He Is My Brother (part 5)

Goo Yo Won berjalan dengan mantap menuju kantornya. Para orang kepercayaannya, seperti biasa mengikuti dari belakang. Goo Yo Won adalah cerminan wanita yang berhasil dalam karier tapi kurang beruntung dalam urusan rumah tangga. Perceraian dengan Ayah Hye Na terkadang membuatnya sensitive jika ada orang yang menyinggung. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengurus perusahaan warisan keluarga demi melupakan kegagalannya itu. Tak dipungkiri, temperamennya yang keras mampu membuat perusahaan tua itu semakin meroket dan sifat kerasnya itu pula yang diwarisi Hye Na.

Gerakan anggun Goo Yo Won semakin kentara saat menduduki kursi kerjanya. Bak seorang permaisuri yang menduduki singgasana, nyaris tanpa cela sedikit pun bahkan saat semua pengikutnya duduk di tempat masing-masing hanya dengan anggukan kepalanya sebagai perintah.

“Ada masalah ?” tanya Yo Won pada akuntannya.

Jawaban takut-takut terlontar dari mulut akuntan itu. “Be…be.. gini, Nyonya. Hutang Nona Goo Hye Na sudah jatuh tempo.”

“Lalu?” Yo Won mulai membuka berkas yang disodorkan manajemen pemasarannya walau pun pertanyaan masih dia ajukan pada akuntannya.

“Saya sungkan memerintahkan debt collector buat menagih.”

Pandangan Yo Won beralih lagi pada sang akuntan. “Hutang tetaplah hutang. Kirim orang untuk mengingatkan kalau dia belum juga membayar.”

“Tapi, Nyonya. Dia itu putri anda.”

Yo Won menghela nafas. Tampak bosan dengan perdebatan itu. “Hye Na harus membayar pinjaman itu karena itu uang perusahaan.”

Akuntan itu mau tak mau mengangguk. Apalagi saat Yo Won mengibaskan tangan, memberi bahasa tubuh mengusir.

“Apalagi ini? Bagaimana bisa penjualan merosot drastis?” Saat akuntan itu membuka pintu, Yo Won mulai mengomeli manajer pemasarannya.

Perkenalkan, Goo Yo Won. Ibunda Hye Na dan Jae Min. Wanita bertangan besi dengan pandangan mata yang tajam. Tak ada yang berani menentang kehendaknya. Dia mempunyai instiusi bisnis yang tajam, tak seorang pun memungkiri hal itu. Masih keturunan ‘Penggede’ Yakuza di Jepang. Hal itulah yang membuat bisnisnya di Jepang lancar bagaikan air yang mengalir dan lawan-lawan bisnisnya semakin segan. Namun, sebenarnya Yo Won mempunyai sisi lembut yang selalu tampak sebelum bercerai dengan Ayah Hye Na.

Sikapnya ‘tanpa tedeng aling-aling’bisa terlihat saat akuntannya mengingatkan tentang hutang Hye Na tadi. Beberapa tahun yang lalu, Hye Na memang meminjam uang perusahaan karena perkiraannya terhadap suatu saham meleset. Setiap bulan, Yo Won mengirimkan debt collector ke apartemen Hye Na dan setiap bulan pula debt collector itu datang di hadapan Hye Na dengan perasaan sungkan.

He is My Brother

Cast :

Goo Hye Sun as Goo Hye Na

Choi Min Hwan as Goo Ryu Jin

Go Hyun Jung as Goo Yo Won

Choi Shi Won as Goo Jae Min

Kim Gab So as Kim Jae Joon

Won Bin as Yoon Ji Woon

Cameo:

Yoon Eun Hye as Uhm Sae Yon.

 Hye Na mengeluarkan semua pakaian kotor dari dalam kamar. Ryu Jin baru saja keluar dari dalam kamar saat melihatnya begitu sibuk dengan buntalan besar itu.

“Apa itu?” tanya Ryu Jin sambil menunjuk buntalan besar.

“Kau pikir apa? Sudah pasti baju kotor.”

Mata Ryu Jin langsung terbelalak. “Sebanyak itu?”

Hye Na mengangguk sambil menaruh buntalan itu di lantai. Dia menuju ke handphone yang berada di atas meja untuk menghubungi layanan laundry apartemen.

“Hallo, ada banyak baju kotor di apartemen 213, tolong segera diambil,” perintahnya. Ryu Jin mengkernyitkan dahi.

“OKe! Seperti biasa, aku taruh di depan pintu,” kata Hye Na sebelum mematikan telephon.

“Kakak bicara dengan siapa?”

Hye Na menghempaskan pantatnya di sofa. “Petugas laundry,” jawabnya sambil menggapai majalah di meja.

“Buat apa ada mesin cuci kalau masih menghubungi laundry,” omel Ryu Jin sambil duduk disamping kakaknya.

“Ah, diam, kau! Badanku terlalu pegal buat mencuci. Sudah, angkut buntalan itu ke depan pintu masuk. Sebentar lagi petugas laundry datang.”

Ryu Jin bergerak malas melakukan perintah Hye Na. Pintu apartemen tertutup lagi dan Ryu Jin kembali duduk di samping Hye Na. “Kakak di rumah saja kalau minggu?”

“Hm,” Hye Na mengangguk saja. Pandangannya masih terkonsen pada bacaan di tangan.

“Membosankan kalau begitu,” desah Ryu Jin sambil merebahkan punggung di sandaran sofa.

“Apanya yang membosankan?” gumam Hye Na.

“Hidup kakak,” sahut Ryu Jin,.

“Membosankan bagaimana?”

“Ya, membosankan. Kerja dari Senin sampai Sabtu, Minggu hanya di rumah. Pantas saja sampai tua belum punya pacar.”

Cerocosan Ryu Jin membuat Hye Na naik pitam. “Apa kau bilang?” Hye Na menatap Ryu Jin secara tajam.

“Sampai tua belum punya pacar!” ulang Ryu Jin sambil nyegir.

“What ever you said!”

Ting tong! Bel apartemen berbunyi. “Tumben-tumbenan petugas laundry itu memencet bel,” pikir Hye Na.

“Bajunya sudah kukeluarkan, lho.”

“Ya…, siapa juga yang menyalahkanmu?”

Ting tong! Sekali lagi bel itu berbunyi. “Iya sebentar,” teriak Hye Na. dia lalu memerintah Ryu Jin, “Buka pintunya!”

“Uh, aku mlulu yang buka!”  walau pun mengeluh, bocah ABG itu membuka pintu juga.

“Maaf, apakah Nona Goo ada?” tanya sang tamu saat Ryu Jin membukakan pintu.

“Siapa, kau?”

“Saya orang suruhan ibunya, untuk menagih hutang.”

Gubrak! Ryu Jin rasanya ingin pingsan sekarang juga.

Hari Kelima Bersama Adik ABG

“Jadi Kakak punya hutang pada Ibu Kakak dan musti membayar lima juta Won setiap bulannya?” tanya Ryu Jin saat debt collector sudah pergi dengan uang hasil tagihannya.

“Iya, memangnya kenapa?” Hye Na mengangguk mantap.

“Agak aneh melihat Ibu yang menagih hutang anaknya, biasanya sih, Ibu itu mengikhlaskan uang yang dipinjamkan pada anaknya.”

Hye Na melirik Ryu Jin, “He, tidak usah heran. Bisnis is bisnis. Lagi pula yang kupinjam adalah uang perusahaan jadi aku punya kewajiban mengembalikan.”

“Keluarga yang aneh,” desis Ryu Jin sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Dan kau bagian dari keluarga aneh itu,” Hye Na bangkit dari duduknya. “Sudahlah! Cepat ganti bajumu! Kita ke mall. Cari baju yang kira-kira keluaran terbaru untuk kau pakai. Bajumu terlihat kurang up date.”

“Hah! Benar, Kak?” Ryu Jin melonjak senang.

“Iya, masa bohong!”

“Tapi Kakak baru saja bayar hutang.”

“Aish! Aku masih punya simpanan!”

“Yes!” Ryu Jin mengepalkan tangannya di udara.

Ryu Jin semakin girang saat berada di pusat perbelanjaan. Semua baju yang terpajang inginnya diborong semua. Hye Na memilihkan model baju yang sekiranya cocok untuk anak SMU walau pun usia Ryu Jin masih empat belas tahun, terkadang adu pendapat menyilingi acara shoping.

“Aku tidak mau pakai yang terlalu resmi!” protes Ryu Jin.

“Satu atau dua baju resmi mungkin kau perlukan,” Hye Na pun tak mau kalah.

“Terserahlah, kau kan bosnya,” biasanya Ryu Jin mengatakan itu kalau sudah capek berdebat.

Yang tidak Ryu Jin sadari, pusat perbelanjaan itu merupakan salah satu anak bisnis perusahaan keluarga Goo. Tentu saja semua pegawai di situ mengkerutkan dahi saat melihat Nona muda mereka datang bersama anak ABG. Tidak ada yang bisa disalahkan. Bukankah mereka tidak tahu kalau Ryu Jin adalah tiri Hye Na? Bahkan ada yang berbisik-bisik tak jelas, berpikiran buruk kalau Hye Na tertarik pada bocah ingusan.

“Nona muda rupanya sangat suka daun hijau,” bisik salah satu pegawai pada rekannya.

“Biar awet muda, kali.” Seperti halnya gossip. Yang lain menggosok bahan omongan itu hingga makin panas dan sip. Apalagi saat mereka melihat kalau Hye Na yang ternyata mengelurkan kartu kredit demi membayar semua pengeluaran Ryu Jin. Wah, makin heboh.

“Work sheet-ku habis, belikan juga, dong!” Ryu Jin tanpa malu-malu meminta pada Hye Na.

“Oke, kita ke stand peralatan kantor,” Hye Na menyetujui permintaan Ryu Jin. Pegawai yang mendengar hal itu semakin heboh.

Siapa yang menjalani hidup, siapa pula yang heboh!

Bukan hanya worksheet yang mereka borong dari stand peralatan kantor, tapi Hye Na yang menyadari kalau persediaan kertasnya menipis, juga memborong berpak-pak kertas.  Hye Na tampak kewalahan membawa belanjaannya, anehnya, dia menampik tawaran seorang pegawai untuk membantunya. Hye Na hanya menerima troli yang diberikan pegawai itu untuk mengangkut bawaannya.

“Ke foodcourt dulu, yuk! Lapar, nih!” ajak Hye Na. Ryu Jin yang bertugas mendorong troli Cuma bisa mengangguk.Mereka segera memasuki lift.

“Tunggu!” seorang pria menghentikan pintu lift yang sudah akan tertutup. Kakak-beradik yang sudah berada di dalam lift terkejut melihat pria itu.

“Kak Ji Woon?”

“Hye Na?”

“Siapa, kak?” seorang wanita bertanya pada Ji Woon, membuyarkan keterkejutan Hye Na dan Ji Woon karena pertemuan mendadak itu.

Greep! Wajah Ji Woon mendadak memucat. Hye Na memandangi wanita itu dari ujung rambut ke ujung kaki.

“Dia… dia Hye Na, teman kerjaku,” jawab Ji Woon gugup lalu menoleh pada Hye Na, “Hye Na… ini…

“AKu Sae Yon, kekasih Kak Ji Won,” potong wanita itu sambil mengulurkan jabat tangan. Dan lift yang bergerak ke lantai empat itu tiba-tiba bersuasana panas.

——————————–

“Jadi orang tua kalian menjodohkan kalian?” tanya Ryu Jin demi menegaskan kembali kabar yang dikatakan Sae Yon, beberapa menit setelah mereka duduk berempat di salah satu stand foodcourt.

“Iya, kami bahkan baru bertemu pagi tadi,” Sae Yon mengangguk riang. Hye Na dan Ji Woon sama-sama menunduk. Hye Na sudah kehilangan nafsu makannya. Dia hanya memainkan pasta yang dipesannya, memuntirk-muntirkan di garpu tanpa mau mendekatkannya ke mulut.

“Sepertinya kau sangat senang dengan perjodohan ini?”

“Tentu saja!” Sae Yon menoleh pada Ji Woon. “Siapa yang tidak suka jadi calon istrinya Kak Ji Woon?”

Hati Hye Na tambah panas mendengarnya. Ji Woon semakin menunduk, mati kutu di samping Hye Na.

“Oh, ya?” Ryu Jin menoleh pada Ji Woon lalu merangkul Hye Na. “Aku juga bangga bersama Hye Na kalau begitu.” Tindakan Ryu Jin yang tiba-tiba membuat Hye Na kaget.

Apa-apaan nih, bocah! Batin Hye Na. Ji Woon mendongak, menatap Kakak-beradik yang disangkanya sepasang kekasih itu.

“Iya, dong. Hye Na dan Kak Ji Woon kan setipe. Kalau kau saja bangga menjadi kekasih Ji Woon, aku juga bangga jadi… .”

“Au!” cerocosan Ryu Jin berubah jadi teriakan keras  saat Hye Na menginjak kakinya.

“Kita pulang! Sudah larut malam!” tegas Hye Na sambil beranjak dari kursi. Mau tak mau Ryu Jin mengikuti Hye Na walau pun makanannya belum habis.

Perasaan Hye Na sungguh campur aduk. Dia tidak tahu bagaimana bisa mempunyai perasaan macam itu. bukankah selama ini dia dan Ji Woon hanya teman baik? Apakah rasa menghormati antar teman itu kini bisa berubah jadi rasa cinta? Hye Na merasa dikhianati, dia hanya diam saat mengendarai mobilnya. Ryu Jin rupanya cukup tahu kegalauan hati kakaknya. Dia memilih diam selama perjalanan pulang.

Bahkan saat sampai di apartemen, Ryu Jin hanya mengiyakan perintah Hye Na untuk memasukkan barang bawaan, tanpa mendebat seperti biasanya, sementara kakaknya itu segera memasuki kamar. Ryu Jin yakin di dalam kamar itu, Hye Na pasti menangis, tapi untuk sekedar mengetuk pintu kamar itu, Ryu Jin tidak berani. Dia mulai tahu karakter Hye Na yang menakutkan jika sedang marah.

Sedangkan Ji Woon dan Sae yon mengalami perjalanan pulang yang cukup sunyi juga. Sae Yon belum juga turun dari mobil walau pun sudah sampai di pelataran rumahnya. Dia memperhatikan perubahan sikap Ji Woon yang mendadak murung setelah bertemu Hye Na, dan dia mulai menyadari posisi Hye Na si hati pria itu.

“Kakak,” sapaan lirih  Sae Yon membuat Ji Woon agak terkesiap. Suasana hening kembali. Sae Yon berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan.

“Apakah kakak mencintai Hye Na?” akhirnya kalimat itu yang Sae Yon pilih. Tak dipungkiri pikiran itu yang mengganggu otak Sae yon selama di perjalanan.

 Ji Woon terdiam dan menundukkan kepala. Sepertinya dia bukanlah pria yang pandai berbohong. Ya, dia memang mencintai Hye Na.

“Tidak apa jika Kakak menolak perjodohan ini,” kata Sae Yon kemudian. Sae Yon tersenyum. “Seperti yang dikatakan Ryu Jin tadi, kakak dan Hye Na setipe. Jadi tidak salah, kan kalau aku berkesimpulan kalau kalian saling menyukai. Biasanya kemiripan selalu tarik-menarik.”

“Tapi Hye Na memilih Ryu Jin,” kilah Ji Woon. Sae Yon menertawakan kebodohan Ji Woon tadi. “Kakak terlalu lugu dalam bercinta, apakah Hye Na pernah berkata kalau dia mencintai Ryu Jin?”

“Tidak perlu kata-kata untuk…

“Ya, tidak perlu kata-kata. Sama seperti kejadian tadi. Hye Na dan kakak sama-sama bersedih mendengar rencana perjodohan kita. Tanpa kata-kata, aku bisa merasakannya. Kalian berdua sama-sama kecewa. Sama-sama merasa terkhianati. Sama-sama… Ah, entahlah.. galau mungkin?” Sae Yon nyegir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Kau mengatakan itu, seolah-olah perjodohan ini tak berarti apa-apa bagimu.”

“Well, anggap saja aku wanita modern yang tidak setuju dijodoh-jodohkan.”

“Jadi?”

Sae Yon menghela nafas, “Jadi, kejarlah Hye Na. Yakinkan cinta Kakak padanya. Katakan kalau Kakak mencintainya.”

“Lalu Ryu Jin?”

“Jangan jadikan Ryu Jin sebagai alasan kepengecutan Kakak,” bentak Sae Yon sambil mengacungkan telunjuk pada Ji Woon. Sae Yon mendesah lagi, lalu tangannya menggapai pembuka pintu mobil. “Oke, selamat berjuang, Pemabuk cinta.”

Sae yon keluar dari mobil Ji Woon lalu menutup pintunya kembali. “Masalah perjodohan tidak usah dipikirkan, aku akan bilang pada Ayah Ibu kalau aku tidak mau dijodohkan,” kata Sae Yon melalui jendela mobil yang disambut dengan senyuman lega dari Ji Woon sebelum melajukan mobilnya kembali.

 

—————————-

Hye Na terbangun dari tidurnya saat merasakan perutnya yang keroncongan. Pasta yang dipesannya di Foodcourt sama sekali tidak dia makan jadi pantas saja kalau kelaparan. Dengan langkah terseok, dia menuju dapur untuk membuat mie ramen. Pintu kamar Ryu Jin sudah tertutup rapat, mungkin anak itu sudah tertidur. Sambil sesekali menguap, Hye Na memanaskan air untuk menanak mie.

Dia berhenti sebentar mengamati bayangannya yang terpantul di panci. Matanya membengkak akibat menangis sebelum tidur tadi. Dia mulai merasakan lagi kesedihan karena Ji Woon dan dia mulai mengutuki perasaannya.

Hye Na bahkan tidak menuangkan mie yang sudah jadi itu ke dalam mangkok, melainkan langsung memakan dari panci, rasa frustasi dan lapar bercampur jadi satu, dia ingin menghilangkannya secepat mungkin. Tidak puas dengan satu porsi mie ramen, Hye Na membuka sebungkus lagi dan menanakkannya, begitu seterusnya sampai perutnya tidak lagi mampu menampung dan hampir muntah.

Saat sadar, tempat sampah di dapurnya sudah penuh dengan bungkus mie ramen. Hye Na merasa harus membuang sampah itu keluar dari apartemen sekarang juga karena besok dia pasti terburu-buru menuju kampus sementara Ryu Jin belum bisa diandalkan. Akhirnya Hye Na mengenakan jubahnya untuk keluar apartemen demi membuang sampah.

Suasana di pelataran gedung apartemen cukup sepi walau pun para penghuni apartemen yang lain ada yang belum mematikan lampu, bahkan sayup-sayup irama pesta terdengar. Maklum, mungkin mereka belum sadar, Minggu malam semakin merayap dan harus tidur menyambut Senin pagi yang sibuk. Hye Na meletakkan kantong plastik yang berisi sampah dari dapurnya bersama kumpulan sampah lain yang sudah ada di salah satu sudut pelataran lalu kembali menuju gedung apartemen.

Sekali lagi, heningnya suasana pelataran cukup bisa membuat Hye Na mendengar kalau ada seseorang yang mengutitnya. Hye Na menoleh ke belakang dengan dahi berkerut. Nihil, tak ada seorang pun di belakang. Hye Na mempercepat langkah, takut kalau-kalau yang mengutit adalah hantu mengingat cerita-cerita horror yang pernah diceritakan para penghuni apartemen yang lain tentang pelataran ini.

Hye Na terkesiap saat tiba-tiba lengan yang kekar melingkar di perutnya. Menariknya lebih dalam hingga punggungnya membentur dada yang begitu bidang. Hye Na agak panik namun kepanikan itu terhenti saat menoleh ke samping, melihat wajah orang yang memeluknya itu. Kehangatan udara berhembus dari hidung  yang menempel di pipinya membuat Hye Na terhipnotis, apalagi saat orang itu membisikkan kalimat yang membuat Hye Na melayang,”Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.”

“Kakak,” Hye Na membalikkan badan, membalas pelukan itu dengan buraian air mata.

Katakan ini mimpi, tapi ini terlalu nyata untuk hanya menjadi sekedar mimpi. Biarkan aku melayang untuk saat ini. Sekali ini saja, biarkan aku melupakan hari esok.

BERSAMBUNG

He is My Brother (part 3)

“Ah !” desis Hye Na, menahan perih di tangan kanannya yang kini sedang diobati Yumi, adik iparnya. Setelah aksinya memukul Jun Pyo tadi, Hye Na langsung ke apartemen Jae Min agar Yumi bisa mengobati memar di tangan kanannya akibat berbenturan dengan cuping hidung Jun Pyo. Maklum, Yumi adalah perawat. “Aush, sakit sekali,” keluh Hye Na lagi.

Yumi jadi merasa bersalah. “Maaf, kakak. Terlalu keras, ya?”

Hye Na mengangguk. Jae Min yang duduk di sofa, berseberangan meja dengan mereka memonyongkan bibir. “Makanya, jangan sok jadi jagoan. Pake acara mukul hidung orang segala.”

“Diam, kau!” bentak Hye Na. Rasa perih melanda lagi saat Yumi meneteskan larutan Iodin pada memarnya. “Aduh,” terpaksa Hye Na meringis lagi. Yumi pun sementara berhenti meneteskan larutan Iodin itu.

Merasa gemas, Jae Min mencolek tangan Hye Na tepat di memarnya sambil menyelutuk, “Begini saja manja!”

“Au!” tentu saja Hye Na tambah menjerit.

“Au!” giliran Jae Min yang menjerit  karena Yumi mencubitnya. “Sayang, kenapa malah mencubitku?”

“Kamu tidak sopan, tahu kakak sedang kesakitan malah bercanda,” kilah Yumi.

“Habisnya dia manja sekali.”

“Aish! Kau memang adik yang tidak pengertian dan sungguh kasar,” kata Hye Na. Dia lalu menoleh pada Yumi. “Aku heran, kenapa kau yang lembut ini bisa jatuh cinta sama pria sekasar ini, Yumi?”

“Ah, itu sih jodoh!” sahut Jae Min tanpa memberi celah pada Yumi yang sekarang ini tampak malu-malu kucing.

“Oh, ya? Jodoh atau bodoh?” pertanyaan Hye Na itu ditujukan pada Yumi. Merasa tak terima, Jae Min tambah sewot, “Ah, kakak… kenapa harus mengejek kami di rumah kami sendiri?” protesnya.

“Sayang!” Jae Min memanggil Yumi kemudian,”Sudah sana! Siapkan makan siang! Jangan mengurus anak manja ini terus-terusan,” suruhnya.

Hye Na tertawa cekikikan. Yumi memberesi kotak P3K lalu ngeloyor ke dapur. Hye Na meniup-niup luka tangannya yang kini tampak coklat karena Iodine itu. Setelah meyakinkan diri kalau mereka hanya berdua saja di ruang tamu yang sempit itu, Jae Min mulai bicara,”Kenapa kakak percaya sekali pada anak itu?”

“Maksudmu?” Mata Hye Na menyipit dan berhenti meniupi lukanya.

“Dia bilang Jun Pyo menjelek-jelekkan Ayah, lalu Kakak percaya dan memukul Jun Pyo,” jelas Jae Min.

“Memangnya kenapa?” Hye Na jadi tambah tidak mengerti.

“Ayolah, Kak. Ini bukan Kakak banget. Kakak selalu melihat segala sesuatunya dari dua sisi.” Jae Min pun menunjuk-nunjuk keningnya,”Selama ini kakak selalu menggunakan ini,” katanya. Lalu telunjuknya turun ke dada, “Dari pada ini,” lanjutnya.

“Jadi menurutmu, aku sudah kehilangan kerasionalanku?”

Jae Min menggedikkan pundak. “Mungkin saja.”

“Jadi kau berpikir mungkin saja dia berbohong?”

“Mungkin saja,” Jae Min tersenyum tipis saat melakukan itu. Jae Min lalu teringat hal yang mengganjal di hatinya saat perjalanan dari apartemen Hye Na kemaren. “Oh, iya, Kak. Aku juga berpikir kalau kita terlalu bodoh. Kenapa kita percaya begitu saja perkataan pengacara itu kalau Ryu Jin adalah anak Ayah tanpa konfirmasi dulu?”

“Apa maksudmu? Jadi kau ragu kalau Ryu Jin bukan anak Ayah?”

“Iya,” Jae Min lalu mendesah,”Bukan begitu, Kak. Ah, susah menjelaskannya!”

“Kau ini aneh. Seharusnya kau yang lebih tahu dia anak Ayah atau bukan, kau yang selama kuliah mengunjungi Ayah ke Jeju seminggu sekali,” protes Hye Na.

Jae Min tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Dan Kakak percaya begitu saja kalau aku benar-benar ke Jeju?”

“Jadi kau tidak pernah ke Jeju?” pasti Hye Na.

“Kalau aku ke Jeju setiap minggu, sudah pasti aku tidak mendapatkan Yumi dan Hye Mi – Hye Ri tidak mungkin  lahir secepat itu,” jawab Jae Min, bangga.

“Dasar!” Hye Na memukul dada Jae Min. “Jadi kau tidak pernah bertemu Ryu Jin sebelumnya?” tanya Hye Na yang diberi jawaban oleh Jae Min dengan sebuah anggukan.

“Yang lebih mengherankan lagi, Kak, jika benar Ryu Jin anak ayah, kenapa Ayah tidak segera menikahi Ibunya? Kenapa membiarkan hubungan mereka tetap menggantung?  Bukankah itu merugikan bagi status Ryu Jin?”

Di sini Hye Na mulai berpikir. Argument Jae Min benar. Semenjak orang tuanya bercerai, Hye Na tidak pernah mengunjungi Ayahnya, sementara Jae Min yang diyakininya mengunjungi sang Ayah sekali seminggu, rupanya hanya alasan saja untuk berpacaran dengan Yumi. Jadi, bagaimana bisa mereka percaya begitu saja kalau Ryu Jin adalah anak Goo Bon Hyung, ayah mereka?

“Hanya ada satu cara untuk membuktikan dia anak ayah atau bukan,” gumam Hye Na. Jae Min mengangguk yakin. “Tes DNA,” ujarnya.

Kepala Hye Na menggeleng lemah, “Ah, tidak… .”

“Kenapa, Kak?”

“Aku, aku tidak tega melakukan itu padanya.”

“Melakukan apa?”

“Apa yang harus aku katakan padanya? Memintanya melakukan tes DNa dan bilang kalau aku tidak percaya dia adikku?” Hye Na jadi ragu. “Tidak! Aku tidak tega.”

“Tapi mau tidak mau, kita harus melakukannya, Kak. Harus!” Jae Min sangat ingin meyakinkan Hye Na agar melakukan tes DNA itu.

“Ah, sudahlah! Kita pikirkan itu nanti. Aku ada kelas jam satu siang. Sekarang, mana anak itu?” Hye Na mengitarkan pandangan di sekitar ruangan.

“Terakhir, aku melihatnya di kamar Hye Mi – Hye Ri,” jawab Jae Min.

—-He is My Brother—-

Hal yang paling membuat Hye Na muak adalah kehidupan ayahnya, Goo Bon Hyung, sang aktor kawakan yang digilai oleh banyak wanita itu. Seminggu yang lalu Hye Na dikejutkan oleh kabar kematian sang Ayah akibat kecelakaan bersama wanita simpanannya. Dan kini dia dikejutkan oleh kehadiran Goo Ryu Jin, anak sang ayah dengan wanita simpanannya itu. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Cast :

Goo Hye Sun as Goo Hye Na

Choi Min Hwan as Goo Ryu Jin

Go Hyun Jung as Goo Yo Won

Choi Shi Won as Goo Jae Min

Kim Gab So as Kim Jae Joon

Won Bin as Yoon Ji Woon

Additional Cast :

Kim Soe Oen as Choi Yumi (Goo Jae Min’s  wife)

Hye Na berjalan menuju kamar kedua keponakannya. Jae Min bilang dengan sangat jelas kalau Ryu Jin ada di sana. Hye Na melewati koridor sempit menuju kamar itu. Apartemen Jae Min yang sempit, terlihat rapi karena ketelatenan Yumi menata dan membersihkan ruangan. Hye Na sadar benar kalau kehidupan Jae Min sangat sederhana jika dibandingkan dirinya. Beberapa kali Hye Na menawarkan bantuan pada Jae Min, namun rasa gengsi Jae Min terlalu tinggi sehingga menolak bantuan itu. Jae Min selalu bilang, pantang bagi pria yang sudah berumah tangga menerima uang dari orang tua, apalagi dari kakak perempuannya. Hye Na juga sadar keberadaan Yumi bisa merubah sifat Jae Min yang suka foya-foya itu menjadi pribadi yang betah hidup di apartemen sempit berkamar dua dan menjadi pria rumahan.

Hye Na sengaja tidak langsung masuk ke kamar si kembar, Hye Mi dan Hye Ri. Dia berdiri di depan pintu yang setengah terbuka itu, mengintip yang terjadi di dalam kamar. Dari situ terlihat Ryu Jin yang bergulat, melakukan permainan ‘Smackdown’ dengan kedua keponakannya di atas ranjang. Si kembar tertawa-tawa dan sesekali menjerit-jerit.

Ryu Jin pura-pura ambruk di ranjang. Lawannya, kedua gadis cilik itu, tidak berhenti malah memukul-mukul kepalanya dengan bantal. Ryu Jin pura-pura tak bergerak, Hye Mi memberi isyarat agar Hye Ri berhenti memukul. Mereka mencolek-colek lengan Ryu Jin, lalu tertawa cekikikkan dan berbisik-bisik kalau lawannya mati.

Tiba-tiba Ryu Jin bangkit dan berdiri di atas ranjang. “Hoa! Si manusia hijau, Hulk datang!” suara Ryu Jin sengaja diubahnya menjadi agak serak.

Gubrak! Hye Na hampir saja terjengkang melihatnya.

Si kembar Hye Mi dan Hye Ri meloncat-loncat, menghindar dari ‘Hulk yang sedang ngamuk’ saat Ryu Jin berjalan di atas ranjang dengan kaki terkangkang dan kedua tangan yang sesekali memukul-mukul dada supaya kelihatan seperti Hulk, padahal menurut Hye Na, cara berjalan Ryu Jin jadi lebih mirip gorilla yang mengamuk. Membayangkan semua itu, Hye Na cekikikan sendiri di balik pintu.

Hup! Hye Ri tertangkap oleh ‘Hulk yang mengamuk’. Hye Mi memukul-mukul Ryu Jin dengan bantal agar melepaskan Hye Ri yang menjerit-jerit. Bukannya dilepaskan, Hye Ri dibaringkan di ranjang lalu digelitiki sampai terpingkal-pingkal dan perutnya terasa kaku. Melihat kembarannya seperti itu, Hye Mi berhenti memukuli Ryu Jin, malah membantu Ryu Jin menggelitiki Hye Ri.

Mereka sangat gembira tapi sayangnya Hye Na harus menghentikan kegembiraan itu. Dia harus mengajar jam satu siang dan Ryu Jin harus segera diantar ke apartemen untuk mengerjakan tugas hukuman yang diberikan wali kelasnya. Hye Na memasuki kamar dan berdehem untuk menghentikan acara bergulat mereka. Ryu Jin berhenti menggelitiki Hye Ri, dan si kembar mulai berhenti tertawa.

“Ryu Jin, waktunya pulang,” kata Hye Na sambil menunjukkan arlojinya.

“Yah, Tante… Kak Ryu Jin ditinggal sini saja,” protes Hye Mi. Hye Ri yang masih merasakan perutnya kaku hanya bisa merengut.

“Sory, anak-anak, tapi Paman Ryu Jin. Ingat! Paman bukan Kakak! Paman Ryu Jin harus dihukum untuk mengerjakan tugas,” kata Hye Na.

“Memangnya tugas apa, sih? Kan Kakak, eh, Paman bisa mengerjakan di sini,” Hye Mi masih tetap mempertahankan keberadaan Ryu Jin di apartemen itu. Hye Ri sekali lagi tidak berkata apa-apa, Cuma mengangguk untuk menguatkan perkataan kembarannya.

Hye Na pura-pura merengut agar si kembar memberikan rasa pengertian padanya, padahal dalam hati geli juga melihat tingkah balita-balita itu.

Ryu Jin tertawa melihat kelakuan tiga orang di depannya. Dia mengulurkan tangan kanannya pada Hye Ri lalu mengulurkan pula tangan kirinya pada Hye Mi. Kedua gadis cilik itu menggapai uluran tangan Ryu Jin. Ryu Jin menarik mereka berdua agar mendekat, lalu memeluk keduanya dengan erat. “Adik-adik yang manis, sekarang waktunya bagi Paman untuk pulang. Janji, deh…. Kapan-kapan pasti ke sini lagi,” katanya untuk meredam kekecewaan si kembar.

“Benarkah?” tanya Hye Ri. Ryu Jin mengangguk, “Tentu, Bos!”

“Janji, lho…,” Hye Mi mengangkat kelingking kanannya. Ryu Jin mengaitkan jari kelingkingnya ke kelingking Hye Mi. “Janji.”

“Ayo, Ryu Jin. Aku harus mengajar jam satu siang,” Hye Na ingin agar Ryu Jin segera beranjak. Ryu Jin melepas si kembar lalu menarik ranselnya yang tergeletak di lantai.

Mereka meninggalkan apartemen Jae Min dengan diantar si kembar dan orang tuanya sampai pelataran parkir

“Ayo, dada pada Paman,” kata Yumi pada kedua anaknya.

“Dada!” sorak mereka berempat sama-sama.

Ryu Jin dan Hye Na yang sudah berada di dalam mobil membalas lambaian tangan keluarga kecil itu. Lambat namun pasti, mobil Hye Na meninggalkan keluarga Jae Min dibelakangnya.

Hari Ketiga bersama Adik ABG

Hye Na mulai membuka matanya saat remang-remang mentari pagi mulai merambati celah-celah korden di jendela kamarnya. Dengan sedikit menguap dan meliukkan punggung, dia bisa merasakan kantuknya mulai hilang dan berjalan menuju kamar mandi. Dia menjalani rutinitas pagi seperti biasa, mandi pagi kemudian berdandan. Namun dia merasakan ada sesuatu yang aneh. Ada sesuatu yang hilang.  Hye Na menepuk jidat setelah menyadari sesuatu yang hilang itu adalah ribut-ribut di dapur kemaren.

“Ryu Jin,” gumam Hye Na lalu keluar kamar untuk bergegas ke dapur dengan setengah berlari.

“Pagi!” sapa Ryu Jin saat Hye Na sampai di dapur. Anak itu masih mengenakan piyama seperti kemaren, menikmati susu hangat dan roti bakar. Dia menghentikan aktifitasnya saat mendapati Hye Na berdiri terpaku menatapnya. “Hei! Kenapa melihatku seperti melihat hantu!”

“Kau tidak memporak-porandakan dapur?” tanya Hye Na.

Ryu Jin tertawa. “Aku ingin sarapan roti bakar pagi ini. Kalau roti bakar, sih… aku bisa membuatnya tanpa mengacaukan dapur. Aku juga membuatkan untukmu. Tuh!” Ryu Jin menunjuk roti bakar yang dibuatnya untuk Hye Na.

Hye Na mengacungkan ibu jarinya lalu duduk mendepani roti bakar yang ditunjuk Ryu Jin. Dia  mulai memegang pisau dan garpu, lalu sedikit memotong roti untuk dicicipi. Agak ragu Hye Na memasukkan potongan roti itu ke dalam mulut. Ryu Jin memberi isyarat agar Hye Na segera merasakan roti itu. Akhirnya roti bakar itu masuk mulut juga, Hye Na manggut-manggut. “Lumayan,” katanya. “Terlalu banyak mentega, sih… tapi untungnya aku suka  asin, jadi fine-fine saja.”

“Apa kubilang, Goo Ryu Jin gitu, loh.” Ryu Jin menepuk dada.

“Oh, ya… pagi ini, aku akan mengantarmu ke Shinwa,” kata Hye Na.

“Benarkah?” Mata Ryu Jin melebar mendengarnya. Dia merasa senang karena tidak harus menunggu bis di halte. Hye Na mengangguk. “Cepat selesaikan makanmu. Aku ada kelas jam delapan pagi, jangan sampai aku terlambat karena mengantarmu yang lelet,” suruh Hye Na.

“Oke, Bos!” sekali lagi, Ryu Jin menghormati Hye Na layaknya militer seperti kemaren, lalu cepat-cepat menghabiskan sarapannya agar bisa segera mandi.

Hye Na geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Ryu Jin benar-benar ABG yang konyol. Hanya niat untuk mengantarkannya ke sekolah, Ryu Jin sudah sesenang itu. Hye Na merasakan kalau Ryu Jin seperti orang yang belum pernah merasakan kasih sayang dan tiba-tiba kejatuhan kasih sayang yang bertumpuk sehingga begitu kegirangan. Ryu Jin bahkan lari ke kamarnya dan sudah bergabung dengan Hye Na di ruang tamu lima belas menit kemudian setelah siap dengan memakai seragam dan menggendong tas ranselnya.

“Kunci pintunya!” perintah Hye Na. Ryu Jin malah dengan patuh melakukan perintahnya. Kenapa dia sekarang jadi berlaku manis seperti ini? Hye Na jadi semakin tidak tega mengatakan niatannya. Bahwa dia ingin Ryu Jin melakukan tes DNA, bahwa dia meragukan Ryu Jin sebagai adiknya bahkan ingin sekali agar tes itu dilakukan pagi ini.

“Mobil kakak bagus!” puji Ryu Jin saat mereka sudah berada dalam perjalanan menuju Shinwa. Hye Na hanya diam. Bukan hanya Ryu Jin yang memuji mobilnya, rekan-rekan dosennya pun juga memujinya. Hye Na mendapatkan kemewahannya dengan kerja keras. Gaji sebagai dosen lulusan master belum bisa memberikan kemewahan semacam itu, jadi, kebanyakan dari hasilnya bermain saham di bursa efek.

“Oh, ya. Kenapa kakak bisa hidup kaya raya seperti ini padahal kak Jae Min tidak?” tanya Ryu Jin.

Hye Na tersenyum mendengarnya. Semua ini adalah pilihan. Pilihannya adalah sebagai wanita karier dan karena pilihan itu, dia harus rela adiknya menikah duluan, menyalipnya yang tidak segera menentukan pria pilihan. Sedangkan Jae Min… pilihannya adalah berfoya-foya dan menikah karena harus bertanggungjawab walau pun pada akhirnya dia harus hidup sederhana dalam membangun rumah tangga itu. Hye Na tidak menjawab. Biarlah Ryu Jin menilai sendiri.

“Ryu Jin, kau tahu kenapa aku ingin mengantarmu?” Hye Na sengaja mengalihkan pembicaraan.

“Tidak,” Ryu Jin menggeleng, dia tiba-tiba menebak-nebak alasan Hye Na mengantarnya. “Aaaa…, Kakak takut kalau aku berkelahi lagi?”

“Tidak!”

“Ah, Iya. Jangan kawatir, aku tidak akan melayani anak tengil itu lagi. Tugas hukuman juga sudah aku selesaikan.”

Hye Na mendesah. “Anak tengil? Apa benar anak tengil itu menghina ayah?” tanya Hye Na.

Ryu Jin mengangguk. “Seperti yang kemaren aku bilang.”

“Benarkah? Itu bukan akal-akalanmu untuk membenarkan tindakanmu?” pertanyaan Hye Na itu begitu menyelidik.

“Benar! Kakak tidak percaya?”

“Aku hanya tidak ingin mendapati kalau pada akhirnya memukul orang yang salah.”

“Jadi kakak tidak percaya? Aku berkata benar, aku tidak bohong!” Ryu Jin agak ngotot di sini. Dia memang tidak suka dituduh pembohong.

“Bohong atau tidak bohong hanya kau yang tahu,” desah Hye Na.

“Sebelum ke sekolah, aku akan memeriksakanmu ke rumah sakit,” kata Hye Na kemudian.

“Kenapa? Aku baik-baik saja,” Ryu Jin berkata sambil mengamati mobil jep yang melintas di samping mobil Hye Na.

“Aku kawatir ada luka dalam akibat perkelahian itu,” jawab Hye Na yang tentu saja sebagai alasan. Dia ingin melakukan tes DNA terhadap Ryu Jin secara diam-diam. Semalam dia sudah menelphone kenalannya, seorang dokter yang bisa melakukan tes itu. Di pemeriksaan itu, sang dokter bisa mendapatkan sampel untuk tes yang merupakan bagian dari Ryu Jin.

“Aku sudah diperiksa oleh dokter di sekolah Shinwa, mereka bilang aku tidak apa-apa.”

“Tapi aku ingin kau melakukan pemeriksaan itu, Ryu Jin,” tegas Hye Na.

“Aku tidak mau. Ini sudah terlambat, kau juga bilang kalau ada kuliah jam delapan pagi.”

“Aku bisa menelphon kalau sedikit terlambat,” kilah Hye Na.

“Aku sudah buat masalah kemaren, tidak lucu kalau hari ini aku tambah masalah karena terlambat.”

“Aku yang akan mengatakan alasan keterlambatanmu pada wali kelas.”

“Uuuhhh! Kenapa Kakak memaksa sekali!” jerit Ryu Jin jengkel. “Kenapa,sih? Kakak tidak percaya kalau Jun Pyo mengejek Ayah dan Kakak juga tidak percaya kalau dokter itu bilang aku tidak apa-apa.”

“Ya, sangat bodoh kalau aku percaya begitu saja padamu,” desah Hye Na yang masih bisa di dengar Ryu Jin.

“Jadi kakak tidak percaya padaku? Kakak menuduhku bohong?”

Hye Na tidak menjawab kesimpulan Ryu Jin.

“Apalagi yang tidak kakak percayai dariku?” tanya Ryu Jin yang terdengar agak sengak. Hye Na masih terdiam. “Jawab!” paksa  Ryu Jin.

Emosi Hye Na naik karena Ryu Jin membentaknya. “Cukup! Kau tidak sopan membentak-bentak seperti itu.”

“Aku tidak suka dituduh pembohong! Katakan! Katakan kenapa tidak percaya padaku?”

“Karena aku tidak percaya kau adikku!” akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulut Hye Na. Ryu Jin ternganga mendengar perkataan kakaknya.

“Aku ingin kau melakukan tes DNA,” kata Hye Na dengan mantap.

“Kakak meragukanku?” Ryu Jin benar-benar tidak mempercayai nasibnya.

“Kalau aku bilang ya?”

“Lalu kenapa kakak mau jadi waliku?”

Hye Na tidak tahu harus menjawab apa. Kenyataan itu tidak terpikirkan saat dia menandatangani surat perwalian Ryu Jin.

“Hentikan mobil ini!” teriak Ryu Jin.

“Apa?”

“Hentikan mobil ini!” Ryu Jin tambah menjerit.

“Kau mau apa?”

“Aku tidak bisa hidup dengan orang yang meragukanku dan menganggapku pembohong!”

“Tes itu akan membuktikan kalau kau bukan pembohong!” tegas Hye Na.

“Aku bilang berhenti!” Ryu Jin menginjak rem mobil.

“Ryu Jin!” Hye Na agak panic saat mobil tersentak karena di rem mendadak. Decitan keras terdengar. Untunglah Hye Na bisa mengendalikan mobil itu kembali yang kini berhenti tanpa menabrak sesuatu pun.

“Kau gila! Kau bisa membuat kita terbunuh!” maki Hye Na. Ryu Jin tidak perduli. Dia membuka pintu keluar dan membanting pintu mobil.

Hye Na ikut keluar dari mobil. Lalu lintas agak macet karena mobil itu berhenti tidak pada tempat dan waktu yang tepat. “Mau kemana, kau?” Hye Na meneriaki Ryu Jin yang berjalan menjauh.

“Sudah kubilang, aku tidak bisa hidup dengan orang yang meragukanku!” teriak Ryu Jin.

“Oh, ya? Lalu kau mau apa? Hidup sendiri? Jadi anak panti?”

Ryu Jin berbalik dan mendekati Hye Na lagi. “Jadi anak panti lebih baik bagiku daripada hidup dengan kakak yang tidak percaya kalau aku benar-benar adiknya,” tegas Ryu Jin dengan mata berair. Ryu Jin menangis. Keraguan Hye Na membuat Ryu Jin menangis. Ryu Jin menjauhi Hye Na dengan perasaan kecewa dan rapuh.

“Fine! Kau ingin jadi anak panti? Jadilah anak panti! Aku tidak perduli!” jerit Hye Na sekeras-kerasnya sambil meloncat  lalu memasuki mobil dengan menutup pintunya keras-keras saking jengkelnya. Mobil itu harus segera berjalan lagi karena kemacetan lalu lintas sudah begitu memprotes. Hye Na meninggalkan Ryu Jin yang akhirnya berjalan sendirian di jalan tol itu.

Di dalam mobil, Hye Na meneriakkan huruf A panjang sambil memukul dasbor mobil. Pagi ini benar-benar menguasainya emosinya. Hanya masalah tes  kecil dan pertengkaran tersulut. Hye Na merasa tidak mungkin mengajar dalam keadaan kacau begini.  Dia juga tidak perduli Ryu Jin ada di mana, anak itu benar-benar membuat kesabarannya habis.

Hye Na menelphon asistennya agar menggantikannya dalam kuliah jam delapan. Hye Na ingin menenangkan diri. Dia melajukan mobil menuju Namsan tower. Dia ingin merasakan lagi tamasya yang pernah dilaluinya waktu kanak-kanak dulu.

Bagaikan membangkitkan kenangan masa kecilnya, Hye Na menikmati pemandangan yang terhapar di bawah menara dari dalam kereta gantung. Di masa lalu, dia menikmati semua ini bersama Ayah-Ibunya.

Hye Na selalu senang jika Ayahnya mengajaknya ke sini. Ayahnya akan menggendongnya sepanjang perjalanan dengan kereta gantung, menerangkan apa saja yang bisa terlihat di bawah, sambil sesekali memujinya. Dia ingat benar panggilan kesayangan ayahnya untuknya, ayahnya selalu memanggilnya, “Peri kecilku.”

Panggilan itu, yang ayahnya rasa cocok dengan tubuhnya yang mungil dan tawanya yang ceria. Pernah Hye Na menanyakan, “Kenapa ayah memanggilku peri?”

Ayahnya menjawab, “Coba kau tertawa,” dan Hye Na pun tertawa. “Lalu berlari-larilah di sekeliling Ayah,” dan Hye Na pun berlari-lari bahkan meloncat-loncat.

Ayahnya menangkapnya, membalikkan tubuhnya, memandangi wajahnya lalu bicara sambil mencolek hidungnya, “Itulah maksud Ayah. Karena kau terlihat bagai peri bagi Ayah.”

Hye Na bisa merasakan kehidupannya waktu itu sangat bahagia. Udara pantai di Jeju selalu membawa aura kebahagiaan baginya dan orang tuanya. Dia dilimpahi kasih sayang, rasa aman dan dimanjakan. Ibunya selalu tertawa dan menjalankan kehidupan Ibu rumah tangga tanpa mengeluh.

Ayah dan Ibunya selalu bercanda di depannya, saling menggoda dan memuji. Ketika semakin intim, mereka meminta ijin untuk masuk ke kamar, menyerahkan Hye Na pada baby sister walau pun dia memprotes. Dan Ayahnya berusaha memberikan pengertian. “Sssttt, ada ‘urusan pribadi dalam kamar’ antara Ayah dan Ibu,” canda sang Ayah ketika Hye Na ngambek.

Tentu saja Hye Na tidak tahu apa maksud dari ‘urusan pribadi dalam kamar’ itu. Hingga akhirnya sang Ibu jadi kelihatan lebih gemuk dari sebelumnya dan Jae Min pun lahir, menambah kebahagiaan Hye Na saat sang ayah mengabarkan kalau sudah menghadiahinya adik laki-laki yang lucu.

Namun pada suatu hari mereka bertengkar hebat. Hye Na begitu ketakutan saat itu, dia memeluk Jae Min yang gemetaran erat-erat. Dan sang Ibu keluar dari kamar sambil menyeret tas besar, menghampiri Hye Na dan Jae Min yang sedang menangis berpelukan, berjongkok di depan mereka, mengelus pipi Hye Na dan Jae Min bergantian dengan tatapan mata bengkak dan hidung memerah yang berlendir kerana menangis. “Hye Na, Jae Min, kemasi barang kalian, Nak. Kita ke rumah Kakek di Seoul.”

“Ayah juga ikut, kan, Bu?” tanya Hye Na. Sang Ibu menggeleng. “Hanya kita bertiga, Nak.”

“Kenapa?” tentu saja Hye Na tidak tahu apa yang terjadi waktu itu. Sang Ibu tetap menggeleng. Ayahnya tidak mencegah kepergian mereka. Hye Na sama sekali tidak mengerti.

Saat Hye Na merasakan sudah terlalu lama tidak bertemu ayahnya. Hye Na masih tidak mengerti kenapa Ibunya melarang keras menemui Ayahnya. Namun Hye Na memberontak. Dia kabur dari rumah Kakeknya di Seoul. Pergi ke Jeju dengan uang tabungannya.

 Dia gembira saat sampai di villa keluarganya di Jeju. Sebentar lagi akan melepas rindu dengan Ayahnya. Sementara menunggu ayahnya yang belum pulang, dia merencanakan hal yang mungkin akan dilakukan bersama sang Ayah nantinya.

Dia melonjak senang saat mobil Ayahnya berhenti di halaman. Dia ingin berlari, menubruk ayahnya untuk memeluk, tapi urung ketika melihat Ayahnya ternyata tidak sendirian. Hye Na bahkan tak mengerti apa yang dia lakukan. Dia mundur, bersembunyi di balik sofa, mengintip Ayahnya yang berciuman dengan wanita asing di serambi lalu menggendong wanita itu.

Dia masih sembunyi-sembunyi mengikuti sang Ayah yang menggendong wanita itu memasuki kamar yang selama ini ditempati sang Ayah dengan Ibunya. Dia masih berumur empat belas tahun waktu itu tapi dia sadar, bahwa ‘urusan pribadi dalam kamar’ itu… sekarang bukan lagi antara Ayah dan Ibunya. Hye Na menyadari itu dengan hati yang perih, dan malam itu juga, dengan tabungan yang tersisa, dia kembali ke Seoul, bahkan tanpa memberitahukan kedatangannya itu pada sang Ayah.

Hye Na menangisi semua itu sekarang. Di sini, di Namsan Tower, di umurnya yang ke – dua puluh sembilan tahun dan mendapati kalau dia sendirian. Dia menyendiri selama ini. Menyimpan luka hingga menutup hatinya rapat-rapat karena takut jatuh cinta pada pria yang salah.

Hye Na terkesiap. Deringan telephone membuyarkan lamunannya. Sambil mengelap ingus, dia mendengarkan pembicaraan di telephone.

“Memangnya ada apa dengan Villa di Jeju?” tanyanya masih dengan suara serak.

“Baiklah, saya akan ke sana,” kalimat Hye Na menutup percakapan telephone. Hye Na menarik nafas panjang. Hari ini dia benar-benar membolos. Bolos mengajar dan bolos pula memantengi pergerakan saham di lantai bursa. Sementara, biarlah asisten dosen dan pialang-pialangnya yang bekerja.

BERSAMBUNG