menagih hutang anaknya, biasanya sih, Ibu itu mengikhlaskan uang yang dipinjamkan pada anaknya.”
Hye Na melirik Ryu Jin, “He, tidak usah heran. Bisnis is bisnis. Lagi pula yang kupinjam adalah uang perusahaan jadi aku punya kewajiban mengembalikan.”
“Keluarga yang aneh,” desis Ryu Jin sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Dan kau bagian dari keluarga aneh itu,” Hye Na bangkit dari duduknya. “Sudahlah! Cepat ganti bajumu! Kita ke mall. Cari baju yang kira-kira keluaran terbaru untuk kau pakai. Bajumu terlihat kurang up date.”
“Hah! Benar, Kak?” Ryu Jin melonjak senang.
“Iya, masa bohong!”
“Tapi Kakak baru saja bayar hutang.”
“Aish! Aku masih punya simpanan!”
“Yes!” Ryu Jin mengepalkan tangannya di udara.
Ryu Jin semakin girang saat berada di pusat perbelanjaan. Semua baju yang terpajang inginnya diborong semua. Hye Na memilihkan model baju yang sekiranya cocok untuk anak SMU walau pun usia Ryu Jin masih empat belas tahun, terkadang adu pendapat menyilingi acara shoping.
“Aku tidak mau pakai yang terlalu resmi!” protes Ryu Jin.
“Satu atau dua baju resmi mungkin kau perlukan,” Hye Na pun tak mau kalah.
“Terserahlah, kau kan bosnya,” biasanya Ryu Jin mengatakan itu kalau sudah capek berdebat.
Yang tidak Ryu Jin sadari, pusat perbelanjaan itu merupakan salah satu anak bisnis perusahaan keluarga Goo. Tentu saja semua pegawai di situ mengkerutkan dahi saat melihat Nona muda mereka datang bersama anak ABG. Tidak ada yang bisa disalahkan. Bukankah mereka tidak tahu kalau Ryu Jin adalah tiri Hye Na? Bahkan ada yang berbisik-bisik tak jelas, berpikiran buruk kalau Hye Na tertarik pada bocah ingusan.
“Nona muda rupanya sangat suka daun hijau,” bisik salah satu pegawai pada rekannya.
“Biar awet muda, kali.” Seperti halnya gossip. Yang lain menggosok bahan omongan itu hingga makin panas dan sip. Apalagi saat mereka melihat kalau Hye Na yang ternyata mengelurkan kartu kredit demi membayar semua pengeluaran Ryu Jin. Wah, makin heboh.
“Work sheet-ku habis, belikan juga, dong!” Ryu Jin tanpa malu-malu meminta pada Hye Na.
“Oke, kita ke stand peralatan kantor,” Hye Na menyetujui permintaan Ryu Jin. Pegawai yang mendengar hal itu semakin heboh.
Siapa yang menjalani hidup, siapa pula yang heboh!
Bukan hanya worksheet yang mereka borong dari stand peralatan kantor, tapi Hye Na yang menyadari kalau persediaan kertasnya menipis, juga memborong berpak-pak kertas. Hye Na tampak kewalahan membawa belanjaannya, anehnya, dia menampik tawaran seorang pegawai untuk membantunya. Hye Na hanya menerima troli yang diberikan pegawai itu untuk mengangkut bawaannya.
“Ke foodcourt dulu, yuk! Lapar, nih!” ajak Hye Na. Ryu Jin yang bertugas mendorong troli Cuma bisa mengangguk.Mereka segera memasuki lift.
“Tunggu!” seorang pria menghentikan pintu lift yang sudah akan tertutup. Kakak-beradik yang sudah berada di dalam lift terkejut melihat pria itu.
“Kak Ji Woon?”
“Hye Na?”
“Siapa, kak?” seorang wanita bertanya pada Ji Woon, membuyarkan keterkejutan Hye Na dan Ji Woon karena pertemuan mendadak itu.
Greep! Wajah Ji Woon mendadak memucat. Hye Na memandangi wanita itu dari ujung rambut ke ujung kaki.
“Dia… dia Hye Na, teman kerjaku,” jawab Ji Woon gugup lalu menoleh pada Hye Na, “Hye Na… ini…
“AKu Sae Yon, kekasih Kak Ji Won,” potong wanita itu sambil mengulurkan jabat tangan. Dan lift yang bergerak ke lantai empat itu tiba-tiba bersuasana panas.
——————————–
“Jadi orang tua kalian menjodohkan kalian?” tanya Ryu Jin demi menegaskan kembali kabar yang dikatakan Sae Yon, beberapa menit setelah mereka duduk berempat di salah satu stand foodcourt.
“Iya, kami bahkan baru bertemu pagi tadi,” Sae Yon mengangguk riang. Hye Na dan Ji Woon sama-sama menunduk. Hye Na sudah kehilangan nafsu makannya. Dia hanya memainkan pasta yang dipesannya, memuntirk-muntirkan di garpu tanpa mau mendekatkannya ke mulut.
“Sepertinya kau sangat senang dengan perjodohan ini?”
“Tentu saja!” Sae Yon menoleh pada Ji Woon. “Siapa yang tidak suka jadi calon istrinya Kak Ji Woon?”
Hati Hye Na tambah panas mendengarnya. Ji Woon semakin menunduk, mati kutu di samping Hye Na.
“Oh, ya?” Ryu Jin menoleh pada Ji Woon lalu merangkul Hye Na. “Aku juga bangga bersama Hye Na kalau begitu.” Tindakan Ryu Jin yang tiba-tiba membuat Hye Na kaget.
Apa-apaan nih, bocah! Batin Hye Na. Ji Woon mendongak, menatap Kakak-beradik yang disangkanya sepasang kekasih itu.
“Iya, dong. Hye Na dan Kak Ji Woon kan setipe. Kalau kau saja bangga menjadi kekasih Ji Woon, aku juga bangga jadi… .”
“Au!” cerocosan Ryu Jin berubah jadi teriakan keras saat Hye Na menginjak kakinya.
“Kita pulang! Sudah larut malam!” tegas Hye Na sambil beranjak dari kursi. Mau tak mau Ryu Jin mengikuti Hye Na walau pun makanannya belum habis.
Perasaan Hye Na sungguh campur aduk. Dia tidak tahu bagaimana bisa mempunyai perasaan macam itu. bukankah selama ini dia dan Ji Woon hanya teman baik? Apakah rasa menghormati antar teman itu kini bisa berubah jadi rasa cinta? Hye Na merasa dikhianati, dia hanya diam saat mengendarai mobilnya. Ryu Jin rupanya cukup tahu kegalauan hati kakaknya. Dia memilih diam selama perjalanan pulang.
Bahkan saat sampai di apartemen, Ryu Jin hanya mengiyakan perintah Hye Na untuk memasukkan barang bawaan, tanpa mendebat seperti biasanya, sementara kakaknya itu segera memasuki kamar. Ryu Jin yakin di dalam kamar itu, Hye Na pasti menangis, tapi untuk sekedar mengetuk pintu kamar itu, Ryu Jin tidak berani. Dia mulai tahu karakter Hye Na yang menakutkan jika sedang marah.
Sedangkan Ji Woon dan Sae yon mengalami perjalanan pulang yang cukup sunyi juga. Sae Yon belum juga turun dari mobil walau pun sudah sampai di pelataran rumahnya. Dia memperhatikan perubahan sikap Ji Woon yang mendadak murung setelah bertemu Hye Na, dan dia mulai menyadari posisi Hye Na si hati pria itu.
“Kakak,” sapaan lirih Sae Yon membuat Ji Woon agak terkesiap. Suasana hening kembali. Sae Yon berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan.
“Apakah kakak mencintai Hye Na?” akhirnya kalimat itu yang Sae Yon pilih. Tak dipungkiri pikiran itu yang mengganggu otak Sae yon selama di perjalanan.
Ji Woon terdiam dan menundukkan kepala. Sepertinya dia bukanlah pria yang pandai berbohong. Ya, dia memang mencintai Hye Na.
“Tidak apa jika Kakak menolak perjodohan ini,” kata Sae Yon kemudian. Sae Yon tersenyum. “Seperti yang dikatakan Ryu Jin tadi, kakak dan Hye Na setipe. Jadi tidak salah, kan kalau aku berkesimpulan kalau kalian saling menyukai. Biasanya kemiripan selalu tarik-menarik.”
“Tapi Hye Na memilih Ryu Jin,” kilah Ji Woon. Sae Yon menertawakan kebodohan Ji Woon tadi. “Kakak terlalu lugu dalam bercinta, apakah Hye Na pernah berkata kalau dia mencintai Ryu Jin?”
“Tidak perlu kata-kata untuk…
“Ya, tidak perlu kata-kata. Sama seperti kejadian tadi. Hye Na dan kakak sama-sama bersedih mendengar rencana perjodohan kita. Tanpa kata-kata, aku bisa merasakannya. Kalian berdua sama-sama kecewa. Sama-sama merasa terkhianati. Sama-sama… Ah, entahlah.. galau mungkin?” Sae Yon nyegir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Kau mengatakan itu, seolah-olah perjodohan ini tak berarti apa-apa bagimu.”
“Well, anggap saja aku wanita modern yang tidak setuju dijodoh-jodohkan.”
“Jadi?”
Sae Yon menghela nafas, “Jadi, kejarlah Hye Na. Yakinkan cinta Kakak padanya. Katakan kalau Kakak mencintainya.”
“Lalu Ryu Jin?”
“Jangan jadikan Ryu Jin sebagai alasan kepengecutan Kakak,” bentak Sae Yon sambil mengacungkan telunjuk pada Ji Woon. Sae Yon mendesah lagi, lalu tangannya menggapai pembuka pintu mobil. “Oke, selamat berjuang, Pemabuk cinta.”
Sae yon keluar dari mobil Ji Woon lalu menutup pintunya kembali. “Masalah perjodohan tidak usah dipikirkan, aku akan bilang pada Ayah Ibu kalau aku tidak mau dijodohkan,” kata Sae Yon melalui jendela mobil yang disambut dengan senyuman lega dari Ji Woon sebelum melajukan mobilnya kembali.
—————————-
Hye Na terbangun dari tidurnya saat merasakan perutnya yang keroncongan. Pasta yang dipesannya di Foodcourt sama sekali tidak dia makan jadi pantas saja kalau kelaparan. Dengan langkah terseok, dia menuju dapur untuk membuat mie ramen. Pintu kamar Ryu Jin sudah tertutup rapat, mungkin anak itu sudah tertidur. Sambil sesekali menguap, Hye Na memanaskan air untuk menanak mie.
Dia berhenti sebentar mengamati bayangannya yang terpantul di panci. Matanya membengkak akibat menangis sebelum tidur tadi. Dia mulai merasakan lagi kesedihan karena Ji Woon dan dia mulai mengutuki perasaannya.
Hye Na bahkan tidak menuangkan mie yang sudah jadi itu ke dalam mangkok, melainkan langsung memakan dari panci, rasa frustasi dan lapar bercampur jadi satu, dia ingin menghilangkannya secepat mungkin. Tidak puas dengan satu porsi mie ramen, Hye Na membuka sebungkus lagi dan menanakkannya, begitu seterusnya sampai perutnya tidak lagi mampu menampung dan hampir muntah.
Saat sadar, tempat sampah di dapurnya sudah penuh dengan bungkus mie ramen. Hye Na merasa harus membuang sampah itu keluar dari apartemen sekarang juga karena besok dia pasti terburu-buru menuju kampus sementara Ryu Jin belum bisa diandalkan. Akhirnya Hye Na mengenakan jubahnya untuk keluar apartemen demi membuang sampah.
Suasana di pelataran gedung apartemen cukup sepi walau pun para penghuni apartemen yang lain ada yang belum mematikan lampu, bahkan sayup-sayup irama pesta terdengar. Maklum, mungkin mereka belum sadar, Minggu malam semakin merayap dan harus tidur menyambut Senin pagi yang sibuk. Hye Na meletakkan kantong plastik yang berisi sampah dari dapurnya bersama kumpulan sampah lain yang sudah ada di salah satu sudut pelataran lalu kembali menuju gedung apartemen.
Sekali lagi, heningnya suasana pelataran cukup bisa membuat Hye Na mendengar kalau ada seseorang yang mengutitnya. Hye Na menoleh ke belakang dengan dahi berkerut. Nihil, tak ada seorang pun di belakang. Hye Na mempercepat langkah, takut kalau-kalau yang mengutit adalah hantu mengingat cerita-cerita horror yang pernah diceritakan para penghuni apartemen yang lain tentang pelataran ini.
Hye Na terkesiap saat tiba-tiba lengan yang kekar melingkar di perutnya. Menariknya lebih dalam hingga punggungnya membentur dada yang begitu bidang. Hye Na agak panik namun kepanikan itu terhenti saat menoleh ke samping, melihat wajah orang yang memeluknya itu. Kehangatan udara berhembus dari hidung yang menempel di pipinya membuat Hye Na terhipnotis, apalagi saat orang itu membisikkan kalimat yang membuat Hye Na melayang,”Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.”
“Kakak,” Hye Na membalikkan badan, membalas pelukan itu dengan buraian air mata.
Katakan ini mimpi, tapi ini terlalu nyata untuk hanya menjadi sekedar mimpi. Biarkan aku melayang untuk saat ini. Sekali ini saja, biarkan aku melupakan hari esok.
BERSAMBUNG